April 19, 2008

Pesan Bapa Suci untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke- 42 pada 4 Mei 2008

0 comments

 

‘Media Komunikasi Sosial:

Pada persimpangan antara Pengacuan Diri dan Pelayanan.

Mencari Kebenaran untuk berbagi dengan orang lain.

 

 

Saudara-Saudari Terkasih,

1. Tema Hari Komunikasi Sedunia tahun ini –“Media Komunikasi Sosial: Pada persimpangan antara pengacuan diri dan pelayanan. Mencari kebenaran untuk berbagi dengan orang lain” – menekankan betapa pentingnya peranan media dalam kehidupan perorangan dan masyarakat. Sesungguhnya, dengan meluasnya pengaruh globalisasi, tak ada satupun ruang lingkup dalam pengalaman hidup manusia yang lolos dari pengaruh media. Media telah menjadi bagian integral dalam hubungan antarpribadi dan perkembangan hidup sosial, ekonomi, politik dan religius. Seperti yang telah Saya tandaskan dalam Pesanku untuk Hari Perdamaian Sedunia tahun ini (1 Januari 2008) bahwa: ’media komunikasi sosial terutama oleh kemampuannya untuk mendidik, ia memiliki tanggungjawab istimewa untuk memajukan rasa hormat terhadap keluarga, menguraikan secara jelas harapan-harapan dan hak-hak keluarga serta menghadirkan segala keelokannya’ (no 5).

 

2. Berkat perkembangan teknologi yang meroket, media telah memiliki kemampuan luar biasa yang serempak membawa berbagai pertanyaan dan persoalan baru yang tidak pernah dibayangkan sampai sekarang. Kita tidak dapat menyangkal sumbangsih yang diberikan oleh media dalam hal penyiaran berita, pengetahuan tentang peristiwa dan penyebaran informasi seperti peranannya yang menentukan dalam kampanye pemberantasan buta huruf dan kegiatan sosialisasi, pengembangan demokrasi dan dialog di antara bangsa-bangsa. Tanpa sumbangsih media, akan amat sulit mengembangkan dan memperkokoh saling pengertian di antara bangsa-bangsa, memungkin terwujudnya dialog perdamaian di dunia, memberikan jaminan akses ke informasi sekaligus menjamin sirkulasi gagasan secara leluasa teristimewa bagi mereka yang menggalakkan gagasan-gagasan kesetiakawanan dan keadilan sosial. Benar bahwa secara keseluruhan media bukanlah semata-mata sarana penyebaran gagasan. Media dapat dan harus juga menjadi sarana pelayanan bagi terciptanya rasa setia kawan dan keadilan yang lebih besar bagi dunia. Sayangnya betapapun demikian, ia sedang berubah menjadi sistem yang bertujuan mendorong manusia untuk menyerah kepada agenda yang didikte oleh kepentingan-kepentingan digdaya masa sekarang. Begitulah kalau komunikasi digunakan untuk maksud-maksud idiologis atau demi reklame agresif produk-produk konsumen. Dengan dalih untuk menghadirkan realitas, media dapat mengukuhkan atau memaksakan model-model pribadi, keluarga atau kehidupan sosial yang menyimpang. Bahkan, agar bisa menarik perhatian para pendengar dan meningkatkan jumlah khalayak, ia tidak ragu-ragu mempraktikkan berbagai pelanggaran, hal-hal yang tidak sopan dan kekerasan. Media juga dapat memperkenalkan dan mendukung model-model pembangunan yang bukannya memperkecil malah memperbesar jurang teknologi antara negara-negara kaya dan miskin.

