Oktober 07, 2008

PENJAJAHAN PERTANIAN

0 comments

 

Sekilas membaca buku Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap Kejahatan Industri Pangan (Khudori: 2004), Khudori hendak memaparkan mengenai kronologi penjajahan pertanian yang terjadi di Indonesia maupun dalam skala global dunia. Penjajahan pertanian model baru yang dialami bangsa ini sebenarnya mempunyai akar yang sudah lama berkembang sejak zaman kolonialisme berlangsung. Kronologi Neoliberalisme pertanian dipicu dengan adanya revolusi industri pada awal-awal perkembangan kapitalisme pada abad ke-17. Neoliberalisme pertanian semakin berkembang setelah muncul konsep pasar bebas dan perdagangan bebas yang dilontarkan Adam Smith dan menjadi acuan banyak negara. Model liberalisme ini menjadi dasar ekonomi Amerika, Inggris dll. pada tahun 1800-1900an. Beberapa negara seperti Amerika, Inggris, Jerman, dan beberapa negara Eropa lainnya mulai beranjak dari negara berbasis pertanian menjadi negara industri modern. Konsep ini runtuh pada tahun 1930 karena terjadi great depression yaitu krisis ekonomi di berbagai negara dan konsep ini digantikan dengan pandangan Keynesian. Pandangan ini memberi peluang lebih besar pada peran pemerintah untuk campur tangan terhadap pasar. Rezim kolonialisme semakin berkembang dengan berbagai macam faktor yang turut mengambangkan seperti dibukanya terusan Suez yang menghubungkan Eropa dengan Asia, revolusi industri dll, maka pada tahun 1870 menjadi awal kelahiran imperialisme. Imperialisme digawangi oleh negara-negara Eropa akhirnya memasuki sejarahnya di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Perkembangan industri di negara Barat membutuhkan bahan mentah untuk industrinya, oleh karena itu negara-negara Barat seperti Portugis, Belanda banyak mencari bahan mentah di kawasan Asia tenggara seperti Indonesia. Pada tahun 1602 Cornelis de Houtman mendirikan kongsi dagang di Nusantara. Belanda dengan VOCnya memonopoli perdagangan apalagi ditambah dengan pendirian industri-industri asing di wilayah nusantara ini. Kelahiran zaman baru kolonialisme ditandai dengan pemberlakuan culturr stelsel (tanam paksa). Banyak perusahaan asing tertarik untuk berinventasi di nusantara terlebih karena melimpahnya sumber daya alam di nusantara ini. Perkebunan tetap menjadi point of interest kolonialisme untuk menghisap dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Pemberlakuan Agrarische Wet pada tahun 1870 merupakan penyimpangan sejarah pertanian karena undang-undang ini memberikan kemudahan pada kapitalisme modal untuk menyewa tanah rakyat dalam skala yang luas dan dalam jangka waktu tertentu. Kepemilikan tanah akhirnya mengerucut hanya pada para pemilik modal dan pejabat pemerintahan. Setelah proklamasi kemerdekaan, perubahan di dalam kebijakan pertanian tidak terasa sama sekali. Berbagai upaya dilakukan guna membuat peraturan-peraturan dalam hal pertanian, seperti proyek Revolusi Hijau, namun ternyata hasilnya tidak begitu berpengaruh pada kondisi pertanian di Indonesia. Bahkan semakin lebih parah ketika petani diwajibkan membeli bibit padi yang sudah dimonopoli perusahaan asing, begitu pula kewajiban membeli pupuk hasil produksi perusahaan semakin menambah penderitaan para petani. Hal ini menjadi semakin krusial pada saat pemerintahan Orde Baru justru mengundang kembali IMF dan kebijakan-kebijakan baru pertanian selalu dibawah tekanan IMF. Kondisi pertanian di Indonesia semakin parah, setelah kolonialisme kemudian kebijakan Orde Baru sekarang mengalami penjajahan model baru ala neoliberalisme.

Berbicara mengenai kolonialisme pertanian, dapat diamati bahwa bentuk-bentuk kolonialisme dari waktu ke waktu semakin berkembang. Kolonialisme ternyata tidak hanya menakhlukkan negara-negara (daerah) jajahan saja tetapi juga sekaligus mengeruk sumber daya alam di Indonesia. Dengan kata lain bahwa agenda kolonialisme bukan hanya agenda politik tetapi juga ekonomi. Tanah pertanian di nusantara akhirnya menjadi komoditi, bukan hanya hasil pertanian tetapi lahan pertanian milik petani menjadi kehilangan perannya sebagai lahan pertanian tetapi sudah menjadi barang dagangan yang diperjual-belikan kepada pengusaha asing. Pertanian di Indonesia tidak menunjukkan kemajuan kendati Indonesia termasuk negara yang melimpah akan sumber alam namun begitu mudahnya sumber alam ini diinvestasikan kepada bangsa asing. Surplus pertanian dihisap habis-habisan oleh kolonialisme Belanda sehingga tidak ada lagi uang tersisa bagi para petani untuk memberdayakan dirinya. Kerugian paling besar adalah pada petani penggarap karena mereka tidak mempunyai lahan pertanian tetapi tenaga dan uang mereka dikuras habis untuk mengolah pertanian yang bukan miliknya. Para petani semakin tersingkir, miskin dan kelaparan di tengah negara yang kaya. Setiap keputusan penting bidang pertanian telah disetir oleh perusahaan asing maka pertanian sudah berada dalam cengkeraman neoliberal. Kekuasaan perusahaan asing ternyata telah merambah pada sisi kehidupan terdalam manusia yaitu bidang pangan terlebih pertanian. Mungkinkah nasionalisasi pertanian? Beberapa gerakan pertanian sudah mulai digulirkan, contohnya: gerakan tani lestari di daerah Yogyakarta. Hal ini menjadi salah satu peluang untuk memikirkan dan mengembangkan pertanian mandiri yang diolah dan dikerjakan oleh petani lokal dengan memakai sarana pertanian seperti benih dan pupuk hasil olahan para petani sendiri.

Sumber:

Khudori, Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap Kejahatan Industri Pangan, Resist Book, 2004.



[get this widget]

September 23, 2008

BURUH PEREMPUAN YANG TERPINGGIRKAN

0 comments

BURUH PEREMPUAN YANG TERPINGGIRKAN

A. PENGANTAR
Permasalahan buruh seakan tiada habisnya. Demonstrasi kaum buruh seringkali terjadi. Permasalahan yang sering timbul biasanya berkaitan dengan adanya tindak ketidakadilan yang mereka terima dari perusahaan tempat mereka bekerja. Permasalahan upah yang tidak sebanding, kekerasan terhadap pekerja lain, pemutusan hubungan kerja sewenang-wenang, pemaksaan kerja yang melebihi waktu yang ditentukan, uang lembur yang tidak dibayar, jatah cuti yang tidak digenapi, undang-undang buruh yang tidak memberikan jaminan kerja dll , merupakan permasalahan yang biasanya dihadapi oleh kaum buruh. Masalah ketenagakerjaan merupakan salah satu sumber keprihatinan Gereja, bahkan merupakan tema utama ensiklik Rerum Novarum dan beberapa ensiklik lain yang diterbitkan oleh Paus selanjutnya seperti, Gaudium et Spes, Laborem Excercens, Solicitudo Rei Socialis dll. Artinya, sejak awal mula keterlibatan sosial Gereja, masalah ini telah digeluti oleh Gereja terutama yang menyangkut urusan kesejahteraan kaum pekerja dan upah yang adil . Keterlibatan Gereja dalam masalah-masalah sosial ini pertama-tama karena Gereja peduli dengan kehidupan mereka yang lemah, maka tujuan keterlibatan ini adalah demi kesejahteraan bersama (bonum commune) . Kesejahteraan bersama adalah suatu kondisi kehidupan sosial yang memungkinkan semua kelompok sosial manapun masing-masing anggotanya untuk mencapai kesempurnaannya sendiri secara lebih penuh dan lebih mudah . Permasalahan mengenai kerja dan buruh dalam wacana umum masuk dalam kajian etika bisnis. Prinsip-prinsip etika sangat diperlukan oleh sebuah perusahaan dan pekerjanya supaya terwujud suatu kesejahteraan bersama atau paling tidak atau sekurang-kurangnya tidak terjadi ketidakadilan dalam hal kerja. Tulisan ini hendak membahas mengenai ketidakadilan yang dialami kaum buruh yang disebabkan oleh struktur sosial. Diskriminasi kerja, kekerasan dan pelecehan seksual merupakan topik yang hendak diangkat melalui tulisan ini.

B. POKOK PERMASALAHAN YANG DIANGKAT
Perusahaan kadangkala menempatkan kaum buruh perempuan dalam struktur yang tidak adil, mulai dari pembatasan jumlah buruh yang bekerja di perusahaan sehingga jumlah buruh perempuan lebih sedikit daripada jumlah buruh laki-laki, serikat buruh yang tidak mampu menampung dan menyalurkan segala permasalahan yang sebenarnya secara nyata terjadi dalam kerja, ulah majikan yang bisa secara langsung memberhentikan kaum buruh apabila mengajukan permasalahan yang terjadi karena tidak adanya undang-undang yang menjadi pegangan bersama. Sigkatnya kaum buruh perempuan dalam perusahaan tersebut mengalami ketidakadilan yang terstruktur. Hal ini dapat dilihat dari kacamata Ajaran Sosial Gereja bahwa ketidakadilan yang dialami buruh tersebut disebabkan adanya struktur dosa. Struktur dosa dalam kaitanya dengan masalah ini hanya dapat diatasi dengan adanya solidaritas antara buruh dengan majikan atau perusahaan.

C. STRUKTUR DOSA DALAM KONTEKS PERUSAHAAN
Struktur adalah seperangkat lembaga dan praktek yang ditemukan orang telah ada atau yang mereka ciptakan, pada tingkat nasional maupun internasional, dan yang mengarahkan atau mengorganisasikan kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Struktur ini seringkali cenderung konstan dan membeku, sebagai mekanisme yang secara relatif tidak tergantung pada kehendak manusia. Akibatnya struktur ini justru melumpuhkan atau membelokkan perkembangan sosial dan menyebakan ketidakadilan . Menurut Ajaran Sosial Gereja, yang merupakan penegasan dari ajaran paus sebelumnya yang sudah diajarkan dalam Reconciliatio et Paenitentiae, Paus Yohanes Paulus II memaparkan tentang dosa sosial yang dipahami sebagai hasil akumulasi dosa-dosa pribadi. Ia adalah tempat bagi dosa-dosa pribadi mereka yang menyebabkan atau mendukung kejahatan atau mengeksploitasinya, mereka yang sebenarnya mampu menghindarinya, menghilangkannya atau paling tidak membatasi kejahatan-kejahatan sosial tertentu tetapi tidak melakukannya karena malas, atau sikap diam bersama, melalui keterlibatan rahasia atau ketidakpedulian, mereka yang melarikan diri dalam ketidakmungkinan yang disangka benar mengenai perubahan dunia, dan juga mereka yang mengelak dari usaha dan pengorbanan yang dituntut, yang menghasilkan alasan-alasan palsu dalam tingkatan yang lebih tinggi . Lebih lanjut pemahaman mengenai struktur dosa ini ditegaskan kembali oleh Paus dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis. Paus menegaskan bahwa struktur-struktur dosa berakar dalam dosa pribadi, dan karenanya selalu terkait dengan tindakan konkret individu-individu yang memperkenalkan struktur-stuktur tersebut, mengukuhkannya, dan membuatnya sulit dihilangkan. Dosa-dosa dalam masyarakat dan struktur-struktur berdosa yang tersusun ke dalam sistem-sistem yang saling memperkuat satu sama lain, maka mereka menjadi lebih kuat, menyebar, menjadi sumber dosa-dosa lain dan sangat mempengaruhi tindakan masyarakat . Penumpukan dan penyatuan dosa-dosa pribadi ini membangun suatu sistem yang akan menciptakan pengaruh-pengaruh dan halangan-halangan yang jauh melampaui tindakan dan langkah hidup individu.
Ada suasana dilematis yang dihadapi kaum perempuan. Kaum perempuan seringkali mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh buruh laki-laki, buruh perempuan seringkali dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya diluar batas kemampuannya. Buruh perempuan tidak mempunyai kekuatan untuk melawan karena mereka adalah kaum minoritas di perusahaan tersebut dan mereka akan selalu berada di pihak korban. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya undang-undang yang dapat melindungi hak-hak mereka dan terlebih lagi quota buruh perempuan lebih sedikit dari pada buruh laki-laki. Forum serikat buruh tidak mampu melindungi hak kaum pekerja perempuan karena tidak mempunyai kekuatan untuk melawan dominasi kebijakan perusahaan dan terlebih keputusan-keputusan yang diambil serikat buruh selalu memojokkan kaum perempuan karena dominasi jumlah pekerja laki-laki. Suasana dilematis ini semakin mendapat legitimasinya ketika kaum buruh memang sungguh sangat membutuhkan pekerjaan sebagai buruh tambang sebagai satu-satunya mata pencaharian yang diharapkan mampu mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Ketidakadilan ini akan semakin terus-menerus terjadi seakan menjadi lingkaran dosa yang tiada terputus. Tindakan tidak adil satu orang menyebakan adanya dosa pribadi, dosa satu pribadi menyebabkan dan mempengaruhi timbulnya dosa-dosa lain sehingga muncullah apa yang dinamakan dosa bersama atau dosa sosial yang terus menerus terjadi sehingga pada akhirnya menjadi struktur dosa.

1. Pembedaan Pekerjaan (Job Descrimination)
Manuel Velasques menjelaskan mengenai pembedaan pekerjaan sebagai suatu bentuk deskriminasi. Menurut Velasques, diskriminasi tenaga kerja berarti membuat keputusan (atau serangkaian keputusan) yang merugikan pegawai (atau calon pegawai) yang merupakan anggota kelompok tertentu karena adanya prasangka yang secara moral tidak dibenarkan terhadap kelompok tersebut. Diskriminasi dalam ketenagakerjaan melibatkan tiga elemen dasar: Pertama, keputusan yang merugikan seorang pegawai atau lebih (atau calon pegawai) karena bukan didasarkan pada kemampuan yang dimiliki, misalnya dalam melaksanakan pekerjaan tertentu, senioritas, atau kualifikasi-kualifikasi yang secara moral dianggap sah lainnya. Kedua, keputusan yang sepenuhnya (atau sebagian) diambil berdasarkan prasangka rasial atau seksual, stereotipe yang salah, atau sikap lain yang secara moral tidak benar terhadap anggota kelompok tertentu dimana pegawai tersebut berasal. Ketiga, keputusan (atau serangkaian keputusan) yang memiliki pengaruh negatif atau merugikan pada kepentingan-kepentingan pegawai, yang mungkin mengakibatkan mereka kehilangan pekerjaan, kesempatan memperoleh kenaikan pangkat, atau gaji lebih baik .
Bermula dari adanya mekanisme ketidakadilan berupa pembedaan kerja antara laki-laki dan perempuan akhirnya memicu bentuk-bentuk ketidakadilan lainnya. Permasalahan ini dapat terjadi dengan mudah karena adanya sistem quota jumlah pekerja perempuan yang tidak sebanding dengan pekerja laki-laki. Pembedan kerja semacam ini sunnguh merupakan kebijakan yang disengaja oleh perusahaan dan akhirnya menjadi mekanisme pembagian kerja. Sifat pembedaan kerja dalam perusahaan tambang menjadi kebijakan yang disengaja dan terinstitusionalisasi dengan sendirinya. Pihak yang akan menjadi korban tentunya adalah pihak perempuan karena mereka masuk dalam kelompok minaritas.
Mekanisme pembedaan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin ini jelas merupakan kebijakan yang tidak etis. Pembedaan pekerjaan dapat diantisipasi dengan menempatkan pekerja bukan didasarkan pada jenis kelamin, ras, agama dll., namun didasarkan pada kompetensi atau pengalaman konkret dari pekerja sendiri .

2. Pelecehan Seksual (Sexual Harrasment)
Bentuk lain pemicu struktur dosa adalah tindakan pelecehan seksual. Kaum perempuan merupakan korban dari salah satu bentuk diskriminasi yang terang-terangan dan koersif yaitu bahwa mereka menghadapi kemungkinan pelecehan seksual. Equal Employment Opportunity Commission mempublikasikan serangkaian pedoman untuk mendefinisikan pelecehan seksual dan menetapkan apa yang menurut mereka sebagai tindakan melanggar hukum. Pedoman tersebut menyatakan: “rayuan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk melakukan hubungan, dan kontak verbal atau fisik lain yang sifatnya seksual merupakan pelecehan seksual apabila: Pertama, sikap tunduk terhadap tidakan teresebut secara eksplisit ataupun implisit dikaitkan dengan situasi atau syarat-syarat kerja seseorang. Kedua, sikap tunduk atau penolakan terhadap tindakan tersebut digunakan sebagai dasar untuk membuat keputusan yang berpengaruh pada individu yang bersangkutan. Ketiga, tindakan tersebut bertujuan mengganggu pelaksanaan pekerjaan seseorang atau menciptakan lingkungan kerja yang diwarnai dengan kekhawatiran, sikap permusuhan, atau penghinaan”. Pedoman tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa pelecehan seksual dilarang dan bahwa pengusaha atau perusahaan bertanggung jawab atas semua tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh para pekerja baik itu yang diketahui ataupun seharusnya diketahui oleh perusahaan dan tidak menjadi masalah apakah tindakan tersebut dilarang oleh perusahaan.
Pedoman ini secara moral dibenarkan karena dimaksudkan untuk mencegah terjadinya situasi yang memungkinkan terjadinya tindakan pelecehan seksual yang disertai ancaman yang berimplikasi pada pekerjaan. Pelecehan seksual terhadap kaum perempuan ini bukan saja menciptakan kerugian psikologis namun juga melanggar kebebasan dan martabatnya sebagai manusia. Tindakan pelecehan ini merupakan penyalahgunaan kekuasaaan yang sangat tidak adil terhadap pekerja. Pedoman ini juga mencakup tindakan-tindakan yang menciptakan lingkungan kerja yang diwarnai dengan kekhawatiran, sikap permusuhan, atau penghinaan. Perusahaan dianggap bersalah apabila menciptakan lingkungan kerja yang memusuhi atau ofensif terhadap perempuan.
Dari uraian diatas nampak bahwa pemicu terjadinya struktur dosa bisa beraneka ragam. Kebijakan atau keputusan tidak adil yang dibuat perusahaan akan memunculkan suatu permasalahan yang merugikan pekerja. Sistem-sistem terstruktur dari perusahaan yang mengabaikan kebaikan bersama ini akan memudahkan orang bertindak tidak adil dan merugikan pihak lain. Oleh karena itu, pelaku ketidakadilan bukan saja pada individu perseorangan saja namun juga menyangkut jaringan struktural dalam perusahaan. Permasalahan terstruktur ini kiranya tidak dapat dicegah dengan hanya mengambil kebijakan yang menyangkut perseorangan saja atau pelaku konkret ketidakadilan, namun kebijakan yang perlu diambil hendaknya juga memperhatikan sistem yang memungkinkan orang atau perusahaan berbuat tidak adil yaitu dengan cara memperbaiki sistem-sistem perusahaan yang merugikan.

D. SOLIDARITAS SEBAGAI USAHA MELAWAN STRUKTUR DOSA
Akumulasi dosa-dosa pribadi yang membentuk dosa sosial atau struktur dosa merupakan permasalahan yang sangat kompleks. Pertanyaan selanjutnya: kita harus memulai dari mana untuk memutus atau mematahkan lingkaran dosa tersebut. Ada beberapa pekerja perempuan yang menerima begitu saja perlakuan asusila dari pekerja laki-laki, ada yang bersikap acuh tak acuh kendati dalam dirinya ada konflik batin, ada yang berkehendak melaporkan kepada pimpinan namun ternyata pimpinan perusahaan pun masuk dalam struktur dosa tersebut. Sungguh, para pekerja perempuan mengalami dilema moral. Dilema moral terjadi apabila seseorang tidak mempunyai nilai tawar terhadap pilihan-pilihan yang harus diambil dan diputuskan, dengan kata lain sesorang dihadapkan pada pilihan yang serba tidak menguntungkan dan sama-sama berat.
Dalam konteks Ajaran Sosial Gereja, permasalahan ini sebenarnya hampir mirip dengan permasalahan yang dialami Gereja ketika pertentangan antara blok Barat dan Blok Timur masih terjadi. Dunia yang terbelah menjadi dua blok dengan dasar ideologi masing-masing yang sangat ketat akhirnya memunculkan imperialisme. Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa pertentangan ini berakibat terhadap negara-negara miskin. Bapa Suci mengibaratkannya sebagi nafsu memakan segala-galanya demi keuntungan dan rasa haus kuasa dengan tujuan memaksakan kehendak seseorang atas orang lain . Oleh karena bentuk imperialisme yang mengakar dan sungguh merendahkan martabat manusia yang lemah ini memberikan inspirasi baginya, Paus mengajak untuk mengembangkan konsep solidaritas. Kata ini memiliki getaran istimewa baginya dari istilah solidarność, yang diambil oleh gerakan persatuan dagang Polandia dalam perjuangannya melawan otoritas komunis. Menurut Paus, struktur dosa hanya dapat dikalahkan oleh sikap yang berkebalikan total yaitu suatu komitmen untuk kebaikan sesama dengan suatu kesiapan untuk menyangkal diri demi orang lain daripada memanfaatkannya dan untuk melayaninya daripada menyerangnya demi keuntungan diri. Apa yang dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II di sini adalah sebuah gagasan bahwa solidaritas merupakan lawan bagi dosa struktural. Secara tegas Sollicitudo Rei Socialis memaparkan tentang makna solidaritas. Solidaritas dipahami bukan sebagai perasaan belas kasihan banyak orang, dekat maupun jauh. Sebaliknya, solidaritas ialah tekad yang teguh dan tabah untuk membaktikan diri kepada kesejahteraan umum, artinya kepada kesejahteraan semua orang dan setiap perorangan karena kita ini semua sungguh bertanggung jawab atas semua orang . Dengan prinsip solidaritas ini, manusia bersama dengan sesamanya diharapkan ikut menyumbang kesejahteraan bersama di segala tingkatan. Solidaritas sungguh terselenggara apabila sesama warga saling mengakui sesamanya sebagai pribadi.

E. TINDAKAN AFIRMATIF SEBAGAI BENTUK SOLIDARITAS
Lebih lanjut Manuel Velasques mempaparkan mengenai tindakan afirmatif sebagai Salah satu bentuk solidaritas yang ditawarkan dalam kajian etika bisnis. Banyak perusahaan yang melaksanakan program-program tindakan afimatif yang dimaksudkan untuk mencapai distribusi yang lebih representatif dalam perusahaan dengan memberikan preferensi pada kaum perempuan dan kelompok minoritas. Tindakan afirmatif dilakukan oleh perusahaan sebagai usaha menghapus pengaruh-pengaruh masa lalu. Program-program tindakan afirmatif pada saat ini telah ditetapkan sebagai kewajiban bagi semua perusahaan yang menandatangani kontrak dengan pemerintah. Inti program tindakan afirmatif adalah sebuah penyelidikan yang mendetail atas semua klasifikasi besar dalam perusahaan. Tujuan penyelidikan adalah untuk menentukan apakah jumlah pegawai perempuan dan minoritas dalam klasifikasi kerja tertentu, lebih kecil dibandingkan yang diperkirakan dari tingkat ketersediaan kelompok di wilayah tempat tenaga kerja tersebut direkrut.
Tindakan afirmatif ini juga dapat dilihat sebagai suatu bentuk kompensasi yang didasarkan pada prinsip keadilan kompensatif. Keadilan kompensatif memberikan implikasi bahwa seseorang wajib memberikan kompensasi terhadap orang-orang yang dirugikan dengan sengaja. Namun kiranya pernyataan ini perlu dikritisi. Tindakan ganti rugi hendaknya bukan saja dilakukan oleh individu-individu yang melakukan tindakan tidak adil atau yang merugikan para pekerja lainnya, namun hendaknya semua pribadi yang masuk dalam struktur ketidakadilan bertanggung jawab atas terjaminnya keadilan bagi para pekerja yang menjadi korban. Pihak yang mengganti rugi bukan hanya perseorangan namun perusahaan juga dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi bagi para korban karena perusahaan memiliki pengaruh yang besar dan masuk dalam lingkaran struktur ketidakadilan.
Tindakan afirmatif mempunyai tujuan supaya terjadi keadilan yang merata, tindakan ini memang secara moral merupakan cara yang sah untuk mencapai tujuan dan tujuan terakhir adalah untuk menetralkan kelemahan kompetitif yang saat ini dimiliki oleh kaum perempuan dan minoritas dalam persaingan dengan pekerja laki-laki. Tujuan dasar dari tindakan afirmatif adalah terciptanya nasyarakat yang lebih adil, masyarakat dimana kesempatan yang dimiliki seseorang tidak dibatasi oleh ras atau jenis kelaminnya .
Oleh karena itu, pertimbangan-petimbangan yang perlu diperhatikan oleh perusahaan ketika mengambil keputusan tindakan afirmatif perlu memperhatikan kelompok ras dan jenis kelamin. Hal ini dimaksudkan supaya tidak ada diskriminasi kepada kaum perempuan dan kaum minoritas dalam perusahaan, kendati memang ada jenis-jenis pekerjaan yang hanya dipercayakan hanya kepada laki-laki atau perempuan saja dengan pertimbangan keselamatan. Oleh karena itu, perusahaan juga perlu merancang perekrutan pegawai secara inovatif supaya tidak terjadi dikriminasi namun juga perusahaan tersebut tidak akan terancam kolaps atau mengalami kebangkrutan karena terlalu menekankan dan memprioritaskan perekrutan pagawai dari kalangan kaum perempuan dan minoritas yang belum memiliki kualifikasi seturut standart perusahaan.

F. PENUTUP
Membahas kajian moral-tranformasi dalam dunia perusahaan tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip etika secara khusus etika bisnis. Masalah-masalah yang biasa terjadi dalam perusahaan merupakan masalah-masalah yang tidak hanya menyangkut pribadi-pribadi melainkan menyangkut banyak orang dan lembaga perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu tanggung jawab moral tidak dapat seluruhnya diletakan pada individu saja, melainkan juga pada masyarakat sekitar individu dan dalam konteks perusahaan adalah lembaga perusahaan itu sendiri beserta stuktur-struktur yang ada didalamnya. Tindakan-tindakan pekerja yang tidak adil, kasus-kasus yang terjadi dan merugikan dan juga struktur-struktur yang diskriminatif dalam perusahaan hanya dapat dilawan dengan solidaritas. Nilai solidaritas menjadi jalan masuk untuk membongkar situasi atau struktur dosa yang telah terjadi di perusahaan tersebut.
Solidaritas mau menunjuk suatu tindakan yang senantiasa didasarkan pada tujuan demi kesejahteraan semua orang atau rasa tanggung jawab seseorang terhadap orang lain. Konsep solidaritas yang ditawarkan dalam pembahasan ini adalah tindakan afirmatif. Tindakan afirmatif merupakan tindakan yang perlu diusahakan oleh suatu perusahaan demi terciptanya kesejahteraan bersama baik itu antar para pekerja maupun juga dengan majikan.


DAFTAR PUSTAKA
R. Hardawiryana, S.J., (alih bahasa)
1999 Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai Centesimus Annus, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta.

Kate Troy,
2005 From a Hostile Work Environment to a Hostile Courtroom: Heroes, Victims, and Martyrs, Center on Women and Public Policy Case Study Program Humphrey Institute of Public Affairs University of Minnesota, Minnesota.

Koerniatmanto Soetoprawiro,
2003 Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme: Memahami Keterlibatan Sosial Gereja, Kanisius, Yogyakarta.

Paul Valey (ed.),
2007 Cita Masyarakat Abad 21: Visi Gereja Tentang Masa Depan, Kanisius, Yogyakarta.

Soetoprawiro,
2006 Prinsip Keterlibatan Sosial Gereja (Seri Pastoral 390), Pusat Pastoral Yogyakarta, Yogyakarta.

Kusmana, Ganjar, SH.,
2005 “Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Kondisinya di Indonesia dan Cara Mengatasinya”, dalam Informasi Hukum Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, www.nakertrans.go.id, diunduh pada 10 Desember 2007.

Ninuk Mardiana Pambudy,
2007 “Jangan Tunda Perlindungan bagi TKI”, www.kompas.co.id, 17 September 2007, diunduh pada 10 Desember 2007.

-------------,
2007 “Buruh Perusahaan Jepang Berunjuk Rasa: Menolak Penutupan Perusahaan dan PHK”, www.kompas.co.id, 26 Oktober 2007, diunduh pada 10 Desember 2007.

[get this widget]

Juni 23, 2008

Book Review

0 comments

Hira Jhamtani, WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga,
Insist Press, Yogyakarta, 2005. (265 hlm.)


Pengantar
Berbicara mengenai globalisasi tidak terlepas dari pembicaraan mengenai WTO (World Trade Organization) atau Organisasi Perdagangan Dunia. Lembaga dunia ini seringkali menjadi sasaran protes dan demonstrasi banyak pihak, mulai dari berbagai unsur masyarakat, kelompok buruh, kelompok petani dll. Banyak kampanye anti WTO dan peraturan-peraturan hasil konferensi WTO dilontarkan di berbagai negara. Mengapa WTO menuai begitu banyak aksi unjuk rasa? Pertanyaan tersebut mungkin akan terjawab apabila kita mengetahui apa itu WTO, bagaimana sistem kerjanya, kemungkinan dan potensi dampaknya pada kehidupan kita, serta apa dampaknya pada negara-negara sedang berkembang. Buku WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga karya Hira Jhamtani ini berupaya menggambarkan hal-hal tersebut sehingga akan menjadi jelas mengapa WTO menjadi salah satu sasaran protes gerakan masyarakat sipil dan gerakan sosial di tingkat dunia. Hira Jhamtani dalam buku ini hendak menyampaikan informasi, telaah dan pandangan tentang WTO dengan tujuan bahwa setiap warga masyarakat, warga negara, dan warga dunia berhak mengetahui kesepakatan di tingkat global yang dibuat atas nama mereka oleh para petinggi negara. Dalam tulisan ini, pertama hendak dipaparkan mengenai review buku ini dan pada akhir tulisan adalah tanggapan singkat atas buku ini.