 

3. Umat manusia pada zaman sekarang berada pada persimpangan jalan. Hal ini berlaku juga untuk media seperti yang telah Saya tandaskan dalam ensiklik Spe Salvi tentang makna ganda kemajuan yang di satu pihak memberikan kemungkinan baru untuk kebaikan tetapi pada pihak lain membuka begitu besar peluang untuk hal-hal yang jahat yang tidak pernah ada sebelumnya (bdk. No.22). Karena itu kita seharusnya bertanya apakah bijaksana membiarkan sarana komunikasi sosial dipakai untuk kemajuan diri sendiri atau membiarkan penggunaannya di tangan mereka yang memanfaatkan untuk memanipulasi kesadaran manusia. Apakah tidak ada suatu prioritas untuk memastikan bahwa media komunikasi itu tetap mengemban misi pelayanan bagi pribadi dan bagi kebaikan bersama dan bahwa media komunikasi membantu mengembangkan ”formasi etis manusia . . . pertumbuhan batin manusia” (ibid.)? Pengaruhnya yang luar biasa dalam kehidupan perorangan maupun dalam masyarakat telah diakui secara luas, tetapi sekalipun demikian, dengan melihat kenyataan sekarang ini, dibutuhkan perubahan peranan media yang radikal dan menyeluruh. Pada masa sekarang, kian hari, komunikasi nampaknya tidak sekadar menghadirkan kenyataan tetapi justru menentukan kenyataan, memperlihatkan kekuatan dan daya mempengaruhi yang dimilikinya. Sudah menjadi nyata, misalkan, bahwa dalam situasi-situasi tertentu media tidak dipakai untuk maksud-maksud yang tepat untuk menyebarkan informasi, tetapi justru untuk ’menciptakan’ peristiwa. Perubahan peranan yang membahayakan seperti ini telah diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh banyak pemimpin Gereja. Justru karena kita sedang berurusan dengan kenyataan-kenyataan yang berdampak luas pada semua matra kehidupan manusia (moral, intelektual, religius, relasional, afektif, kultural) dimana nilai manusia dipertaruhkan, maka kita mesti menekankan bahwa tidak semua yang dimungkinkan secara teknis, juga diperbolehkan secara etis. Oleh karena itu, pengaruh media komunikasi dalam kehidupan modern mendatangkan berbagai pertanyaan yang tak dapat dielakkan, yang menuntut pilihan dan jalan keluar yang tidak dapat ditunda.

 

4. Peran yang dimainkan oleh media komunikasi sosial dalam masyarakat mestinya dianggap sebagai persoalan ’antropologis’ yang muncul sebagai tantangan kunci dalam milenium ketiga. Seperti yang kita saksikan dalam kehidupan manusia, dalam hidup perkawinan dan keluarga serta dalam isu-isu besar modern seperti perdamaian, keadilan, perlindungan terhadap mahkluk ciptaan, begitu juga di sektor komunikasi sosial terdapat matra-matra khas hidup manusia dan dimensi kebenaran yang berkaitan dengan pribadi manusia. Apabila komunikasi kehilangan daya penyangga etis dan menghindari diri dari pengawasan masyarakat maka ia tidak lagi menghiraukan sentra dan martabat luhur pribadi manusia. Dengan akibat, ia akan memberikan pengaruh negatif terhadap kesadaran manusia, terhadap pilihan putusan manusia dan secara definitif menentukan kebebasan dan hidup manusia itu sendiri. Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang hakikih bahwa komunikasi sosial harus sungguh-sungguh membela pribadi dan menghormati martabat manusia secara utuh. Banyak orang berpikir bahwa dalam hal ini, dibutuhkan suatu ’info-etika’ sama halnya bio-etika di bidang kedokteran dan di bidang riset ilmiah yang berkaitan dengan kehidupan.

 

5. Media harus menghindarkan diri untuk menjadi juru bicara aliran materialisme ekonomi dan relativisme etika, bencana serius di zaman kita ini. Walaupun demikian ia dapat dan harus memberikan sumbangsihnya agar kebenaran tentang umat manusia dikenal, membelanya melawan segala yang berkeinginan mengabaikan dan memusnahkannya. Bahkan boleh dikatakan bahwa mencari dan menghadirkan kebenaran tentang manusia adalah panggilan terluhur komunikasi sosial. Dengan memanfaatkan berbagai cara yang dimiliki media untuk maksud dan tujuan seperti ini adalah suatu tugas yang mulia yang pada tempat pertama dipercayakan kepada penanggungjawab dan operator di bidang ini. Akan tetapi dalam hal-hal tertentu, menyangkut kita semua di zaman globalisasi seperti sekarang, semua kita adalah konsumen dan operator komunikasi sosial. Media baru – secara istimewa telekomunikasi dan internet- sedang mengubah wajah komunikasi; dan barangkali ini merupakan peluang emas untuk mendisain, menjadikan wajah komunikasi menjadi lebih tampak yang oleh Pendahulu Saya Yohanes Paulus II, dianggap sebagai unsur-unsur kebenaran hakiki dan tak tergantikan dari pribadi manusia (bdk. Surat Gemba Perkembangan yang Cepat, 10).

 

6. Manusia merasa haus akan kebenaran, ia mencari kebenaran; hal ini terbukti melalui minat dan kesuksesan yang dicapai sekian banyak penerbitan, program-program atau film-film bermutu dimana kebenaran, keindahan dan keluhuran manusia termasuk matra keimanan manusia diakui dan ditampilkan secara baik. Yesus mengatakan: ”Kamu akan mengetahui kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh 8:32). Kebenaran yang memerdekan kita adalah Kristus, karena hanya Ia sendirilah yang dapat memberikan jawaban yang penuh terhadap kehausan akan hidup dan akan kasih yang ada dalam hati manusia. Barangsiapa yang telah menemukan Dia dan dengan senang hati menerima pewartaanNya, ia berkeinginan untuk membagikan dan mengkomunikasikan kebenaran itu. Santu Yohanes menandaskan: ”Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman Hidup . . .itulah yang kami wartakan kepada kamu, agar kamupun beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-NyaYesus Kristus. Dan semuanya ini kami tuliskan kepada kamu, supaya sukacita kami menjadi sempurna” (1 Yoh 1:1-4).

 

Marilah kita memohon kepada Roh Kudus agar selalu ada para komunikator yang berani dan saksi-saksi kebenaran yang sejati, percaya akan mandat Kristus dan memiliki minat yang besar terhadap warta iman, para komunikator yang ”tahu menerjemahkan kebutuhan budaya modern, memiliki komitmen untuk menghidupi abad komunikasi tanpa merasa asing dan ragu-ragu tetapi sebagi suatu periode berharga untuk mencari kebenaran serta memajukan persekutuan di antara umat manusia dan di antara bangsa-bangsa”

 

Dengan tulus hati, Saya menyampaikan berkatku kepada kamu sekalian

Vatikan, 24 Januari 2008, Pesta St. Fransiskus de Sales

PAUS BENEDIKTUS XVI



[get this widget]

April 10, 2008

TANTANGAN SEORANG PRESBITER?

0 comments

Rm. Mangun dalam Gereja Diaspora menuliskan tentang siapakah umat kristiani sekarang ini. Perlu disadari bahwa umat kristiani tidak lagi hidup dalam masyarakat agraris melainkan hidup dalam rimba metropolitan yang penuh dengan kebisingan dan kekejaman yang belum pernah dilami oleh bangsa kita sebelumnya. Dinamika kota industri dan bisnis modern, struktur serta jaringan-jaringan yang lintas teritorial bahkan suprateritorial semakin membongkar dan mencerai-beraikan seluruh kehidupan. Umat seagama seiman menjadi serba terpencar dengan kata lain menjadi diaspora[1]. Pada dasarnya model paroki berstruktur teritorial dari budaya agraris masih dominan, tetapi semakin hari semakin amat sulit melayani pembekalan spiritual dan pendampingan rohani (sering jasmani juga) yang pas bagi manusia yang sudah hidup dalam dunia yang lain sama sekali cara kerja serta gaya hidupnya dalam iklim dan suasana perkotaan yang lebih mengikuti fungsi kerja atau lapangan mencari nafkah. Gereja berada dalam situasi jaringan, umat menjadi terpencar-pencar. Namun yang menjadi pertanyaan: Siapakah Gereja dalam konteks situasi demikian? Siapakah umat? Semoga pandangan saya tentang Gereja dan umat tidak hanya terpatok pada peristiwa dimana setiap hari banyak umat berduyun-duyun datang ke gereja dan merayakan ekaristi setiap hari atau setiap minggu, atau anak-anak sampai simbah-simbah yang mengikuti doa rosario di lingkungan. Gereja adalah paguyuban manusiawi historis yang mengimani Allah, maka tidak hanya terpatok pada umat yang rajin berdoa di gereja atau lingkungan, tetapi juga mereka yang tidak bisa mengikuti kegiatan gereja karena rumah yang terpencil dari gereja atau mereka yang tidak mampu pergi mengikuti perayaan ekaristi karena tuntutan pekerjaan namun mereka semua sungguh merasakan kehadiran Allah yang menyapa dalam hidupnya dan saling meneguhkan satu sama lain dalam iman.