Review Buku
Buku WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga terdiri dari 9 bab dengan diawali sebuah pembuka dengan subjudul “Mengapa Peraturan Perdagangan Menuai Unjuk Rasa?”. Dalam pengantar diapaparkan mengenai kisah seorang petani sekaligus Ketua Federasi Petani Korea Selatan yang melakukan aksi demonstrasi hingga bunuh diri pada pembukaan Konferensi Tingkat Menteri WTO pada 10 September 2003. Ia menentang diselenggarakannya Konferensi WTO.
Dua bab pertama buku ini memaparkan tentang sejarah, proses, dan isi kesepakatan WTO. Bagian ini merinci pembahasan perjalanan WTO, sebelum ditetapkan, kemudian ketika ditetapkan pada tahun 1995 dan proses perjalanannya, setelah itu hingga Konferensi Tingkat Menteri ke-5 pada tahun 2003 (Bab 1). Bagian selanjutnya menyajikan informasi teknis tentang kesepakatan, sistem, serta mekanisme kerja dan organisasi di WTO (Bab 2). Hira mencoba mengupas lebih rinci dua kesepakatan penting WTO, yaitu kesepakatan di bidang Pertanian dan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI). Kedua kesepakatan ini menjadi bagian yang penting karena akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari, baik bagi jutaan petani, maupun puluhan juta konsumen di Indonesia. Hal itu bukan berarti meniadakan kesepakatan lain menjadi tidak penting, namun dua kesepakatan menampilkan bagaimana sepak terjang WTO sungguh terlibat secara mendalam dalam kehidupan manusia (Bab 3-4). Bagian selanjutnya membahas beberapa isu baru yang diluncurkan di WTO berkaitan dengan hal-hal yang hampir tidak berhubungan dengan perdagangan, seperti penanaman modal, kebijakan persaingan, dan transparansi dalam pembelanjaan pemerintah. Bersama dengan masalah liberalisasi jasa, isu tersebut akan sangat mengancam kelangsungan pembangunan di negara berkembang seperti Indonesia. Karena itu, judul bab ini adalah pertanyaan mengenai apakah pembangunan sudah mati? Yang lebih penting, nuansa kembali ke era kolonialisme yang mungkin terjadi ketika WTO menguasai hampir seluruh aspek pembangunan di negara sedang berkembang (Bab 5). Hira juga menyajikan beberapa hal yang berkaitan dengan sikap pemerintah Indonesia terhadap WTO, komitmen Indonesia di WTO dan dampak serta masalah yang dihadapi. Pesan inti yang disampaikan adalah adanya salah-urus perdagangan dan cara menangani WTO selama ini dan beberapa usulan langkah-langkah ke depan untuk mensiasati WTO (Bab 6). Hira mengajak kembali ke kancah global dengan pembahasan mengenai perlunya pemberontakan Dunia Ketiga, mirip dengan pemberontakan untuk merebut kembali kemerdekaan dari penjajahan bangsa-bangsa Barat di masa lampau. Tetapi kali ini arena pertarungannya adalah WTO, dan yang direbut kembali adalah hak untuk melaksanakan kebijakan pembangunan dan meluruskan peran WTO sebagai wadah multilateral yang seharusnya bersikap adil. Bagian ini pada dasarnya menunjukkan bahwa negara berkembang sudah berupaya mempengaruhi kesepakatan di dalam WTO, dan memberikan nuansa optimis tentang kenyataan bahwa WTO bukanlah suatu konstitusi yang terpahat dalam batu yang tidak bisa diubah. WTO adalah alat yang harus diubah agar dapat digunakan semua negara secara adil (Bab 7). Pada bab selanjutnya diuraikan tentang peran masyarakat sipil dalam mengkritisi WTO dan mencoba mempengaruhi pemerintah untuk tidak gegabah membuat kesepakatan baru di WTO. Organisasi-organisasi non-pemerintah beserta kelompok masyarakat selama ini terus berupaya agar suara dan aspirasi mereka dipertimbangkan dalam WTO. Hal ini mereka lakukan dengan berbagai upaya, dari pendidikan publik, penandatanganan petisi, hingga unjuk rasa masal serta bunuh diri seperti sang petani Korea Selatan tadi. Sejauh mana mereka berhasil, masih harus kita lihat. Tetapi mereka memberikan keragaman nuansa perdebatan sehingga menyajikan pendapat lain kepada masyarakat yang selama ini tidak mendapatkan informasi seimbang (Bab 8). Pada bab terakhir buku ini, Hira memaparkan tentang optimisme sebagaimana diutarakan pada bab sebelumnya, yaitu suatu upaya membangun dunia yang lebih baik dan lebih adil. Salah satunya dengan meluruskan kerancuan mengenai perdagangan bebas yang selama ini dianut. Selama ini masyarakat diberi tahu oleh para pakar ekonomi, para petinggi negara, dan lembaga internasional, bahwa tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh, kecuali liberalisasi perdagangan dan ekonomi dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju kemakmuran. Pada bab inilah Hira ingin menyatakan bahwa WTO ataupun globalisasi ekonomi secara umum bukanlah suatu keniscayaan. WTO adalah suatu bangunan yang dirancang dan direkayasa oleh manusia. Dan, layaknya suatu bangunan, ia tetap bisa diubah atau jika perlu dibongkar dan dibangun yang baru. Jadi, dunia yang lebih baik adalah suatu harapan, bukan impian belaka (Bab 9). Akhirnya, epilog di bagian penutup buku ini Hira mengajak kita semua mewujudkan suatu dunia yang lebih baik dengan memahami dan mewaspadai apa yang terjadi di WTO.

Tanggapan Isi Buku
Buku ini mempunyai nuansa demistifikasi tentang WTO. Sejauh saya membaca buku ini, saya melihat kesepakatan mengenai perdagangan internasional bukanlah suatu kompromi perdagangan, tetapi merupakan proses politik, terutama dalam lembaga antara negara yang bernama WTO ini. Di dalam forum WTO, pihak yang berunding adalah pemerintah, tetapi yang dirundingkan adalah hak-hak para perusahaan multinasional (MNCs) supaya mendapatkan akses pasar, kemudahan persyaratan dagang, dan berbagai fasilitas lain. Hal ini sungguh sangatlah ironis sebab negara harus menjalankan kewajiban di bawah WTO, tetapi perusahaan-perusahaan multinasional yang justru menikmati keuntungan. Demi kepentingan perusahaan-perusahaan raksasa lintas-negara inilah, para pemerintah “dipaksa” bekerja keras merundingkan peraturan global, kadang-kadang sampai mengorbankan kepentingan rakyat yang seharusnya mendapatkan jaminan dari negara. WTO sendiri nampaknya dipakai sebagai alat oleh negara maju untuk memaksa negara-negara belum maju membuka pasar mereka. Dalam sistem yang ditandai tiadanya hegemoni, pemaksaan lewat perjanjian multilateral dipandang sebagai lebih beradab dan rasional. Sementara negara-negara maju sendiri boleh melenggang, tidak usah menaati kesepakatan-kesepakatan yang dibangun dalam WTO. Perdagangan sudah menjadi sesuatu yang rancu, dari awalnya sebagai sarana atau alat untuk mensejahterakan masyarakat di suatu negara, namun kini perdagangan menjadi tujuan akhir. Inilah akar dari dilema ikut menjadi anggota WTO. Kalau tidak ikut, ia akan terisolasi; kalau ikut, ia akan diinjak-injak. Mungkin Indonesia perlu memikirkan secara lebih serius perjanjian bilateral, bila dalam perjanjian multilateral mengalami dilema yang tidak mengenakkan itu. Mungkin kita tidak cukup hanya merenungkan keprihatinan ini, tetapi biarlah keprihatinan ini membawa kepada suatu kesadaran baru. Kesadaran bahwa masih ada peluang. Beberapa tahun terakhir ini, dunia melihat berkembangnya forum masyarakat sipil (civil society) global dimana puluhan ribu masyarakat biasa dan kelompok atau organisasi masyarakat sipil dan gerakan sosial berkumpul untuk mengatakan “Tidak” pada sistem ekonomi global yang ada pada saat ini dan menegaskan bahwa “ada alternatif”, sebagaimana slogan yang sering mereka dengungkan “another world is possible”. Semoga!!


[get this widget]

Juni 06, 2008

TIPU DAYA WTO DALAM PERJANJIAN PERTANIAN

0 comments

Bagaimana WTO mengelabui sektor pertanian negara berkembang melalui Agreement on Agriculture (AoA)? Artikel “Jerat dan Tipu Daya WTO dalam AoA” karangan Khudori memaparkan tentang berbagai macam kebijakan AoA ternyata merupakan agenda tersembunyi negara-negara maju guna semakin memuluskan usaha mereka menguasai pasar internasional secara khusus pasar pertanian internasional. Terbukti bahwa kampanye negara-negara maju sponsor utama WTO bahwa perdagangan bebas akan menciptakan efisiensi, mengurangi kelaparan, dapat memberantas kemiskinan, dan menciptakan kemakmuran bersama antara negara maju dan berkembang hanyalah janji kosong. Kebijaksanaan AoA buatan WTO dan juga Non Trade Concern dan Special and Different Treatment yang dimaksudkan untuk menciptakan lapangan permainan (level playing of field) yang sama antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang ternyata telah diskenario terlebih dahulu sehingga level playing of field tersebut tidak pernah bisa terjadi. Bagaimana mau mewujudkan fair trade kalau semua peraturan sudah diskenario secara rahasia sehingga semuanya menguntungkan negara maju?

Semua itu merupakan pilihan yang dilematis bagi negara-negara berkembang. Mereka menerima WTO karena tidak memiliki pilihan kebijakan selain menjadi negara donor IMF dan Bank Dunia karena situasi perekonomian negara-negara berkembang sedang kacau, namun ketika sudah berada dalam cengkeraman badan pengutang tersebut, negara berkembang dengan “terpaksa” menyetujui sistem perdagangan seperti yang tertuang dalam Walden Bello. Apabila negara–negara berkembang tidak memberikan persetujuan pada perjanjian tersebut maka akan didepak dari arena perdagangan dunia.

Bagaimana peraturan AoA menjerat negara berkembang? Dalam AoA tertuang berbagai kebijakan yang timpang dan bias. Begitupula dalam implementasi aturan-aturan WTO terdapat banyak persoalan yang muncul, seperti dalam penentuan harga produk pertanian. Pada bagian lain ada kemungkinan dilakukannya praktik-praktik penentuan tarif secara curang (dirty tariffication). Negara-negara maju mengonversi kebijakan restriksi non tarifnya dengan tarif yang tinggi, sehingga penurunan tarif yang diwajibkan oleh WTO kemudian menjadi kurang berarti dalam meliberalisasi pasar mereka. Persoalan yang tidak kalah krusial dan paling menonjol dalam perdagangan internasional di sektor pertanian adalah subsidi ekspor (Export Subsidy). Dalam perjanjian AoA disebutkan bahwa apabila penghapusan segala bentuk subsidi ekspor mulai dilaksanakan sehingga produk pertanian dari negara berkembang dengan mudah memasuki pasara pertanian negara maju. Namun kenyataannya tidaklah demikian karena negara maju masih tetap memberlakukan subsidi yang tinggi serta hambatan dalam bentuk proteksi secara luas.

Dampak yang harus dirasakan oleh negara berkembang adalah kehancuran pertanian domestik. Pertanian negara maju didukung produksi pertanian yang cukup efisien dan juga diperkuat dengan infrastruktur pemasaran dan perdagangan yang cukup baik dan efisien yang dapat menghemat biaya ekspor. Pada khirnya keterbukaan import akan mengancam sektor pertanian negara berkembang. Para petani gurem dengan pola pertanian tradisional tentunya akan kalah bersaing dengan pola pertanian negara maju.

Agenda utama perjanjian internasional Agreement on Agriculture (AoA) ini tidak lain adalah keharusan bagi negara-negara berkembang untuk mengurangi subsidi dan mengurangi hambatan-hambatan perdagangan pertanian. Alih-alih sebagai tujuan AoA adalah liberalisasi perdagangan produk-produk pertanian dengan alasan untuk menanggulangi kekurangan pangan. Namun, alasan itu hanya menjadi kedok negara-negara maju saja yang ingin mengusai pasar produk pertanian di negara-negara berkembang yang notabene jumlah penduduknya besar dan tingkat konsumsinya tinggi terutama untuk pangan. Akhirnya, terbukti bahwa perjanjian sebagaimana tertuang dalam AoA hanyalah janji-janji kosong belaka. Segala macam aturan permainan yang dibuat oleh WTO beserta dua saudaranya IMF dan World Bank jauh dari upaya memberantas kelaparan, kemiskinan, dan mengangkat kedaulatan ekonomi petani-petani kecil, liberalisasi pertanian justru semakin menciptakan suatu sistem pangan global yang terstruktur secara sepihak yaitu pihak negara-negara maju. Disatu sisi, sistem tersebut hanya melayani pelbagai kepentingan para penguasa (terutama penguasa kapital) semata, dan pada sisi yang lain, fungsi ini berjalan seraya terjadi penindasan dan penghisapan terhadap barisan petani-petani miskin negara berkembang di seluruh dunia.

Sumber:

Khudori, Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap Kejahatan Industri Pangan, Resist Book, 2004.



[get this widget]

Juni 02, 2008

GLOBALISASI DAN LINGKUNGAN HIDUP

0 comments


Stiglitz dalam bukunya Globalization Work : Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil, salah satunya memaparkan mengenai dampak globalisasi bagi lingkungan hidup. Globalisasi ternyata belum menangani secara memuaskan masalah lingkungan hidup global. Tesis dasar yang diajukan oleh Stiglitz adalah bahwa manusia dapat mengambil kekuatan ekonomi dari globalisasi yang sejauh ini telah menghancurkan lingkungan hidup dan membuatnya bekerja untuk melindungi lingkungan hidup. Stiglitz pertama hendak memaparkan mengenai tegangan hak milik bersama. Problem mendasar dari hak milik bersama adalah adanya tragedi berkaitan dengan hak milik bersama. Tragedi ini terjadi karena adanya dua sikap dalam pengelolaan hak milik bersama baik itu secara privatisasi maupun campur tangan pemerintah terhadap barang-barang bersama. Permasalahan ini adalah dilema mendasar dari manajemen barang milik bersama karena berdasarkan sejarah, baik pengelolaan privat maupun publik tidak bisa terus menerus menghasilkan efisiensi dan keadilan. Suatu negara mungkin dapat menerapkan kebijakan bagi barang publik dalam negaranya namun apabila negara-negara dihadapkan pada cara pengelolaan barang publik yang sifatnya global maka penanganannya pasti tidak mudah. Permasalahan publik global yang hendak diangkat adalah pemanasan global. Banyak negara terancam bahaya pemanasan global, sebut saja Bangladesh dan kepulauan Maladewa dll. dengan berbagai penelitian yang sudah dilakukan ternyata negara-negara ini mendapat ancaman serius apabila terus-menerus terjadi pemanasan global. Sayangnya, kedua negara tersebut menderita ancaman pemanasan global yang disebabkan oleh negara lain diluar dirinya. Mereka hanya mendapatkan akibatnya saja. Fenomena-fenomena semacam ini menggugah negara-negara di dunia untuk menangani permasalahan pemanasan global secara serius. Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim sudah ditandatangani pada tahun 1992 guna menyusun sebuah prosedur untuk perjanjian yang membatasi emisi. Pertemuan-pertemuan tersebu mencapai puncaknya pada saat diadakan di Kyoto pada tahun 1997. Pokok yang hendak dibahas dalam pertemuan ini adalah kesepakatan untuk mengurangi emisi gas-gas rumah kaca secara adil dan efisien, mengurangi pengeluaran ekonomi dengan membagi beban secara merata di semua negara di dunia. Seruan yang dilangsungkan adalah dengan mengharuskan negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas-gas tersebut. Ironisnya, Amerika Serikat sebagai salah satu negara maju yang menghasilkan emisi gas paling besar justru tidak mau menandatangani perjanjian tersebut. Amerika Serikat menghasilkan hampir 25% dari seluruh gas rumah kaca. Amerika Serikat juga tidak mau membayar beban biaya emisi gas sebagai penerapan kebijakan lingkungan hidup dengan alasan ketidakmampuan ekonomi. Penolakan protokol Kyoto oleh Amerika Serikat menunjukkan bahwa perlu dibutuhkan beberapa cara untuk menekan negara-negara di dunia agar mau ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan hidup. Hal lain yang pantas dicatat adalah hubungan antara WTO dan Amerika Serikat. WTO senantiasa mendukung apa yang dibuat oleh Amerika Serikat khususnya dalam hal kebijakan-kebijakan perdagangan seperti pemberlakuan sanksi perdagangan bagi suatu negara yang melanggar peraturan. Namun, dalam hal ini apabila yang bersalah adalah Amerika Serikat sendiri ternyata WTO juga tidak serta-merta memberikan peringatan.

Pada bagian akhir bab ini, Stiglitz memberikan beberapa usulan untuk mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer dengan cara yang paling efektif. Perhatian utama difokuskan pada pengurangan emisi padahal ada cara lain yang bisa dilakukan yaitu dengan memindahkan karbondioksida dari atmosfer dan meyimpannya. Mekanisme seperti ini biasanya dilakukan oleh pohon-pohon, oleh karena itu penanaman pohon atau pelestarian hutan sangat dianjurkan dalam usaha ini. Prakarsa ini ternyata mendapat respon positif justru dari negara-negara berkembang.

Protokol Kyoto merupakan sebuah pendekatan alami terhadap pemanasan global. Emisi yang berlebih menjadi pokok permasalahan yang diangkat. Namun, ternyata tidak mudah untuk mencapai kebijakan global yang bisa ditaati oleh semua negara di dunia. Amerika Serikat mangkir dari keputusan pertemuan ini dengan alasan ketidakadilan dan tidak kuat membayar biaya pengurangan emisi. Padahal Amerika Serikat merupakan penghasil emisi paling besar di dunia. Konsep protokol Kyoto sebenarnya sangat simpel yaitu membuat setiap orang membayar apa yang telah mereka lakukan dalam hal ini mereka membayar untuk polusi yang mereka ciptakan. Maka setiap negara di dunia perlu membayar pajak emisi karbon. Masalah lebih lanjut yang muncul adalah penentuan jumlah pembayaran yang adil bagi setiap negara. Negara-negara berkembang seharusnya tidak dipaksa memikul beban ekonomi untuk mengurangi polusi, karena sangat tidak adil memaksa negara-negara berkembang membayar kesalahan yang dilakukan oleh negara maju. Padahal negara-negara berkembang sendiri juga sedang berusaha untuk berkembang dan keluar dari kemiskinan. Ketegasan dalam pemberlakuan kebijakan ini memang perlu dilakukan terutama kepada Amerika Serikat selalu mangkir dari peraturan ini oleh karena itu sanksi perdagangan perlu diterapkan. Begitupula kalau melihat hasil pertemuan Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali pada bulan Desember tahun kemarin, Amerika Serikat juga masih mangkir dari tanggung jawab lingkungan ini. Peran PBB sebagai lembaga dunia menjadi sangat penting dan perlu bertindak netral disini. Memang, perlu adanya suatu kesadaran kepentingan moral yang sangat mendesak untuk bergabung dengan seluruh negara di dunia dalam menyelesaikan masalah pemanasan global ini.

Sumber:

Joseph Stiglitz, Making Globalization Work : Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil, Mizan, Bandung, 2007.



[get this widget]

Mei 26, 2008

DALIH-DALIH GLOBALISASI

0 comments

Tulisan Manfred Steger dalam bukunya Globalisme, Bangkitnya Ideologi Pasar salah satunya hendak mengangkat permasalahan seputar justifikasi globalisasi dengan lima klaim utama globalisasi yang dilontarkan oleh kaum globalis. Gagasan-gagasan utama dalam klaim globalisasi coba dikritisi oleh Manfred Steger. Steger bukannya mau menunjukkan negatifitas globalisasi namun hendak mengangkat kepentingan-kepentingan dibalik klaim-klaim yang ditawarkan oleh kaum globalis. Melalui klaim-klaim ini, kelompok neoliberal berupaya mengisi konsep globalisasi dengan nilai, kepercayaan, dan makna yang menopang perwujudan masyarakat global yang berdasar atas prinsip-prinsip pasar. Penilaian kritis Steger tentang lima klaim utama globalisasi menandaskan bahwa bahasa neoliberal mengenai globalisasi bersifat ideologis dalam pengertian bahwa ia didorong secara politis dan berperan menyumbang terciptanya konstruksi kepercayaan dan nilai-nilai masyarakat.

Lima klaim utama globalisasi yang dikritisi oleh Steger didapat dari berbagai pernyataan, pidato dan tulisan para pendukung globalisme yang berpengaruh. Adapun lima klaim utama globalisasi tersebut adalah: Klaim pertama: globalisasi adalah liberalisasi dan integrasi pasar. Klaim ini menyoroti hubungan negara dengan pasar. Term utama yang dipakai adalah penghargaan dan perlindungan kebebasan individu dalam masyarakat demokratis mampu mendorong terwujudnya fungsi pasar bebas. Kaum globalis tidak menghendaki pemerintah ikut campur tangan dalam ruang privat pasar. Mereka menuntut liberalisasi pasar yakni deregulasi perekonomian nasional. Tindakan ini tidak hanya akan memunculkan pasar global yang terintegrasi namun juga akan melahirkan kebebasan politik yang lebih besar bagi semua warga dunia. Klaim kedua: globalisasi adalah sesuatu yang tak terelakkan dan tak berbalik. Globalisasi merefleksikan penyebaran kekuatan pasar yang tidak bisa dibendung yang dikendalikan oleh inovasi teknologi dan menjadikan integrasi global perekonomian nasional menjadi tidak terelakkan. Pemerintah, partai politik, dan gerakan sosial tidak punya pilihan lain kecuali menyesuaikan dengan ketakterelakkan globalisasi tersebut. Hal ini membawa konsekuensi bahwa negara dan sistem antar negara harus bekerja untuk menjamin kinerja logika pasar. Klaim ketiga: tak seorangpun memegang kendali atas globalisasi. Masyarakat tidak bisa memegang kendali atas globalisasi. Globalisasi dipegang oleh pasar dan teknologi. Memang manusia dapat mempercepat atau memperlambat globalisasi namun sebenarnya yang memainkan peran kendali adalah tangan gaib pasar yang selalu menerapkan kebijaksanaannya yang superior. Klaim keempat: gobalisasi menguntungkan semua orang. Klaim ini didasarkan pada ideologi bahwa globalisasi yang tertuang dalam perdagangan bebas dan pasar terbuka memberikan prospek terbaik bagi penciptaan lapangan kerja, merangsang pertumbuhan ekonomi dan peningkatan standart hidup bagi masyarakat di seluruh dunia. Keuntungan globalisasi akan menyebar ke seluruh penjuru dunia dan ke seluruh sektor masyarakat. Klaim kelima: globalisasi meningkatkan penyebaran demokrasi di seluruh dunia. Klaim ini didasarkan pada wacana publik yang menyamakan antara pasar bebas dan demokrasi. Strategi yang sering dibuat oleh kaum neoliberal untuk menarik dukungan massa adalah pendiskreditan tradisionalisme dan sosialisme. Para pendukung globalisasi sangat menekankan korelasi antara tingkat perkembangan ekonomi suatu negara dengan keberhasilan demokrasi. Memang korelasi yang terjadi tidak dapat ditangkap secara langsung namun tingkat perkembangan ekonomi yang dihasilkan globalisasi memberikan situasi yang kondusif bagi terciptanya masyarakat sipil dan kelas menengah yang kuat. Kelas menengah yang kuat inilah yang akan mendorong demokrasi.

Lima klaim globalis ini menunjukkan bahwa globalisme cukup komprehensif dan sistematis untuk dianggap sebagai ideologi. Lima klaim inilah yang coba dikritisi oleh Manfred Steger dengan berbagai argumen pertimbangan yang masuk akal. Dalam kesimpulan, ia menyebutkan bahwa ideologi globalisasi ini mampu merengkuh keuntungan politik dengan memanfaatkan konsep globalisasi sebagai kendaraan untuk memperkuat dan meningkatkan ekspansi paradigma pasar mereka. Globalisasi menyediakan perekat kultural dan konseptual yang mempertahankan kekuasan politik dan sosial elit-elit neoliberal di seluruh penjuru dunia.

Apa fungsi negara atau state? Negara mempunyai tanggung jawab untuk memberikan jaminan bagi hak milik pribadi kepada rakyatnya, termasuk kaum pengusaha. Keamanan dan hak milik pribadi dijamin oleh negara, dan hal ini pada gilirannya menimbulkan konsolidasi dan legitimasi bagi negara. Namun apakah jaminan ini benar-benar diupayakan oleh negara? Melalui tulisan Manfred Steger ini, dapat dilihat bahwa kedaulatan negara menjadi dipertanyakan. Mengapa demikian? Arus globalisasi telah menghantam tembok-tembok kedaulatan negara. Apa yang diupayakan negara pastilah bukan lagi jaminan kesejahteraan bagi semua warga tetapi kesejahteraan bagi para pengusaha, pemimpin negara dan juga kaum globalis sendiri. Klaim bahwa kesejahteraan ekonomi berbanding lurus dengan perkembangan negara yang demokratis, bagi saya tidak masuk akal. Negara yang demokratis tentunya punya kewajiban melindungi hak-hak warganya namun kalau mekanisme pasar bebas dijalankan jelas akan meruntuhkan demokrasi suatu negara. Mekanisme pasar bebas selalu menuntut supaya tidak ada campur tangan negara, mereka dapat secara leluasa beroperasi di dalam suatu negara yang otoriter dimana tidak banyak aturan, buruh bisa didapat secara murah dan tanpa jaminan kesejahteraan, tingkat pajak yang rendah dll. bahkan dampak dari pasar bebas akan terasa lebih ngeri lagi apabila negara menjadi kendaraan kaum kapitalis.

Para pemimpin negara dengan mudah dapat menjual “negara”nya kepada para pemodal asing dengan dalih untuk membangun iklim ekonomi yang kondusif. Tentunya para pemimpin negara tidak mau kalau dikatakan sebagai agen kapitalisme global, mereka tetap akan mengatakan bahwa perangkat negara telah mengusahakan perkembangan kondisi ekonomi yang semakin stabil bahkan meningkat sebagai dalih. Apabila kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir orang dalam suatu negara, niscaya akan menyebabkan runtuhnya demokrasi karena rakyat tidak mempunyai akses dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah dan tidak mendapatkan kesejahteraan sebagai bagian dari haknya sebagai warga. Fenomena lain mungkin bisa terjadi bahwa negara kelihatan demokratis diluarnya tetapi yang terjadi di belakang layar, para pemimpin negara dan para pelaku politik berkonspirasi dengan kapitalis global. Kedaulatan negara tidak lagi berada di tangan rakyat namun kedaulatan suatu negara sudah dimiliki oleh para kapitalis global. Klaim-klaim yang diajukan oleh kaum globalis semata-mata hanya semacam propaganda belaka.


Sumber:
Manfred B. Steger, Globalisme, Bangkitnya Ideologi Pasar, Lafadl Pustaka, 2005.



[get this widget]

April 19, 2008

Pesan Bapa Suci untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke- 42 pada 4 Mei 2008

0 comments

 

‘Media Komunikasi Sosial:

Pada persimpangan antara Pengacuan Diri dan Pelayanan.

Mencari Kebenaran untuk berbagi dengan orang lain.

 

 

Saudara-Saudari Terkasih,

1. Tema Hari Komunikasi Sedunia tahun ini –“Media Komunikasi Sosial: Pada persimpangan antara pengacuan diri dan pelayanan. Mencari kebenaran untuk berbagi dengan orang lain” – menekankan betapa pentingnya peranan media dalam kehidupan perorangan dan masyarakat. Sesungguhnya, dengan meluasnya pengaruh globalisasi, tak ada satupun ruang lingkup dalam pengalaman hidup manusia yang lolos dari pengaruh media. Media telah menjadi bagian integral dalam hubungan antarpribadi dan perkembangan hidup sosial, ekonomi, politik dan religius. Seperti yang telah Saya tandaskan dalam Pesanku untuk Hari Perdamaian Sedunia tahun ini (1 Januari 2008) bahwa: ’media komunikasi sosial terutama oleh kemampuannya untuk mendidik, ia memiliki tanggungjawab istimewa untuk memajukan rasa hormat terhadap keluarga, menguraikan secara jelas harapan-harapan dan hak-hak keluarga serta menghadirkan segala keelokannya’ (no 5).

 

2. Berkat perkembangan teknologi yang meroket, media telah memiliki kemampuan luar biasa yang serempak membawa berbagai pertanyaan dan persoalan baru yang tidak pernah dibayangkan sampai sekarang. Kita tidak dapat menyangkal sumbangsih yang diberikan oleh media dalam hal penyiaran berita, pengetahuan tentang peristiwa dan penyebaran informasi seperti peranannya yang menentukan dalam kampanye pemberantasan buta huruf dan kegiatan sosialisasi, pengembangan demokrasi dan dialog di antara bangsa-bangsa. Tanpa sumbangsih media, akan amat sulit mengembangkan dan memperkokoh saling pengertian di antara bangsa-bangsa, memungkin terwujudnya dialog perdamaian di dunia, memberikan jaminan akses ke informasi sekaligus menjamin sirkulasi gagasan secara leluasa teristimewa bagi mereka yang menggalakkan gagasan-gagasan kesetiakawanan dan keadilan sosial. Benar bahwa secara keseluruhan media bukanlah semata-mata sarana penyebaran gagasan. Media dapat dan harus juga menjadi sarana pelayanan bagi terciptanya rasa setia kawan dan keadilan yang lebih besar bagi dunia. Sayangnya betapapun demikian, ia sedang berubah menjadi sistem yang bertujuan mendorong manusia untuk menyerah kepada agenda yang didikte oleh kepentingan-kepentingan digdaya masa sekarang. Begitulah kalau komunikasi digunakan untuk maksud-maksud idiologis atau demi reklame agresif produk-produk konsumen. Dengan dalih untuk menghadirkan realitas, media dapat mengukuhkan atau memaksakan model-model pribadi, keluarga atau kehidupan sosial yang menyimpang. Bahkan, agar bisa menarik perhatian para pendengar dan meningkatkan jumlah khalayak, ia tidak ragu-ragu mempraktikkan berbagai pelanggaran, hal-hal yang tidak sopan dan kekerasan. Media juga dapat memperkenalkan dan mendukung model-model pembangunan yang bukannya memperkecil malah memperbesar jurang teknologi antara negara-negara kaya dan miskin.

 

3. Umat manusia pada zaman sekarang berada pada persimpangan jalan. Hal ini berlaku juga untuk media seperti yang telah Saya tandaskan dalam ensiklik Spe Salvi tentang makna ganda kemajuan yang di satu pihak memberikan kemungkinan baru untuk kebaikan tetapi pada pihak lain membuka begitu besar peluang untuk hal-hal yang jahat yang tidak pernah ada sebelumnya (bdk. No.22). Karena itu kita seharusnya bertanya apakah bijaksana membiarkan sarana komunikasi sosial dipakai untuk kemajuan diri sendiri atau membiarkan penggunaannya di tangan mereka yang memanfaatkan untuk memanipulasi kesadaran manusia. Apakah tidak ada suatu prioritas untuk memastikan bahwa media komunikasi itu tetap mengemban misi pelayanan bagi pribadi dan bagi kebaikan bersama dan bahwa media komunikasi membantu mengembangkan ”formasi etis manusia . . . pertumbuhan batin manusia” (ibid.)? Pengaruhnya yang luar biasa dalam kehidupan perorangan maupun dalam masyarakat telah diakui secara luas, tetapi sekalipun demikian, dengan melihat kenyataan sekarang ini, dibutuhkan perubahan peranan media yang radikal dan menyeluruh. Pada masa sekarang, kian hari, komunikasi nampaknya tidak sekadar menghadirkan kenyataan tetapi justru menentukan kenyataan, memperlihatkan kekuatan dan daya mempengaruhi yang dimilikinya. Sudah menjadi nyata, misalkan, bahwa dalam situasi-situasi tertentu media tidak dipakai untuk maksud-maksud yang tepat untuk menyebarkan informasi, tetapi justru untuk ’menciptakan’ peristiwa. Perubahan peranan yang membahayakan seperti ini telah diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh banyak pemimpin Gereja. Justru karena kita sedang berurusan dengan kenyataan-kenyataan yang berdampak luas pada semua matra kehidupan manusia (moral, intelektual, religius, relasional, afektif, kultural) dimana nilai manusia dipertaruhkan, maka kita mesti menekankan bahwa tidak semua yang dimungkinkan secara teknis, juga diperbolehkan secara etis. Oleh karena itu, pengaruh media komunikasi dalam kehidupan modern mendatangkan berbagai pertanyaan yang tak dapat dielakkan, yang menuntut pilihan dan jalan keluar yang tidak dapat ditunda.

 

4. Peran yang dimainkan oleh media komunikasi sosial dalam masyarakat mestinya dianggap sebagai persoalan ’antropologis’ yang muncul sebagai tantangan kunci dalam milenium ketiga. Seperti yang kita saksikan dalam kehidupan manusia, dalam hidup perkawinan dan keluarga serta dalam isu-isu besar modern seperti perdamaian, keadilan, perlindungan terhadap mahkluk ciptaan, begitu juga di sektor komunikasi sosial terdapat matra-matra khas hidup manusia dan dimensi kebenaran yang berkaitan dengan pribadi manusia. Apabila komunikasi kehilangan daya penyangga etis dan menghindari diri dari pengawasan masyarakat maka ia tidak lagi menghiraukan sentra dan martabat luhur pribadi manusia. Dengan akibat, ia akan memberikan pengaruh negatif terhadap kesadaran manusia, terhadap pilihan putusan manusia dan secara definitif menentukan kebebasan dan hidup manusia itu sendiri. Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang hakikih bahwa komunikasi sosial harus sungguh-sungguh membela pribadi dan menghormati martabat manusia secara utuh. Banyak orang berpikir bahwa dalam hal ini, dibutuhkan suatu ’info-etika’ sama halnya bio-etika di bidang kedokteran dan di bidang riset ilmiah yang berkaitan dengan kehidupan.