Suasana ini menghantarkan sosok seorang imam (yang pastinya mumpuni dalam seni penggembalaan) untuk mencari dan menerapkan model penggembalaan yang dapat dirasakan oleh umat kristiani yang masih berdiam dalam paroki teritorialnya hingga merambah dan berkesan kepada mereka yang hidup dan tinggal dalam suasana diaspora. Dalam tantangan penggembalaan yang demikian ini apa yang dapat dibuat oleh seorang imam?


Gaya Pelayanan yang Perlu Diusahakan

Lebih lanjut dalam Gereja Diaspora, Rm. Mangun menulis: Demikianlah realitas budaya urban modern dan pascamodern di kemudian hari akan lebih menuntut terutama kemampuan-kemampuan komunikator dan koordinator dari para pembina dan pendamping umat[2]. Bentuk pelayanan yang perlu dikembangkan oleh seorang imam dalam situasi diaspora adalah sosok imam sebagai komunikator dan koordinator. Bagaimana hal ini mau dipahami dalam konteks Gereja sekarang? Saya memahami kata komunikator berarti bahwa ada “pribadi” dan “ada yang dikomunikasikan”. Pribadi adalah kehadiran imam sendiri dengan seluruh keterlibatan hidup mengusahakan tugas komunitas yaitu untuk mengkomunikasikan kisah Allah dalam sejarah manusia sehingga kisah Allah menjadi kisah hidup dalam sejarah manusia. Memang komunikasi yang terjadi bukan hanya sampai disini saja namun lebih dari itu, peran komunikator adalah penggerak jemaat supaya mereka juga mampu memancarkan wajah Kristus di dunia kepada setiap orang melalui berbagai macam bentuk kegiatan yang dijalaninya setiap hari, entah itu di kantor, di pasar, di rumah maupun dimana terdapat simpul-simpul komunitas umat beriman. Komunikasi iman dan jemaat bukan semata-mata komunikasi fungsional saja namun dalam wacana ini komunikasi yang terjalin mewujud dalam bentuk relasi. Hal ini senada dalam 2 Kor 3:2-3, dimana Paulus mau menujukkan relasi antara pelayan imam dan komunitas dalam Peranjian Baru. Imam jabatan masih mempunyai banyak tugas yang real, tidak hanya simbolis belaka, hanya saja metodologinya harus berubah menyesuaikan diri dengan situasi jemaat yang sudah diaspora. Tentunya segala macam pelayanan gereja tidak harus dijalankan oleh seorang imam mengingat situasi yang terpencar. Figur seorang imam diharapkan tampak dalam pribadinya yang mampu memberi motivasi, memberdayakan (empowering), mengembangkan (transformative), melibatkan (participative), mau mempelajari apa saja dari siapa saja dan dimana saja, tekun merawat dan menumbuhkan, mampu menjadi teladan dan menjadi teman seperjalanan bagi umat beriman.