 

5. Media harus menghindarkan diri untuk menjadi juru bicara aliran materialisme ekonomi dan relativisme etika, bencana serius di zaman kita ini. Walaupun demikian ia dapat dan harus memberikan sumbangsihnya agar kebenaran tentang umat manusia dikenal, membelanya melawan segala yang berkeinginan mengabaikan dan memusnahkannya. Bahkan boleh dikatakan bahwa mencari dan menghadirkan kebenaran tentang manusia adalah panggilan terluhur komunikasi sosial. Dengan memanfaatkan berbagai cara yang dimiliki media untuk maksud dan tujuan seperti ini adalah suatu tugas yang mulia yang pada tempat pertama dipercayakan kepada penanggungjawab dan operator di bidang ini. Akan tetapi dalam hal-hal tertentu, menyangkut kita semua di zaman globalisasi seperti sekarang, semua kita adalah konsumen dan operator komunikasi sosial. Media baru – secara istimewa telekomunikasi dan internet- sedang mengubah wajah komunikasi; dan barangkali ini merupakan peluang emas untuk mendisain, menjadikan wajah komunikasi menjadi lebih tampak yang oleh Pendahulu Saya Yohanes Paulus II, dianggap sebagai unsur-unsur kebenaran hakiki dan tak tergantikan dari pribadi manusia (bdk. Surat Gemba Perkembangan yang Cepat, 10).

 

6. Manusia merasa haus akan kebenaran, ia mencari kebenaran; hal ini terbukti melalui minat dan kesuksesan yang dicapai sekian banyak penerbitan, program-program atau film-film bermutu dimana kebenaran, keindahan dan keluhuran manusia termasuk matra keimanan manusia diakui dan ditampilkan secara baik. Yesus mengatakan: ”Kamu akan mengetahui kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh 8:32). Kebenaran yang memerdekan kita adalah Kristus, karena hanya Ia sendirilah yang dapat memberikan jawaban yang penuh terhadap kehausan akan hidup dan akan kasih yang ada dalam hati manusia. Barangsiapa yang telah menemukan Dia dan dengan senang hati menerima pewartaanNya, ia berkeinginan untuk membagikan dan mengkomunikasikan kebenaran itu. Santu Yohanes menandaskan: ”Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman Hidup . . .itulah yang kami wartakan kepada kamu, agar kamupun beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-NyaYesus Kristus. Dan semuanya ini kami tuliskan kepada kamu, supaya sukacita kami menjadi sempurna” (1 Yoh 1:1-4).

 

Marilah kita memohon kepada Roh Kudus agar selalu ada para komunikator yang berani dan saksi-saksi kebenaran yang sejati, percaya akan mandat Kristus dan memiliki minat yang besar terhadap warta iman, para komunikator yang ”tahu menerjemahkan kebutuhan budaya modern, memiliki komitmen untuk menghidupi abad komunikasi tanpa merasa asing dan ragu-ragu tetapi sebagi suatu periode berharga untuk mencari kebenaran serta memajukan persekutuan di antara umat manusia dan di antara bangsa-bangsa”

 

Dengan tulus hati, Saya menyampaikan berkatku kepada kamu sekalian

Vatikan, 24 Januari 2008, Pesta St. Fransiskus de Sales

PAUS BENEDIKTUS XVI



[get this widget]

April 10, 2008

TANTANGAN SEORANG PRESBITER?

0 comments

Rm. Mangun dalam Gereja Diaspora menuliskan tentang siapakah umat kristiani sekarang ini. Perlu disadari bahwa umat kristiani tidak lagi hidup dalam masyarakat agraris melainkan hidup dalam rimba metropolitan yang penuh dengan kebisingan dan kekejaman yang belum pernah dilami oleh bangsa kita sebelumnya. Dinamika kota industri dan bisnis modern, struktur serta jaringan-jaringan yang lintas teritorial bahkan suprateritorial semakin membongkar dan mencerai-beraikan seluruh kehidupan. Umat seagama seiman menjadi serba terpencar dengan kata lain menjadi diaspora[1]. Pada dasarnya model paroki berstruktur teritorial dari budaya agraris masih dominan, tetapi semakin hari semakin amat sulit melayani pembekalan spiritual dan pendampingan rohani (sering jasmani juga) yang pas bagi manusia yang sudah hidup dalam dunia yang lain sama sekali cara kerja serta gaya hidupnya dalam iklim dan suasana perkotaan yang lebih mengikuti fungsi kerja atau lapangan mencari nafkah. Gereja berada dalam situasi jaringan, umat menjadi terpencar-pencar. Namun yang menjadi pertanyaan: Siapakah Gereja dalam konteks situasi demikian? Siapakah umat? Semoga pandangan saya tentang Gereja dan umat tidak hanya terpatok pada peristiwa dimana setiap hari banyak umat berduyun-duyun datang ke gereja dan merayakan ekaristi setiap hari atau setiap minggu, atau anak-anak sampai simbah-simbah yang mengikuti doa rosario di lingkungan. Gereja adalah paguyuban manusiawi historis yang mengimani Allah, maka tidak hanya terpatok pada umat yang rajin berdoa di gereja atau lingkungan, tetapi juga mereka yang tidak bisa mengikuti kegiatan gereja karena rumah yang terpencil dari gereja atau mereka yang tidak mampu pergi mengikuti perayaan ekaristi karena tuntutan pekerjaan namun mereka semua sungguh merasakan kehadiran Allah yang menyapa dalam hidupnya dan saling meneguhkan satu sama lain dalam iman.

Suasana ini menghantarkan sosok seorang imam (yang pastinya mumpuni dalam seni penggembalaan) untuk mencari dan menerapkan model penggembalaan yang dapat dirasakan oleh umat kristiani yang masih berdiam dalam paroki teritorialnya hingga merambah dan berkesan kepada mereka yang hidup dan tinggal dalam suasana diaspora. Dalam tantangan penggembalaan yang demikian ini apa yang dapat dibuat oleh seorang imam?


Gaya Pelayanan yang Perlu Diusahakan

Lebih lanjut dalam Gereja Diaspora, Rm. Mangun menulis: Demikianlah realitas budaya urban modern dan pascamodern di kemudian hari akan lebih menuntut terutama kemampuan-kemampuan komunikator dan koordinator dari para pembina dan pendamping umat[2]. Bentuk pelayanan yang perlu dikembangkan oleh seorang imam dalam situasi diaspora adalah sosok imam sebagai komunikator dan koordinator. Bagaimana hal ini mau dipahami dalam konteks Gereja sekarang? Saya memahami kata komunikator berarti bahwa ada “pribadi” dan “ada yang dikomunikasikan”. Pribadi adalah kehadiran imam sendiri dengan seluruh keterlibatan hidup mengusahakan tugas komunitas yaitu untuk mengkomunikasikan kisah Allah dalam sejarah manusia sehingga kisah Allah menjadi kisah hidup dalam sejarah manusia. Memang komunikasi yang terjadi bukan hanya sampai disini saja namun lebih dari itu, peran komunikator adalah penggerak jemaat supaya mereka juga mampu memancarkan wajah Kristus di dunia kepada setiap orang melalui berbagai macam bentuk kegiatan yang dijalaninya setiap hari, entah itu di kantor, di pasar, di rumah maupun dimana terdapat simpul-simpul komunitas umat beriman. Komunikasi iman dan jemaat bukan semata-mata komunikasi fungsional saja namun dalam wacana ini komunikasi yang terjalin mewujud dalam bentuk relasi. Hal ini senada dalam 2 Kor 3:2-3, dimana Paulus mau menujukkan relasi antara pelayan imam dan komunitas dalam Peranjian Baru. Imam jabatan masih mempunyai banyak tugas yang real, tidak hanya simbolis belaka, hanya saja metodologinya harus berubah menyesuaikan diri dengan situasi jemaat yang sudah diaspora. Tentunya segala macam pelayanan gereja tidak harus dijalankan oleh seorang imam mengingat situasi yang terpencar. Figur seorang imam diharapkan tampak dalam pribadinya yang mampu memberi motivasi, memberdayakan (empowering), mengembangkan (transformative), melibatkan (participative), mau mempelajari apa saja dari siapa saja dan dimana saja, tekun merawat dan menumbuhkan, mampu menjadi teladan dan menjadi teman seperjalanan bagi umat beriman.


Fungsi Presbiter dan Segala Tantangannya

Panggilan setiap imam senantiasa berada dalam Gereja dan demi Gereja; melalui Gereja panggilan itu dilaksanakan[3]. Imam hanya berfungsi dalam konteks hidup Gereja. Dan hidup Gereja itu hanya mempunyai makna seumpama Gereja sungguh menjadi sakramen kehadiran Allah dalam sejarah manusia. Kehadiran Imam bukan karena dari pribadinya adalah orang suci namun terlebih kehadiran seorang imam dalam Gereja memiliki tugas untuk menjalankan apa yang menjadi tugas paguyuban, maka disinilah letak profesionalitas imam. Dan tugas imam dalam konteks Gereja adalah berperan serta menyambungkan kisah Allah kepada manusia dan sebaliknya manusia kepada Allah. Imam bertanggung jawab terhadap pewartaan Injil Suci supaya sampai kepada manusia dan bertanggung jawab terhadap paguyuban yaitu umat yang mengangkat dia. Guna menjalankan tugas tersebut kehidupan seorang imam perlu senantiasa berakar dalam pribadi Kristus, karena dalam Kristuslah dia turut mengambil bagian dalam tugas-Nya yaitu sebagai Imam, Nabi dan Raja.

Dalam situasi diaspora, sosok presbiter tentunya tidak akan melulu berkutat pada masalah liturgis semata (kendati itu juga pokok) seperti dalam gereja teritorial. Kehadiran seorang imam mendapat tuntutan dan tantangan ketika umatnya berada dalam situasi yang terpencar-pencar yang kemungkinan tidak dapat hadir untuk merayakan misa mingguan secara rutin dalam teritorinya namun dalam teritori lain. Kehadiran imam mendapat tantangan ketika umatnya tidak dapat secara aktif mengikuti kegiatan sembahyangan lingkungan, atau aktif dalam kepengurusan paroki atau stasi tetapi dapat mengusahakan kerja secara profesional di tempatnya bekerja. Kehadiran seorang imam yang dengan segenap wawasannya, waktunya, tenaganya dan seluruh hidupnya membaktikan diri dalam pelayanan secara total kepada jemaat tanpa dibatasi oleh sekat-sekat pembatas demi iman yaitu supaya warta Injil sampai kepada jemaat.

Saya membayangkan pelayanan dalam Gereja demikian ini, sosok seorang imam dengan segala tantangan dan tuntutan pastoral yang dihadapi perlu mengusahakan cara penggembalaan yang khas dan unik seturut situasi yang dihadapi. Tuntutan pribadi seorang imam pertama-tama adalah pangilan akan kesucian. Seorang imam perlu senantiasa mengusahakan hidup dalam kesucian. Kesucian dapat dipahami dalam kerangka senantiasa mengusahakan keakraban dengan Kristus. Kesucian seorang imam menjadi sarana membangun disposisi batin yang dipenuhi dengan roh sehingga memungkinkan seorang imam mampu melihat segala macam peristiwa yang dihadapi dalam bimbingan roh. Kesucian hidup seorang imam ini menjadi wujud kesaksian iman bagi jemaat dan bagi dunia. Maka disinilah akan nampak profesionalitas seorang imam sebagai saksi iman, mampu menghadirkan warta iman bagi jemaat melalui kehidupan konkretnya.

Dari segi pelayanan, kehidupan paroki menuntut kehadiran sosok seorang imam yang mampu membangun kerjasama dengan jemaat. Kehadiran imam sebagai penghubung kisah Allah agar kisah Allah ini menjadi kisah sejarah dalam hidup manusia, akan menjadi nyata seumpama seorang imam mampu menggerakkan (memberikan pengaruh positif) setiap jemaat untuk menjadi penghubung warta iman ini kepada jemaat lainnya. Kerjasama imam dan jemaat ini menjadi sarana efektif agar pewartaan iman dalam gereja secara khusus gereja diaspora menjadi nyata (artinya sampai kepada jemaat). Oleh karena itu setiap jemaat punya peran sebagai juru warta ini. Saya membayangkan simbah-simbah yang pagi-pagi datang merayakan ekaristi dan kemudian dengan kegembiraan hati pergi ke pasar sambil membawa sebuah tenggok berisi sayuran dan menjualnya kepada orang lain hingga seorang karyawati sebuah BUMN yang tetap bersemangat dalam kerja lemburnya sambil membaca mobile bible[4] dari handphonenya mampu membagikan pengalaman imannya melalui pekerjaannya setiap hari kepada seiap orang yang dijumpainya, tentunya bukan hanya orang-orang yang seagama dengannya. Dalam kehidupan parokial tentunya juga demikian, mulai dari seorang koster, tukang masak pasturan sampai Prodiakon atau Dewan Paroki mempunyai peran khas masing-masing dan saling melengkapi satu sama lain. Disinilah sungguh hadir Gereja, dimana hadir pribadi-pribadi yang mampu menjalankan peran dalam pelayanan yang sama yaitu supaya warta Injil sampai kepada setiap orang. Ada kesatuan peran dalam pelayanan, yang mempersatukan adalah Warta Sabda hanya saja mereka mengambil peran melalui tugas khas kehidupan mereka masing-masing.

Dalam situasi demikian peran imam adalah mengusahakan Gereja yang accessible (mudah dimasuki) bagi semua orang yang mendambakan warta iman. Tantangannya adalah mengusahakan berbagai karya pelayanan yang beragam (yang tidak hanya dibatasi oleh teritorial) sehingga semakin banyak orang merasa hidup dalam iman dan menangkap kisah hidup Allah melalui berbagai karya pelayanan tersebut.


Apa yang Menjadi Dasarnya?

Melalui liturgi tahbisan (secara khusus penumpangan tangan dan doa tahbisan) seorang imam diperbaharui dalam roh. Roh yang membangkitkan Yesus dari kematian, Roh yang senantiasa menyertai Gereja dimohon supaya bekerja dalam diri imam pula. Peran imam hanya mampu terlaksana apabila mengandalkan pada Roh, yaitu hidup ilahi yang diberikan kepada manusia sehingga seorang tertahbis yang memangku martabat imamat dalam dan melalui dirinya terlibat dalam karya kreatif Allah yaitu memaklumkan Diri-Nya dalam Warta Sabda. Mengutip pernyataan Paulus dalam 2 Kor 5:14a “Sebab kasih Kristus yang menguasai kami” saya meyakini bahwa semua bentuk ministering dalam Gereja mendapat dasarnya pada Kristus. Peran Imam sebagai penyambung (connector) bukan hanya berperan dalam dirinya sendiri tetapi juga mengikutsertakan seluruh umat beriman untuk berperan serta juga menyambungkan kisah Allah kepada manusia dan kisah manusia kepada Allah. Pelayanan serta hidup para presbiter diikat dalam kesatuan dengan kristus sehingga mereka mampu bertindak dalam pribadi Kristus Kepala[5].


[1] Mangunwijaya, Pr., YB., Gereja Diaspora, Kanisius, Yogyakarta, 1999, 53.

[2] Mangunwijaya, Pr., YB., Gereja Diaspora, 81.

[3] Pastores Dabo Vobis no. 35.

[4] Mobile Bible adalah layanan sms harian yang di dalamnya berisi teks salah satu pikop kitab suci dan bahan renungan singkat berdasar perikop tersebut.

[5] Prebyterorum Ordinis no. 2.



[get this widget]

DARI PURAWISATA MENUJU CAESAR CAFÉ Multikulturalisme Dunia Hiburan di Yogyakarta

0 comments

Yogyakarta Terancam Bahaya Budaya?

Daerah Istimewa Yogyakarta. Mendengar kota ini tentunya kita akan dibawa dalam bayangan sebuah kota yang indah, sejuk, nyaman, khas dan segudang predikat lain lagi yang melekat didalamnya. Memang, kota Yogyakarta dikenal sebagai kota pendidikan, kota budaya, kota tradisi, kota sejarah dll. Pembangunan-pembangunan di berbagai sektor kehidupan seperti ekonomi, sosial budaya dan lain-lain senantiasa diusahakan demi semakin berkembangnya kota. Berbagai upaya dilakukan untuk mengembangkan budaya kota Yogyakarta yang notabene menjadi salah satu daerah tujuan wisata maka dicanangkan pula slogan Jogja Never Ending Asia.

Tak ubahnya sebuah usaha peningkatan tetaplah akan menimbulkan dan membawa konsekuensi tertentu. Dalam KOMPAS Yogyakarta pernah memberitakan sebuah diskusi bertajuk "Masa Depan Yogyakarta sebagai Kota Budaya" yang diadakan pada hari Senin 21 Mei 2007 di Karta Pustaka Yogyakarta. Diskusi ini digelar oleh Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies, bekerja sama dengan Kompas, Karta Pustaka, Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada, Kemitraan-Partnership, dan Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma. Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Bakdi Soemanto, memaparkan bahwa persoalan budaya di Yogyakarta sudah mencapai pada tingkat bahaya. Datangnya kebudayaan dari luar negeri dan berbagai teknologi modern yang merusak telah mengancam nilai-nilai kemanusiaan Yogyakarta. Masyarakat dilihat tidak begitu peka lagi terhadap gejala makin lunturnya budaya. Bakdi Soemanto menuturkan sebutan Yogyakarta sebagai "kota budaya" memang pas. Hal ini didasarkan bahwa di Yogyakarta terdapat dua layers atau lembaran besar, yaitu kebudayaan lama yang berakar pada tradisi, keraton, dan rakyat, serta kebudayaan baru yang lebih berbau "barat". Kedua semangat budaya tersebut bertemu, berdialog, berkolaborasi, bahkan bersinergi. Namun, sekarang semakin deras diserbu budaya luar yang berwujud kekuasaan modal, seperti maraknya pendirian mal dan hotel. Karena itu, semangat kapitalistik menjadi semakin menguat. Sekali lagi ditandaskan oleh Bakdi Soemanto bahwa hal ini semua merusak suasana budaya Yogyakarta[1].

Tulisan ini hendak mengulas tentang dialog budaya antara budaya lokal yang menjadi tradisi Yogyakarta dan budaya-budaya yang dianggap “baru” oleh masyarakat Yogyakarta yang semakin hari semakin menjamur di seantero wilayah Yogyakarta. Secara khusus tulisan ini hendak membahas tentang fenomena munculnya kafe, diskotek atau klub malam. Budaya ini tentunya bukan budaya lokal, bukanlah budaya asli Yogyakarta namun keberadaan kafe, diskotek, atau klub malam semakin hari semakin menjamur seiring juga dengan semakin banyaknya mal yang ada di Yogyakarta. Suatu budaya tentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat, apalagi keberadaan klub-klub malam ini semakin hari semakin banyak diminati oleh masyarakat secara khusus kaum muda. Sebenarnya apa yang membuat kehadiran klub malam ini mendapat banyak respon dari masyarakat Yogyakarta dan apa pengaruhnya terhadap budaya lokal dan terhadap kehidupan masyarakat secara khusus kaum muda di Yogyakarta. Ada dua pengandaian yang bisa menjadi hipotesis sementara dari tulisan ini yaitu: pertama, kehadiran kafe-kafe, klub malam, diskotek di Yogyakarta telah mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup kaum muda Yogyakarta. Kedua, Kota Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya yang sangat memegang tradisi tetapi di sisi lain ternyata turut berperan dalam memfasilitasi tumbuhnya budaya-budaya yang diusung dari dunia Barat. Apakah memang benar demikian yang terjadi di Yogyakarta? Apakah ini menjadi tanda atau kriteria bahwa memang sudah sedemikian luntur penghargaan masyarakat Yogyakarta terhadap budaya sendiri?


Yogyakarta sebagai Kota yang Istimewa

Yogyakarta dalam Perspektif sejarah

Menurut sejarahnya, antara tahun 1568 - 1586 di pulau Jawa bagian tengah, berdiri Kerajaan Pajang yang diperintah oleh Sultan Hadiwijaya, di mana semasa mudanya beliau terkenal dengan nama Jaka Tingkir. Dalam pertikaian dengan Adipati dari Jipang yang bernama Arya Penangsang, beliau berhasil muncul sebagai pemenang atas bantuan dari beberapa orang panglima perangnya, antara lain Ki Ageng Pemanahan dan putera kandungnya yang bernama Bagus Sutawijaya, seorang Hangabehi yang bertempat tinggal di sebelah utara pasar dan oleh karenanya beliau mendapat sebutan: Ngabehi Loring Pasar. Sebagai balas jasa kepada Ki Ageng Pemanahan dan puteranya itu, Sultan Pajang kemudian memberikan anugerah sebidang daerah yang disebut Bumi Mentaok, yang masih berupa hutan belantara, dan kemudian dibangun mejadi sebuah “tanah perdikan”. Sesurut Kerajaan Pajang, Bagus Sutawijaya yang juga menjadi putra angkat Sultan Pajang, kemudian mendirikan Kerajaan Mataram di atas Bumi Mentaok dan mengangkat diri sebagai Raja dengan gelar Panembahan Senopati. Salah seorang putera beliau dari pekawinannya dengan Retno Dumilah, putri Adipati Madiun, memerintah Kerajaan Mataram sebagai Raja ketiga, dan bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo, Beliau adalah seorang patriot sejati dan terkenal dengan perjuangan beliau merebut kota Batavia, yang sekarang disebut Jakarta, dari kekuasaan VOC, suatu organisasi dagang Belanda. Waktu terus berjalan dan peristiwa silih berganti. Pada permulaan abad ke-18, Kerajaan Mataram diperintah oleh Sri Sunan Paku Buwono ke II. Setelah beliau mangkat, terjadilah pertikaian keluarga, antara salah seorang putra beliau dengan salah seorang adik beliau, yang merupakan pula hasil hasutan dari penjajah Belanda yang berkuasa saat itu. Petikaian itu dapat diselesaikan dengan baik melalui Perjanjian Giyanti, yang terjadi pada tahun 1755, yang isi pokoknya adalah Palihan Nagari, artinya pembagian Kerajaan menjadi dua, yakni Kerajaan Surakarta Hadiningrat dibawah pemerintah putera Sunan Paku Buwono ke-III, dan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dibawah pemerintahan adik kandung Sri Sunan Paku Buwono ke-II yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat ini kemudian lazim disebut sebagai. Pada tahun 1813, Sri Sultan Hamengku Buwono I, menyerahkan sebagian dari wilayah Kerajaannya yang terletak di sebelah Barat sungai Progo, kepada salah seorang puteranya yang bernama Pangeran Notokusumo untuk memerintah di daerah itu secara bebas, dengan kedaulatan yang penuh. Pangeran Notokusumo selanjutnya bergelar sebagai Sri Paku Alam I, sedang daerah kekuasaan beliau disebut Adikarto. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, beliau menyatakan sepenuhnya berdiri di belakang Negara Republik Indonesia, sebagai bagian dari negara persatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya bersatatus Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain sebagai daerah istimewa, Yogyakarta juga mempunyai predikat lain seperti Kota Pendidikan, Kota Budaya, Daerah Tujuan Wisata Utama, Pusat Pelayanan Perdagangan dan Transportasi Regional serta sebagai Pusat Pengembangan Industri Kecil[2].

Yogyakarta: Kota Pendidikan

Sebutan sebagai Kota Pendidikan sangat berkaitan dengan proses sejarah. Pada tahun 1946 - 1949 Yogyakarta berkedudukan sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia, sehingga aktivitas kenegaraan terkonsentrasi di sini. Hal ini memacu para remaja dari seluruh penjuru nusantara untuk berpartisipasi bagi kemajuan negara yang baru merdeka. Atas dasar kebutuhan yang makin mendesak, maka pemerintah medirikan Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai universitas negeri pertama yang lahir pada jaman kemerdekaan. Kemudian diikuti pula dengan berdirinya Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) dan Akademi Musik Indonesia (AMI) (sekarang keduanya digabung menjadi Institut Seni Indonesia Yogyakarta) serta Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (sekarang IAIN Sunan Kalijaga). Seperti layaknya sebuah ibukota, Jogja memikat kedatangan para kaum remaja dari seluruh penjuru tanah air yang ingin berpartisipasi dalam mengisi pembangunan negara yang baru saja merdeka. Pada waktu itu bediri lembaga-lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta sehingga hampir tidak ada cabang ilmu pengetahuan yang tidak diajarkan di kota ini. Hal ini menjadikan kota Yogya tumbuh menjadi kota pelajar dan pusat pendidikan. Dulu, sarana mobilitas paling populer di kalangan pelajar, mahasiswa, karyawan, pegawai, pedagang dan masyarakat umum adalah sepeda sehingga Yogya juga pernah dikenal sebagai kota sepeda yang kini sudah digantikan menjadi sepeda motor.

Dengan julukannya sebagai kota pendidikan, di Yogyakarta terdapat berbagi jenis usaha yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Usaha sewa kamar atau yang lebih dikenal dengan istilah rumah kost merebak di hampir setiap rumah, baik yang berbentuk asrama (putra/putri) maupun berbentuk kost yang menyatu dengan rumah induknya. Dilihat dari fasilitasnya, terdapat beberapa kelas usaha rumah kost. Dari yang paling sederhana (kamar kosong) sampai dengan yang paling mewah (dengan fasilitas kamar mandi, televisi, dan telepon per kamar). Dilihat dari segi manajemen, hampir semua usaha kost ini bersifat informal. Tidak ada standar harga yang seragam. Harga cenderung dipengaruhi oleh lokasi kost terhadap pusat-pusat pertumbuhan, seperti lokasi sekolah/perguruan tinggi, areal pertokoan dan lain-lain. Dari keberadaan rumah kost inilah berbagai lapangan usaha baru biasanya diciptakan. Di sekitar lokasi kost umumnya terdapat warung-warung makan sederhana, jasa pencucian dan binatu. Dengan semakin banyaknya usaha warung makan, suhu persaingan antar warung makan juga semakin terlihat. Usaha untuk memperkuat daya saing tiap warung makan umumnya diwujudkan dengan memberikan berbagai fasilitas kenyamanan, seperti pola self-service, minuman mineral yang memberikan secara gratis, fasilitas televisi dan surat kabar di ruang makan dan sebagainya.

Sementara itu, dengan semakin banyaknya rumah kost, akhir-akhir ini muncul pula usaha jasa kost, yaitu usaha-usaha informasi tentang rumah/kamar kost yang belum dihuni. Berkaitan dengan kebutuhan bacaan, alat-alat tulis dan peraga pendidikan, terdapat cukup banyak toko-toko buku dan alat tulis. Disamping itu, terdapat pula usaha informal kegiatan pendidikan, misalnya produksi rak-rak/almari buku, meja-kursi belajar. Produk-produk yang berbahan baku kayu ini dikemas secara sederhana, dan terpampang dipinggiran jalan di sekitar lokasi sekolah, seperti di sekitar jalan Samirono, disekitar Ringroad, dan lain-lain. Seiring dengan era komputerisasi, usaha penyewaan komputer menjamur di hampir setiap sisi kehidupan mahasiswa. Usaha yang umumnya dikelola oleh mahasiswa ini biasanya menawarkan jasa penyewaan, pengetikan, pencetakan, olah data, serta yang terakhir ini juga marak adalah 'warnet' atau warung internet dengan sewa perjamnya yang bervariasi dan memberikan pelayanan yang cukup memuaskan bagi pelanggannya. Suhu persaingan antar penyewaan biasanya mengacu pada kehandalan mesin yang disewakan, disamping adanya berbagai fasilitas seperti minuman gratis, kopi gratis (bagi yang lembur) dan harga khusus untuk penyewaan malam hari. Usaha lain di bidang pendidikan yang amat mencolok adalah pada usaha jasa pendidikan itu sendiri. Berbagai kursus, les privat, dan lembaga pendidikan memperkukuh basis pendidikan kota ini. Hal menarik dari pertumbuhan lembaga pendidikan ini adalah semakin banyaknya jenis jasa pendidikan yang ditawarkan. Keberlimpahan ini semestinya menjadi faktor pendukung tersendiri dalam upaya meningkatkan ketrampilan siswa didik. Sebab pendidikan formal, bagaimanapun, tidak akan sepenuhnya mampu memikul fungsi-fungsi utama pendidikan nasional.

Yogyakarta: Kota Budaya

Yogyakarta pernah menjadi pusat kerajaan, baik Kerajaan Mataram (Islam), Kesultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman. Sebutan kota kebudayaan untuk kota ini berkaitan erat dengan peninggalan-peninggalan budaya bernilai tinggi semasa kerajaan-kerajaan tersebut yang sampai kini masih tetap lestari. Sebutan ini juga berkaitan dengan banyaknya pusat-pusat seni dan budaya. Sebutan kata Mataram yang banyak digunakan sekarang ini, tidak lain adalah sebuah kebanggaan atas kejayaan Kerajaan Mataram. Menurut sejarahnya Kesultanan Yogyakarta merupakan pecahan dari kerajaan Mataram yang pernah mencapai masa kejayaan dibawah pimpinan Sultan Agung (1613-1645). Namun intrik politik yang terjadi di dalam lingkungan kerajaan telah mengakibatkan terpecahnya kerajaan Mataram. Dalam pertengahan pertama abad ke-18 Mataram sampai tiga kali mengalami peperangan perebutan takhta yang akhirnya mengakibatkan terpecahnya kerajaan yang sudah sangat menciut wilayahnya karena digerogoti Belanda menjadi Kerajaan Surakarta yang diperintah Pakubuwono III dan Kerajaan Yogyakarta dipimpin Hamengkubuwono I, sebagaimana perjanjian Gianti tahun 1755. Dua tahun kemudian daerah Surakarta dibagi lagi antara Pakubuwono III dan Mangkunegoro I. Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1755 dimana ia mendirikan Kraton Yogyakarta menyusul perselisihannya mengenai pembagian wilayah dengan saudara laki-lakinya Susuhunan Surakarta. Dia kemudian mengangkat dirinya sebagai sultan dengan gelar Hamengkubuwono yang berarti ‘alam semesta berada di pangkuan raja.’ Pada abad ke 17, Sultan Hamengkubuwono mampu menjadikan kerajaan yang dipimpinnya berkembang pesat sehingga menjadi sangat kuat. Namun puteranya ternyata kurang memiliki kecakapan sehingga pada masa pemerintahan kolonial, keraton Yogyakarta pernah dibekukan, Hamengkubuwono II diasingkan dan sebuah wilayah kerajaan yang lebih kecil yang diberi nama Paku Alam didirikan didalam wilayah kesultanan Yogya. Bagi orang Jawa, Yogya adalah simbol perlawanan terhadap penjajah. Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro menentang Belanda (1825-1830) berlangsung di sekitar Yogyakarta. Pada masa revolusi kemerdekaan, Yogyakarta juga menjadi pusat perlawanan terhadap kaum kolonial. Ketika Belanda kembali ke Indonesia, sebagian wilayah kraton kemudian diubah menjadi Universitas Gajah Mada yang dibuka pada tahun 1946. Ketika Belanda menduduki Yogya pada tahun 1948, Sultan melakukan perlawanan dengan mengurung diri di dalam kraton menolak bertemu dengan penguasa Belanda, namun diam-diam ia tetap menerima para pejuang kemerdekaan di kratonnya dan menjadi penghubung antara Yogya dan pihak pejuang yang melakukan perang gerilya di luar kota. Belanda tidak berani menindak Sultan karena takut dengan kemarahan jutaan orang Jawa yang menghormatinya. Sementara itu Sultan mengijinkan para pejuang Indonesia menggunakan kraton sebagai markas perjuangan, jasa besar sultan ini menjadikan pemerintah Indonesia kemudian -setelah kemerdekaan- menganugerahkan status Daerah Istimewa kepada Yogyakarta[3].


Geliat Dunia Hiburan Malam di Jogja: Purawisata atau Caesar Café ?

Suasana Kota Yogyakarta memang terus berubah dari waktu ke waktu. Begitupula sarana hiburan bagi masyarakat Yogyakarta juga turut berkembang. Sebagai Kota Budaya, Yogyakarta memiliki aneka macam tempat hiburan, mulai dari tempat-tempat wisata entah itu wisata pantai, wisata pegunungan, wisata sejarah, maupun wisata belanja. Adapula pusat-pusat kesenian, entah itu seni tari yang biasanya diselenggarakan di Kraton, seni lukis, seni rupa, seni gerabah dan lain-lainnya. Ada tempat hiburan yang dapat dinikmati pada siang hari ada tempat hiburan yang biasanya mengadakan pertunjukkan pada malam hari seperti Pasar Malam Sekaten, Pentas Dangdut dan lain-lainnya.