Fungsi Presbiter dan Segala Tantangannya

Panggilan setiap imam senantiasa berada dalam Gereja dan demi Gereja; melalui Gereja panggilan itu dilaksanakan[3]. Imam hanya berfungsi dalam konteks hidup Gereja. Dan hidup Gereja itu hanya mempunyai makna seumpama Gereja sungguh menjadi sakramen kehadiran Allah dalam sejarah manusia. Kehadiran Imam bukan karena dari pribadinya adalah orang suci namun terlebih kehadiran seorang imam dalam Gereja memiliki tugas untuk menjalankan apa yang menjadi tugas paguyuban, maka disinilah letak profesionalitas imam. Dan tugas imam dalam konteks Gereja adalah berperan serta menyambungkan kisah Allah kepada manusia dan sebaliknya manusia kepada Allah. Imam bertanggung jawab terhadap pewartaan Injil Suci supaya sampai kepada manusia dan bertanggung jawab terhadap paguyuban yaitu umat yang mengangkat dia. Guna menjalankan tugas tersebut kehidupan seorang imam perlu senantiasa berakar dalam pribadi Kristus, karena dalam Kristuslah dia turut mengambil bagian dalam tugas-Nya yaitu sebagai Imam, Nabi dan Raja.

Dalam situasi diaspora, sosok presbiter tentunya tidak akan melulu berkutat pada masalah liturgis semata (kendati itu juga pokok) seperti dalam gereja teritorial. Kehadiran seorang imam mendapat tuntutan dan tantangan ketika umatnya berada dalam situasi yang terpencar-pencar yang kemungkinan tidak dapat hadir untuk merayakan misa mingguan secara rutin dalam teritorinya namun dalam teritori lain. Kehadiran imam mendapat tantangan ketika umatnya tidak dapat secara aktif mengikuti kegiatan sembahyangan lingkungan, atau aktif dalam kepengurusan paroki atau stasi tetapi dapat mengusahakan kerja secara profesional di tempatnya bekerja. Kehadiran seorang imam yang dengan segenap wawasannya, waktunya, tenaganya dan seluruh hidupnya membaktikan diri dalam pelayanan secara total kepada jemaat tanpa dibatasi oleh sekat-sekat pembatas demi iman yaitu supaya warta Injil sampai kepada jemaat.

Saya membayangkan pelayanan dalam Gereja demikian ini, sosok seorang imam dengan segala tantangan dan tuntutan pastoral yang dihadapi perlu mengusahakan cara penggembalaan yang khas dan unik seturut situasi yang dihadapi. Tuntutan pribadi seorang imam pertama-tama adalah pangilan akan kesucian. Seorang imam perlu senantiasa mengusahakan hidup dalam kesucian. Kesucian dapat dipahami dalam kerangka senantiasa mengusahakan keakraban dengan Kristus. Kesucian seorang imam menjadi sarana membangun disposisi batin yang dipenuhi dengan roh sehingga memungkinkan seorang imam mampu melihat segala macam peristiwa yang dihadapi dalam bimbingan roh. Kesucian hidup seorang imam ini menjadi wujud kesaksian iman bagi jemaat dan bagi dunia. Maka disinilah akan nampak profesionalitas seorang imam sebagai saksi iman, mampu menghadirkan warta iman bagi jemaat melalui kehidupan konkretnya.