Dalam tulisan ini hendak dipaparkan mengenai salah satu alternatif hiburan malam di Yogyakarta. Hiburan malam yang akhir-akhir ini dapat dikatakan sangat marak dan menyedot perhatian masyarakat Yogyakarta secara khusus masyarakat muda. Masyarakat Yogyakarta tentunya tidak asing dengan Purawisata. Purawisata terletak di Jalan Brigjend Katamso Yogyakarta, tepatnya sebelah timur Kraton Yogyakarta. Tempat hiburan ini diciptakan sedemikian rupa hingga memungkinkan orang untuk memperoleh berbagai macam hiburan yang dapat membawa suasana baru bagi masyarakat Yogyakarta. Pertunjukan Seni Tari Ramayana merupakan hiburan seni dan budaya Jawa utama yang disajikan oleh tempat ini, selain diantaranya pertunjukan dangdut dll. Tarian yang disajikan pada panggung terbuka Purawisata setiap malam sejak tahun 1975. Dengan kapasitas 600 tempat duduk, para penonton dapat menikmati kisah romantika tragedy dari Rama dan Sinta yang menceritakan pertarungan antara kebaikan dengan kejahatan. Disamping itu, Purawisata juga terkenal dengan Pentas Dangdut yang notabene sudat melekat sebagai musik rakyat, tapi akhir-akhir ini entah mengapa pentas-pentas Dangdut tidak banyak mendapatkan respon dari masyarakat. Seakan-akan kehadiran Purawisata telah kalah pamor dengan hadirnya tempat hiburan malam yang semakin hari semakin marak seperti kafe[4], diskotek[5] atau klub malam[6].

Memang, keberadaan Purawisata yang memberikan image pentas Dangdut sangatlah lain dengan keberadaan tempat hiburan malam seperti café, atau diskotek yang sebenarnya sudah hadir di Yogyakarta sejak tahun 1980-an. Sekitar tahun 1982 sebuah pusat hiburan publik (tempat bilyard dan diskotek) Crazy Horse adalah salah satunya diskotek yang terkenal di Yogyakarta pada masa itu dan menjadi simbol dari gaya hidup generasi kaum muda. Dalam tahun 1990-an kafe-kafe dan rumah makan menjadi amat populer sebagai tempat untuk mengisi waktu luang yang menggambarkan gaya dan cara hidup kaum muda Yogyakarta. Saat ini setidaknya sudah hadir beberapa kafe yang ramai dikunjungi anak muda setiap malamnya. Di kawasan Jl. Magelang paling tidak yang dijumpai penulis ada BOSCHE VVIP Club, Jogja-Jogja Rumah Musik, Java Café, BUNKER Café, The CLUB Concert Café, kemudian di sepanjang Jalan Solo ada TJ’ Extraordinary, Hugo’S Café, Soda Lounge, Caesar Café, Gudang Musik, kemudian di Jalan Malioboro ada Republik, PAPILLON Clubbing Music & Cafeint di Jl. Mayor Suryotomo, dan masih banyak lagi. Hampir di setiap Hotel berbintang juga menyediakan kafe-kafe semacam ini. Masing-masing kafe menawarkan kemasan acara yang unik dan menarik, dari mengemas acara khusus untuk mahasiswa atau khusus untuk pelajar, mendatangkan DJ (Disc Jockey) yang terkenal atraktif, menghadirkan grup-grup musik, menyajikan kompetisi minum bir, mengadakan kontes dance, sampai pada pemilihan putri favorit kafe tersebut dll. Dengan menjamurnya kafe, muncul pula fenomena clubbing[7] yang cukup marak awal tahun 2000-an, dimana kafe selalu menjadi tempat nongkrong mereka[8].

Seiring dengan hadirnya berbagai fasilitas modern tersebut berubah pula gaya hidup pelakunya. Citra mahasiswa Yogyakarta yang ndeso dan prihatin tampaknya sudah sirna. Kaum muda Yogyakarta akhir-akhir ini mulai menjadi mahasiswa metropolis yang akrab dengan kafe, diskotek, dan salon. Sebut saja salah satu klub malam yang baru-baru ini dibangun dan menjadi alternatif hiburan bagi masyarakat Yogya secara khusus kaum muda yaitu Caesar Café. Menempati bangunan lantai tiga Plaza Ambarrukmo, Caesar Lounge & Cafe hadir di Yogyakarta dengan mengusung konsep hiburan One Stop Entertainment. Konsep ini, menurut pihak manajemen, dapat diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan hiburan masyarakat Yogya yang kian beragam. Pada pukul 11.00-21.00 WIB, tempat ini siap menjadi sebuah Lounge yang cocok bagi orang-orang yang hendak bersantai dari aktivitas keseharian yang melelahkan. Sedangkan mulai pukul 22.00-03.00 WIB, tempat hiburan yang dihiasi warna biru hampir pada setiap sudut ini berganti menjadi Cafe yang siap menampung para clubbers yang membutuhkan hiburan malam. Tempat clubbing yang tampil dengan disain futuristik ini menawarkan sebuah atmosfer yang pastinya berbeda dengan tempat hiburan lainnya di Kota Jogja. Tempat hiburan ini juga menawarkan berbagai fasilitas yang menarik diantaranya adalah hotspot dan membership bagi para pengunjungnya. Dengan pengunjung dari kalangan middle-up ke atas dan sebagian para ABG (Anak Baru Gede), tempat ini cocok bagi Anda para eksekutif muda yang ingin bertemu dengan teman baru atau sekadar hang out untuk menghilangkan penat setelah seharian bekerja. DJ alias disc jockey-lah komandan pesta. Mereka yang membawa ribuan anak muda bergoyang di tengah hingar-bingar musik dansa di tempat-tempat yang "aneh", mulai dari tengah hutan belantara, tepi pantai yang eksotik, hingga gudang atau lantai di sebuah gedung tinggi yang tak terpakai. Pengumuman seperti itu biasanya ditutup dengan pesan: "you guys better be there, if you dont wanna miss the best party..." (maksudnya kurang lebih: kalian sebaiknya di situ kalau tidak ingin ketinggalan pesta terhebat). Bagi beberapa pihak, hal ini adalah sebuah kesia-siaan kaum hedonis kota besar. Namun bagi para DJ, sunguh ini menjadi lahan bisnis yang sangat menguntungkan. Mereka menjadi fasilitator bagi orang-orang yang memang ingin having fun. Inilah dinamika industri hiburan yang dengan sensasinya menyihir sebagian kaum muda metropolis. Sebuah dunia yang hidup lewat tengah malam[9].

Dugem (dunia gemerlap), begitulah istilah yang digunakan oleh sebagian kaum muda kita dan mereka yang gemar menghabiskan waktu malamnya untuk berpesta pora baik bersama pasangan mereka masing-masing maupun koleganya. Istilah ini sangat dikenal di kalangan kaum muda dan mereka yang menggandrungi pesta dan hiburan malam. Biasanya acara dugem-an dilaksanakan di kafe-kafe atau bar dengan berbagai suguhan menu makanan dan minuman serta acara yang menggiurkan. Di kafe-kafe atau bar kelas menengah yang biasa dihadiri oleh kaum muda dan masyarakat kelas menengah ke bawah biasanya cukup dengan menyuguhkan band-band lokal dan sesekali mendatangkan grup musik papan atas serta karaoke untuk mengiringi para muda-mudi berlantai (berdansa dengan pasangan mereka masing-masing). Sedangkan kafe-kafe atau bar bergengsi yang hanya bisa dihadiri mereka yang berkantong tebal dan eksekutif muda, tidak jarang dengan menghadirkan para penari telanjang dan berbagai bentuk acara yang jauh dari etika ketimuran, apalagi norma agama. Namun baik kafe kelas menengah hingga kafe bergengsi yang menyediakan fasilitas dugem-an, tetap memiliki beberapa kesamaan, yaitu : biasanya sebuah kafe terasa tidak lengkap tanpa menyediakan berbagai jenis minuman beralkohol, hanya saja mungkin kualitas dan harga yang berbeda. Kesamaan lainnya adalah bahwa kafe-kafe yang menyediakan pesta malam sangat identik dengan hura-hura, pergaulan bebas, menghamburkan uang, mabuk-mabukan, erotisme, seksualitas, narkoba, serta membuang-buang waktu, sebab biasanya pesta itu dilaksanakan semalaman suntuk. Bagi sebagian kaum muda yang akrab dengan dunia dugem ada satu anggapan bahwa seseorang dinggap tidak gaul, tidak funky dan kampungan jika belum pernah menikmati kehidupan kafe dengan dugemnya. Anggapan yang keliru ini mereka lontarkan sebagai justifikasi terhadap apa yang mereka lakukan. Kehidupan malam yang hingar-bingar dengan lantunan suara musik yang keras, dansa dengan saling berpelukan antara lawan jenis yang diselingi tawa canda yang mengumbar aroma alkohol tidak hanya melanda kota-kota besar saja, tapi juga kota semi metropolis dan telah menjadi bagian gaya hidup manusia modern. Uniknya realitas semacam ini oleh sebagian pecinta kehidupan malam atau dugem sudah dianggap sebagai tradisi yang wajar dan dibenarkan. Selama ini kita sering mendengar bahwa sebagian kaum muda dengan bangga mengatakan bahwa sekalipun mereka mendatangi kafe-kafe untuk menghabiskan malam minggu bersama orang yang dikasihi ataupun teman-temannya, mereka hanya sekedar tripping, berlantai (berdansa) namun tidak ikut-ikutan minum-minuman beralkohol maupun narkoba. Argumentasi ini sekaligus dijadikan sebagai justifikasi terhadap apa yang mereka lakukan. Ada statemen yang mengatakan bahwa lingkungan mempengaruhi manusia[10].


Dibalik Semakin Menjamurnya Café dan Diskotek ?

Suasana kota yang setengah desa turut mempengaruhi watak kaum muda kota pada masa lalu. Sebagai daerah tujuan studi, kota ini memiliki kehidupan kampus yang dinamis. Kampus menjadi situs kebudayaan penting yang menghubungkan dunia gagasan dan konstruksi budaya kota ini. Kini pragmatisme telah menyerbu kehidupan kampus-kampus di Yogyakarta. Pergeseran ini membawa pengaruh yang luar biasa bagi tumbuhnya kaum muda modern yang lebih pragmatis. Membanjirnya kelas menengah ke kota ini dengan cepat direspons, baik oleh pemerintah kota maupun dunia bisnis. Cobalah susuri malam Yogya, dari utara ke selatan, dari barat ke timur. Perumahan baru dibangun dengan berbagai gaya. Kita akan menemui lampu-lampu menyala, tapi kota seolah kehilangan cahaya. Kaum muda yang bersahaja telah pergi, digantikan generasi muda baru yang ceria dan penuh gempita menuju pesta di pusat-pusat belanja.

Generasi discourse berganti generasi distro[11], perdebatan angkringan digantikan gemuruh dan sensasi kafe dan coffee corner. Onthel telah menjadi cendera mata, klub diskusi berganti menjadi generasi clubbing, anak gerakan berganti menjadi klub pencinta motor merek X dan mobil tipe Z. Para pelajar dan mahasiswa yang datang ke Yogya dengan tujuan menunutut ilmu karena pertimbangan tarif hidup yang murah dan fasilitas pendidikan yang memadai. Kini, menjadi kaum insomnia adalah life style. Bersama dengan tumbuhnya mal, kafe, coffee corner, butik, factory outlet, kaum muda yang memburu life style saat ini tampak lebih "bersih dan sehat-sehat". Para perantau yang datant ke kota Yogyakarta sudah mengalami pergeseran dalam hal kelas sosial. Mereka yang datang ke Yogya saat ini adalah anak-anak orang kaya. Biaya untuk menjadi sarjana di sini kian mahal. Harga sebuah kursi di universitas negeri maupun swasta tak mungkin terjangkau anak-anak pandai tapi tak cukup punya biaya.

Struktur-struktur penopang kebudayaan kian memberi ruang bagi tumbuhnya budaya massa. Eksotisme berubah menjadi paket wisata yang mahal, bukan lagi sesuatu yang tumbuh dari keseharian hidup. Budaya massa semakin cepat lahir dari berbagai penanda baru yang tumbuh di kota. Budaya massa lahir akibat proses massifikasi dan memiliki tiga ciri utama: obyektivasi, alienasi, dan pembodohan. Obyektivasi dalam budaya massa terjadi karena pemilik hanya menjadi obyek yang tak punya peran dalam pembentukan simbol budaya. Alienasi berarti pemilik budaya massa terasing dari dan dalam kenyataan hidup. Mereka hidup dalam hingar-bingar dan gemuruh kehidupan masa kini, tapi pada saat yang sama kehilangan identitas dirinya. Dan pembodohan terjadi karena budaya massa hanya melahirkan kesibukan fisik, kepadatan jadwal, tanpa pengalaman mendapatkan pengalaman baru, apalagi momen-momen reflektif. Pragmatisme atas kultur kota terjadi ketika mobilitas manusia dituntun oleh mobilitas benda. Orientasi sebagai konsumen merupakan pendorong mobilitas itu. Dalam kehidupan masa kini, semua ruang seolah merupakan wilayah ekspansi modal. Di hipermarket, kegaduhan berlangsung dalam suasana tunasosial. Seperti itu juga di tempat clubbing yang kini hadir melengkapi kehadiran kampus: di sana orang-orang berkerumun, tetapi hanya untuk menggerakkan tubuh mereka sendiri. Adakah mereka berelasi satu sama lain selain dengan pasangannya atau rekannya saja[12]?


Café dan Diskotek sebagai Pemaknaan Simbol Modernitas

Kritik yang sering dilontarkan terkait dengan dunia gemerlap adalah tampilnya simbol-simbol kultural modern yang identik dengan kaum muda perkotaan di Indonesia; terutama dalam sifat kontrasnya terhadap kepatuhan politik, ketaatan pada etika, kekukuhan moral, dan kepedulian kepada nasib rakyat sebagai kategori-kategori normatif. Oleh karena itu sikap masyarakat baik institusi pendidikan ataupun pemerintah cenderung defensif dan tidak menangkap pemaknaan kaum muda sendiri tentang segala perubahan dan berbagai tawaran modernitas hiburan termaksud. Akibatnya hampir dalam setiap pemberlakuan aturan hanya akan mudah menjadi bahan olok-olok kaum muda tersebut. Perubahan ekonomi, sosial, politik semakin, runtuhnya batas-batas nasional dan semakin meningkatnya cengkeraman global dipandang berperan pada periode ketidakpastian dan ketidakstabilan yang menghasilkan suatu masa ketika kontradiksi antara nilai-nilai tradisional seperti puritanisme, tanggung jawab, sikap hemat dan kebanggaan menyelesaikan pekerjaan dengan baik versus nilai-nilai baru seperti hedonisme dan konsumsi spektakuler masyarakat makmur memang menjadi semakin tajam. Perubahan ini sangat dirasakan oleh anak muda yang mengalami kesulitan sekaligus keuntungan. Identitas orang modern akan ditentukan oleh dunia sekitar. Mereka tidak mampu menunjukkan identitas dari kedalaman diri mereka. Kecenderungan ini menempatkan orang muda pada pencarian identitas terus menerus. Padahal identitas tersebut bukan menunjukkan kemendalaman pribadi tetapi lebih pada pencitraan fisik semata.

Pencarian dan Perubahan Identitas Terus Menerus

Identitas dalam konteks ini tidak dimaksudkan sebagai entitas apapun yang dapat digambarkan oleh psikologi ilmiah, melainkan lebih merupakan pengalaman aktual dalam situasi sosial tertentu. Dengan kata lain identitas adalah cara individu mendefinisikan diri mereka sendiri. Dengan demikian identitas merupakan bagian dari paket struktur kesadaran yang khusus dan karena itu dapat dipertanggungjawabkan dalam uraian fenomenologis (tanpa mempertimbangkan ini dan itu yang mungkin dibuat oleh seorang ahli psikologi). Identitas modern bersifat terbuka. Ciri terbuka tanpa batas dalam identitas modern ini menimbulkan berbagai hambatan psikologis dan membuat individu mudah mengalami perubahan definisi oleh orang lain. Identitas modern mempunyai perbedaan-perbedaan khusus. Karena pluralitas dunia sosial dalam masyarakat modern, struktur masing-masing dunia dialami sebagai struktur yang rrelastif tidak stabil dan tidak dapat dipercaya. Pengalaman individu modern dalam pluralitas dunia sosial merelatifkan setiap dunia sosial itu. Akibatnya, tatanan kelembagaan mengalami kehilangan realitas tertentu. Titik berat realitas bergeser dari tatanan pranata obyektif ke bidang subyektif. Dengan kata lain, pengalaman individu tentang dunia sosial obyektif. Oleh karena itu, individu berusaha mencari tempat berpijak pada realitas dalam dirinya sendiri dari pada di luar dirinya. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa realitas subyektif individu menjadi sangat beragam, kompleks, dan menarik bagi dirinya sendiri. Subyektifitas mencapai kedalaman yang tak terpahami. Identitas modern bersifat terbuka tak terbatass, fana berubah terus menerus. Di pihak lain, bidang identitas subyektif merupakan tempat berpijak utama individu dalam realitas. Sesuatu yang terus menerus berubah diandaikan sebagai ens realissimum. Akibatnya tidak mengherankan bila manusia modern dirundung krisis identitas yang bersifat permananen, yaitu kondisi yang mengakibatkan kegelisahaan luar biasa[13]. Mereka yang masuk dalam atmosfer dunia hiburan malam dengan clubbing akan memanfaatkan pencitraan modern dan menjadikan diri mereka sebagai orang yang punya identitas modern. Identitas modern ini dapat dilihat dari gaya hidup atau life style mereka.