Dari segi pelayanan, kehidupan paroki menuntut kehadiran sosok seorang imam yang mampu membangun kerjasama dengan jemaat. Kehadiran imam sebagai penghubung kisah Allah agar kisah Allah ini menjadi kisah sejarah dalam hidup manusia, akan menjadi nyata seumpama seorang imam mampu menggerakkan (memberikan pengaruh positif) setiap jemaat untuk menjadi penghubung warta iman ini kepada jemaat lainnya. Kerjasama imam dan jemaat ini menjadi sarana efektif agar pewartaan iman dalam gereja secara khusus gereja diaspora menjadi nyata (artinya sampai kepada jemaat). Oleh karena itu setiap jemaat punya peran sebagai juru warta ini. Saya membayangkan simbah-simbah yang pagi-pagi datang merayakan ekaristi dan kemudian dengan kegembiraan hati pergi ke pasar sambil membawa sebuah tenggok berisi sayuran dan menjualnya kepada orang lain hingga seorang karyawati sebuah BUMN yang tetap bersemangat dalam kerja lemburnya sambil membaca mobile bible[4] dari handphonenya mampu membagikan pengalaman imannya melalui pekerjaannya setiap hari kepada seiap orang yang dijumpainya, tentunya bukan hanya orang-orang yang seagama dengannya. Dalam kehidupan parokial tentunya juga demikian, mulai dari seorang koster, tukang masak pasturan sampai Prodiakon atau Dewan Paroki mempunyai peran khas masing-masing dan saling melengkapi satu sama lain. Disinilah sungguh hadir Gereja, dimana hadir pribadi-pribadi yang mampu menjalankan peran dalam pelayanan yang sama yaitu supaya warta Injil sampai kepada setiap orang. Ada kesatuan peran dalam pelayanan, yang mempersatukan adalah Warta Sabda hanya saja mereka mengambil peran melalui tugas khas kehidupan mereka masing-masing.

Dalam situasi demikian peran imam adalah mengusahakan Gereja yang accessible (mudah dimasuki) bagi semua orang yang mendambakan warta iman. Tantangannya adalah mengusahakan berbagai karya pelayanan yang beragam (yang tidak hanya dibatasi oleh teritorial) sehingga semakin banyak orang merasa hidup dalam iman dan menangkap kisah hidup Allah melalui berbagai karya pelayanan tersebut.


Apa yang Menjadi Dasarnya?

Melalui liturgi tahbisan (secara khusus penumpangan tangan dan doa tahbisan) seorang imam diperbaharui dalam roh. Roh yang membangkitkan Yesus dari kematian, Roh yang senantiasa menyertai Gereja dimohon supaya bekerja dalam diri imam pula. Peran imam hanya mampu terlaksana apabila mengandalkan pada Roh, yaitu hidup ilahi yang diberikan kepada manusia sehingga seorang tertahbis yang memangku martabat imamat dalam dan melalui dirinya terlibat dalam karya kreatif Allah yaitu memaklumkan Diri-Nya dalam Warta Sabda. Mengutip pernyataan Paulus dalam 2 Kor 5:14a “Sebab kasih Kristus yang menguasai kami” saya meyakini bahwa semua bentuk ministering dalam Gereja mendapat dasarnya pada Kristus. Peran Imam sebagai penyambung (connector) bukan hanya berperan dalam dirinya sendiri tetapi juga mengikutsertakan seluruh umat beriman untuk berperan serta juga menyambungkan kisah Allah kepada manusia dan kisah manusia kepada Allah. Pelayanan serta hidup para presbiter diikat dalam kesatuan dengan kristus sehingga mereka mampu bertindak dalam pribadi Kristus Kepala[5].


[1] Mangunwijaya, Pr., YB., Gereja Diaspora, Kanisius, Yogyakarta, 1999, 53.

[2] Mangunwijaya, Pr., YB., Gereja Diaspora, 81.

[3] Pastores Dabo Vobis no. 35.

[4] Mobile Bible adalah layanan sms harian yang di dalamnya berisi teks salah satu pikop kitab suci dan bahan renungan singkat berdasar perikop tersebut.

[5] Prebyterorum Ordinis no. 2.



[get this widget]

DARI PURAWISATA MENUJU CAESAR CAFÉ Multikulturalisme Dunia Hiburan di Yogyakarta

0 comments

Yogyakarta Terancam Bahaya Budaya?

Daerah Istimewa Yogyakarta. Mendengar kota ini tentunya kita akan dibawa dalam bayangan sebuah kota yang indah, sejuk, nyaman, khas dan segudang predikat lain lagi yang melekat didalamnya. Memang, kota Yogyakarta dikenal sebagai kota pendidikan, kota budaya, kota tradisi, kota sejarah dll. Pembangunan-pembangunan di berbagai sektor kehidupan seperti ekonomi, sosial budaya dan lain-lain senantiasa diusahakan demi semakin berkembangnya kota. Berbagai upaya dilakukan untuk mengembangkan budaya kota Yogyakarta yang notabene menjadi salah satu daerah tujuan wisata maka dicanangkan pula slogan Jogja Never Ending Asia.

Tak ubahnya sebuah usaha peningkatan tetaplah akan menimbulkan dan membawa konsekuensi tertentu. Dalam KOMPAS Yogyakarta pernah memberitakan sebuah diskusi bertajuk "Masa Depan Yogyakarta sebagai Kota Budaya" yang diadakan pada hari Senin 21 Mei 2007 di Karta Pustaka Yogyakarta. Diskusi ini digelar oleh Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies, bekerja sama dengan Kompas, Karta Pustaka, Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada, Kemitraan-Partnership, dan Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma. Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Bakdi Soemanto, memaparkan bahwa persoalan budaya di Yogyakarta sudah mencapai pada tingkat bahaya. Datangnya kebudayaan dari luar negeri dan berbagai teknologi modern yang merusak telah mengancam nilai-nilai kemanusiaan Yogyakarta. Masyarakat dilihat tidak begitu peka lagi terhadap gejala makin lunturnya budaya. Bakdi Soemanto menuturkan sebutan Yogyakarta sebagai "kota budaya" memang pas. Hal ini didasarkan bahwa di Yogyakarta terdapat dua layers atau lembaran besar, yaitu kebudayaan lama yang berakar pada tradisi, keraton, dan rakyat, serta kebudayaan baru yang lebih berbau "barat". Kedua semangat budaya tersebut bertemu, berdialog, berkolaborasi, bahkan bersinergi. Namun, sekarang semakin deras diserbu budaya luar yang berwujud kekuasaan modal, seperti maraknya pendirian mal dan hotel. Karena itu, semangat kapitalistik menjadi semakin menguat. Sekali lagi ditandaskan oleh Bakdi Soemanto bahwa hal ini semua merusak suasana budaya Yogyakarta[1].

Tulisan ini hendak mengulas tentang dialog budaya antara budaya lokal yang menjadi tradisi Yogyakarta dan budaya-budaya yang dianggap “baru” oleh masyarakat Yogyakarta yang semakin hari semakin menjamur di seantero wilayah Yogyakarta. Secara khusus tulisan ini hendak membahas tentang fenomena munculnya kafe, diskotek atau klub malam. Budaya ini tentunya bukan budaya lokal, bukanlah budaya asli Yogyakarta namun keberadaan kafe, diskotek, atau klub malam semakin hari semakin menjamur seiring juga dengan semakin banyaknya mal yang ada di Yogyakarta. Suatu budaya tentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat, apalagi keberadaan klub-klub malam ini semakin hari semakin banyak diminati oleh masyarakat secara khusus kaum muda. Sebenarnya apa yang membuat kehadiran klub malam ini mendapat banyak respon dari masyarakat Yogyakarta dan apa pengaruhnya terhadap budaya lokal dan terhadap kehidupan masyarakat secara khusus kaum muda di Yogyakarta. Ada dua pengandaian yang bisa menjadi hipotesis sementara dari tulisan ini yaitu: pertama, kehadiran kafe-kafe, klub malam, diskotek di Yogyakarta telah mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup kaum muda Yogyakarta. Kedua, Kota Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya yang sangat memegang tradisi tetapi di sisi lain ternyata turut berperan dalam memfasilitasi tumbuhnya budaya-budaya yang diusung dari dunia Barat. Apakah memang benar demikian yang terjadi di Yogyakarta? Apakah ini menjadi tanda atau kriteria bahwa memang sudah sedemikian luntur penghargaan masyarakat Yogyakarta terhadap budaya sendiri?