Pengikisan Identitas Kolektif dan Pemujaan Identitas Personal

Adalah sebuah proses kejatuhan yang sederhana telah terjadi, tetapi bahwa sekumpulan identitas yang terbatas dan bergantung telah mulai terfragmentasi menjadi deretan identitas saling bersaing yang bermacam-macam dan tidak stabil. Pengikisan identitas kolektif yang dulunya aman telah mengarah pada semakin meningkatnya fragmentasi identitas personal. Dikatakan bahwa kita telah menjadi saksi menghilangnya kerangka rujukan tradisional dan adiluhung secara bertahap dalam pengertian orang bisa mendefinisikan dirinya maupun kedudukannya di dalam masyarakat, dan dengan demikian mereka merasa relatif aman dengan identitas personal maupun identitas kolektifnya. Sumber-sumber identitas tradissional ini, seperti kelas sosial, keluarga somah, dan keluarga batih, komunitas lokal, kebertetanggaan, agama, serikat dagang, negara bangsa, dikatakatan telah mengalami kejatuhan sebagai akibat dari berbagai kesenderungan di dalam kapitalisme modern seperti semakin cepat dan pesatnya tingkat perubahan sosial[14]. Percampuran atau pergeseran dari tradisi budaya yang sarat makna menuju budaya modern yang menjadi trendsetter menjadikan identitas budaya kolektif semakin hari semakin mengikis, akrena menonjolnya pencarian identitas individu. Semakin dicari, identitas individu maka semakin memudarkan identitas bersama dan bahkan identitas bersama kemungkinan dianggap tidak ada.

Munculnya Budaya Konsumen

Istilah budaya konsumen berbicara tentang dampak konsumsi massa atas kehidupan sehari-hari. Dampak in menyangkut perubahan tatanan simbolis, struktur makna, dan perilaku sehari-hari. Kesan memainkan peran utama dalam budaya ini. Kesan ini didukung dengan adanya insdustri gambar hidup, surat kabar rumah media massa, majalah, televisi seakan tanpa henti mencipta dan menyebarkan berbagai kesan tanpa henti. Kesan-kesan ini tidak dapat dikatakan membentuk ideologi pokok yang utuh karena kesan terus menerus diproses ulang dan makna barang dan pengalaman terus didefinisikan kembali. Segala-galanya dapat dipertukarkan satu sama lain, dan tampaknya tidak ada batas sampai kemana. Berbagai makna yang selama ini jelas dan berdiri sendiri dapat dipertukarkan. Tradisi juga diaduk-aduk dan dikuras untuk mencari simbol kecantikan, roman, kemewahan, dsan eksotika yang manjur. Kesan budaya konsumen dan iklan pada dasarnya bersifat modernis, sepanjang mengenai ganti mengganti tata nilai dan meruntuhkan titik acuan tradisional, dalam usahanya meramu paduan baru yang mampu membangkitkan kembali kenangan dan merangsang keinginan. Maka dapat dikatakan bahwa budaya konsumen ini seperti dunia mimpi suatu kenyataan semu, yang meski demikian mengandung suatu moment positif atau utopia dalam janjinya menciptakan barang berlimpah ruah. Komoditi diukir dengan gaya dan gaya adalah komoditi yang bernilai. Gaya modernis yang terpantul dalam kehidupan sehari-hari terserap ke dalam struktur kehidupan sehari-hari dan ide artistik budaya tandingan bahwa kehidupan itu adalah suatu karya seni makin menyebar luas. Karena itu dalam budaya konsumen masa kini, gaya hidup mendapat kedudukan yang istimewa. Perilaku konsmsi tidak berarti menyerap komoditi produksi massa secara pasif dan mengikuti arus. Tekanan diletakkan pada merancang ulang dan mengerjakan ulang komoditi untuk menciptakan kesan gaya yang menyingkapkan individualitas manusia[15]. Penekanan pada tampilan permukaan dan gaya dapat dikatakan secara lain bahwa citraan mendominasi narasi. Orang semakin mengkonsumsi citra maupun tanda itu sendiri dan malah bukan manfaatnya atau nilai-nilai lebih dalam yang mungkin disimbolisasikan. Masyarakat mengkonsumsi citra dan tanda karena kesemuanya itu memang citra dan tanda, dan mengabaikan pertanyaan tentang nilai dan kegunaan. Hal ini tampak nyata pada budaya populer itu sendiri dimana permukaan dan gaya, tampa seseuatu dan sifat main-main dan senda gurau dikatakan mendominasi dengan mengorbankan isi substansi dan makna. Sebagai akibatnya sifat-sifat seperti kelebihan artisitik, integritas, keseriusan, otentisitas, realisme, kedalaman intelektual dan narasi yang kuat cenderung diabaikan[16]. Citra dan tanda ini akan terus menerus dikonsumsi dan apa yang dikonsumsi hanya segi luaran saja. Kaum mudapun akan terus menerus masuk dalam lingkaran hiburan malam, mereka terus menerus datang ke kafe dan diskotek sejauh itu memang masih memberikan dan menempelkan citra orang modern pada dirinya.


Melihat Ulang (Budaya) Hiburan di Yogyakarta

Meningkatnya pola hidup konsumtif cenderung mengubah perilaku sosial masyarakat. Konsumen muda yang terdiri dari generasi muda, bagi produsen adalah sasaran empuk, gurih, dan segar. Kaum muda seusia itu merupakan pasar yang makin kaya dan setiap saat bertambah besar. Mengapa kini mereka menjadi kelompok sasaran yang menarik bagi kapitalisme? Sebagai konsumen, mereka jelas berpotensi besar bagi dunia bisnis dan industri. Mereka adalah sasaran paling empuk dan mudah dipengaruhi. Konsumen muda belum bisa menentukan prioritas kebutuhannya sendiri. Umumnya dalam memutuskan sesuatu konsumen muda lebih mengandalkan emosi ketimbang rasionya. Mereka cenderung menelan mentah-mentah informasi yang diterima, asal menyenangkan. Hidup dalam pola dan arus konsumtivisme membuat orang merasa tidak puas jika produk atau barang yang diinginkannya belum dimiliki. Mereka mengutamakan gaya hidup bertolak pada felt need saat membeli suatu produk yang ditawarkan daripada membeli kebutuhan yang memang diperlukan (real need). Pola hidup seperti itu mendorong orang selalu ingin berlebihan, tanpa peduli bagaimana cara mendapatkannya. Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seperti itu di antaranya harga diri, gengsi, status sosial, ekonomi, pengaruh rekan, atau tingkat pendidikan merupakan sederet variabel yang perlu diperhitungkan. Pola hidup konsumtif juga menimbulkan berbagai hal yang berhubungan dengan faktor ketergantungan yang melekat dalam sanubari mereka. Kemajuan teknologi dan industri menjadikan nilai materialistik amat mendominasi kehidupan manusia modern. Meningkatnya jenis maupun volume produk industri memudahkan masyarakat bersikap konsumtif materialistis.

Kekuasaan dalam wacana masyarakat konsumen dijungkirbalikkan. Kekuasaan yang didekonstruksi langsung menyentuh wajah, kulit, tubuh, rambut manusia, kamar tidur, kamar tamu, ruang kerja, atau mobil. Seluruhnya menawarkan kesenangan, kemudahan, dan modernisme. Artinya, kekuasaan yang sudah didekonstruksi itu memberikan harapan kepada siapa pun untuk memosisikan dirinya dalam wacana yang ditawarkan sang kapitalis. Dalam bentuk yang sama, beragam produk dan beraneka gaya mengucur deras di supermarket, pusat perbelanjaan, dan sinetron yang sulit dikendalikan. Dalam wacana kapitalisme berkembang kebutuhan untuk memperpendek daur giling produk dan gaya hidup yang dimoderatori produser kapital. Di lain pihak, dalam kepentingan yang sama, konsumen berlomba mendapatkan barang baru, citra baru, gaya baru, serta meremajakan sesuatu yang dianggap ketinggalan zaman[17].

Melihat dunia hiburan malam, terhadap apa yang ditawarkan bukan lagi permasalahan seputar kesenian (seperti dalam Dangdut) atau keadaan psikologis terhibur, namun dunia hiburan malam telah menjadi lahan bisnis karena senantiasa menawarkan citra dan tanda modern yang dibungkus dalam suatu suasana menghibur. Kaum muda berlomba-lomba mencari hiburan tetapi bukan hiburan semata tetapi dibalik hiburan yang mereka cari sebenarnya mereka mencari suatu identitas “orang modern”, apa yang mereka cari adalah gaya hidup atau life style modern. Pencitraan dari dunia hiburan malam yang teramu dalam kafe atau diskotek ini berhasil membidik pangsa pasar kaum muda Yogyakarta, karena dilihat dari sejarahnya kota ini terkenal dengan kota pendidikan yang notabene sebagain besar penghuninya adalah kaum pelajar dan mahasiswa. Identitas kolektif akan semakin memudar karena digeser oleh pencarian terus menerus akan identitas individu, maka tidak luput pula bahwa budaya lokal, budaya adiluhung masyarakat Yogya semakin hari akan semakin memudar pula.

Perjumpaan budaya, antara budaya lokal dengan budaya asing senantiasa akan terjadi terus menerus. Kemungkinan besar di Kota Yogyakarta akan semakin banyak dijumpai mal, hipermarket, kafe, diskotek maupun klub malam, entah pembangunan-pembangunan simbol-simbol modernitas ini kapan akan berhenti. Menjadi suatu pekerjaan rumah bagi kita semua, bukan hanya bagi warga Yogyakarta adalah senantiasa peka dan mampu mencipta nilai dan makna dari kehadiran simbol modernitas tersebut. Hal ini sebagai langkah supaya tidak begitu tergantung atau menjadi budaya konsumeristis. Menjadi usaha kita bersama, kendati kita semua hidup dalam budaya lokal dan budaya modern tetapi bagaimana tetap mampu mengusahakan dan mengedepankan tradisi, nilai-nilai budaya lokal yang sarat makna.


Daftar Pustaka

Berger, Peter L.,

1988 “Pluralisasi Dunia Kehidupan”, dalam Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Feathersone, Mike,

1988 “Budaya Konsumen Kekuatan Simbolis dan Universalisme”, dalam Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Gunawan, Rudy,

2007 “Menyelami Dunia Gemerlap”, dalam www.indonesianyouth.com, diunduh pada 5 Desember 2007.

Handayani, Christina S.,

2005 “Para Saksi Gaya Identitas Dugem”, dalam Penghibur(an): Masa Lalu dan Budaya Masa Kini Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.

Patissina, Edna C.,

2007 “DJ Riri, Dunia Lewat Tengah Malam”, dalam KOMPAS tanggal 11 Juni 2005, diunduh pada 3 Desember 2007.

Strinati, Dominic,

1995 Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, Bentang Pustaka, Yogyakarta.

Tinarbuka, Sumbo,

2007 “Pola Konsumtif Masyarakat Yogya”, dalam www.sumbo.wordpress.com, diunduh pada 5 Desember 2007.

Wirasenjaya, Adde Marup,

2006 “Kaum Insomnia Kota Bu(d)aya, Apa Kabar?”, dalam KOMPAS tanggal 4 Oktober 2006.

--------------------------,

2007 “Kota Budaya Terancam Bahaya”, dalam KOMPAS Yogyakarta Selasa, 22 Mei 2007.

--------------------------,

2007 Sejarah Yogyakarta dalam “Yogyakarta” dalam www.my-indonesia.info/filedata/1692_495-123486Jogja1.pdf, diunduh pada 5 Desember 2007.

--------------------------,

2007 “Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta”, dalam www.id.wikipedia.org/ Sejarah_Keistimewaan_dan_Pemerintahan_Prop_DIY_files/commonPrint.css, diunduh pada 5 Desember 2007.


[1] --, “Kota Budaya Terancam Bahaya”, dalam KOMPAS Yogyakarta Selasa, 22 Mei 2007.

[2] Disarikan dari Sejarah Yogyakarta dalam “Yogyakarta” dalam www.my-indonesia.info/filedata/1692_495-1234286Jogja1.pdf, diunduh pada 5 Desember 2007.

[3] --, “Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta”, www.id.wikipedia.org/ Sejarah_Keistimewaan_dan_

Pemerintahan_Prop_DIY_files/commonPrint.css, diunduh pada 5 Desember 2007.

[4] Kafe atau café A café (also spelled cafe,) or coffee shop is an informal restaurant offering a range of hot meals and made-to-order sandwiches. This differs from a coffee house, which is a limited-menu establishment which focuses on coffee sales. Depending on the jurisdiction, a café may be licensed to serve alcohol. The term can also refer to bistro or a restaurant facility within a hotel. In some countries, however, a café is synonymous with a coffee house. (www.en.wikipedia.org)

[5] Diskotek atau a discothèque, is an entertainment venue or club with recorded music played by "Discaires" (Disc jockeys) through a PA system, rather than an on-stage band. The word derives from the French word discothèque (a type of nightclub). Discothèque is a portmanteau coined around 1941 from disc and bibliothèque (library) by La Discothèque, then located on the Rue de la Huchette in Paris, France (Jones + Kantonen, 1999). Previously, most bars and nightclubs used live bands as entertainment. (www.en.wikipedia.org)

[6] Klub Malam atau a nightclub (or "night club" or "club") is a drinking, dancing, and entertainment venue which does its primary business after dark. A nightclub is usually distinguished from bars, pubs or taverns, by the inclusion of a dance floor and a DJ booth, where a DJ plays recorded dance and pop music. Some nightclubs have other forms of entertainment, such as comedians, "go-go" dancers, a floor show or strippers (see strip club). The music in nightclubs is either live bands or, more commonly a mix of songs played by a DJ through a powerful PA system. Most clubs or club nights cater to certain music genres, such as house music, Hip-Hop, or salsa. . (www.en.wikipedia.org)

[7] Clubbing dapat diartikan sebagai kegiatan mengunjungi kafe-kafe, diskotek, klub malam untuk bersosialisasi atau sekedar mencari hiburan dengan menghabiskan waktu melepaskan kepenatan, rileks, sekaligus media bersosialisasi dengan rekan, sedangkan orang-orang yang senang clubbing disebt dengan clubbers.

[8] Christina S. Handayani, “Para Saksi Gaya Identitas Dugem”, dalam Penghibur(an): Masa Lalu dan Budaya Masa Kini Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 2005, 25.

[9] Edna C. Patissina, “DJ Riri, Dunia Lewat Tengah Malam”, dalam KOMPASCYBERMEDIA tanggal 11 Juni 2005, diunduh pada 3 Desember 2007.

[10] Rudy Gunawan, “Menyelami Dunia Gemerlap”, www.indonesianyouth.com, diunduh pada 5 Desember 2008.

[11] Sebutan lain untuk istilah distribution outlet, yaitu toko-toko yang menjual pakaian yang menjadi trend fashion anak muda.

[12] Adde Marup Wirasenjaya, “Kaum Insomnia Kota Bu(d)aya, Apa Kabar?”, dalam KOMPAS tanggal 4 Oktober 2006.

[13] Peter L. Berger, “Pluralisasi Dunia Kehidupan”, dalam Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988, 47-48.

[14] Dominic Strinati, Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, Bentang Pustaka, Yogyakarta, 1995, 272-273.

[15] Mike Feathersone, ”Budaya Konsumen Kekuatan Simbolis dan Universalisme”, dalam Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988, 53-57.

[16] Dominic Strinati, Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, Bentang Pustaka, Yogyakarta, 1995, 257-258.

[17] Sumbo Tinarbuka, “Pola Konsumtif Masyarakat Yogya”, www.sumbo.wordpress.com, diunduh pada 5 desember 2007.



[get this widget]