Yogyakarta sebagai Kota yang Istimewa

Yogyakarta dalam Perspektif sejarah

Menurut sejarahnya, antara tahun 1568 - 1586 di pulau Jawa bagian tengah, berdiri Kerajaan Pajang yang diperintah oleh Sultan Hadiwijaya, di mana semasa mudanya beliau terkenal dengan nama Jaka Tingkir. Dalam pertikaian dengan Adipati dari Jipang yang bernama Arya Penangsang, beliau berhasil muncul sebagai pemenang atas bantuan dari beberapa orang panglima perangnya, antara lain Ki Ageng Pemanahan dan putera kandungnya yang bernama Bagus Sutawijaya, seorang Hangabehi yang bertempat tinggal di sebelah utara pasar dan oleh karenanya beliau mendapat sebutan: Ngabehi Loring Pasar. Sebagai balas jasa kepada Ki Ageng Pemanahan dan puteranya itu, Sultan Pajang kemudian memberikan anugerah sebidang daerah yang disebut Bumi Mentaok, yang masih berupa hutan belantara, dan kemudian dibangun mejadi sebuah “tanah perdikan”. Sesurut Kerajaan Pajang, Bagus Sutawijaya yang juga menjadi putra angkat Sultan Pajang, kemudian mendirikan Kerajaan Mataram di atas Bumi Mentaok dan mengangkat diri sebagai Raja dengan gelar Panembahan Senopati. Salah seorang putera beliau dari pekawinannya dengan Retno Dumilah, putri Adipati Madiun, memerintah Kerajaan Mataram sebagai Raja ketiga, dan bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo, Beliau adalah seorang patriot sejati dan terkenal dengan perjuangan beliau merebut kota Batavia, yang sekarang disebut Jakarta, dari kekuasaan VOC, suatu organisasi dagang Belanda. Waktu terus berjalan dan peristiwa silih berganti. Pada permulaan abad ke-18, Kerajaan Mataram diperintah oleh Sri Sunan Paku Buwono ke II. Setelah beliau mangkat, terjadilah pertikaian keluarga, antara salah seorang putra beliau dengan salah seorang adik beliau, yang merupakan pula hasil hasutan dari penjajah Belanda yang berkuasa saat itu. Petikaian itu dapat diselesaikan dengan baik melalui Perjanjian Giyanti, yang terjadi pada tahun 1755, yang isi pokoknya adalah Palihan Nagari, artinya pembagian Kerajaan menjadi dua, yakni Kerajaan Surakarta Hadiningrat dibawah pemerintah putera Sunan Paku Buwono ke-III, dan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dibawah pemerintahan adik kandung Sri Sunan Paku Buwono ke-II yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat ini kemudian lazim disebut sebagai. Pada tahun 1813, Sri Sultan Hamengku Buwono I, menyerahkan sebagian dari wilayah Kerajaannya yang terletak di sebelah Barat sungai Progo, kepada salah seorang puteranya yang bernama Pangeran Notokusumo untuk memerintah di daerah itu secara bebas, dengan kedaulatan yang penuh. Pangeran Notokusumo selanjutnya bergelar sebagai Sri Paku Alam I, sedang daerah kekuasaan beliau disebut Adikarto. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, beliau menyatakan sepenuhnya berdiri di belakang Negara Republik Indonesia, sebagai bagian dari negara persatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya bersatatus Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain sebagai daerah istimewa, Yogyakarta juga mempunyai predikat lain seperti Kota Pendidikan, Kota Budaya, Daerah Tujuan Wisata Utama, Pusat Pelayanan Perdagangan dan Transportasi Regional serta sebagai Pusat Pengembangan Industri Kecil[2].

Yogyakarta: Kota Pendidikan

Sebutan sebagai Kota Pendidikan sangat berkaitan dengan proses sejarah. Pada tahun 1946 - 1949 Yogyakarta berkedudukan sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia, sehingga aktivitas kenegaraan terkonsentrasi di sini. Hal ini memacu para remaja dari seluruh penjuru nusantara untuk berpartisipasi bagi kemajuan negara yang baru merdeka. Atas dasar kebutuhan yang makin mendesak, maka pemerintah medirikan Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai universitas negeri pertama yang lahir pada jaman kemerdekaan. Kemudian diikuti pula dengan berdirinya Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) dan Akademi Musik Indonesia (AMI) (sekarang keduanya digabung menjadi Institut Seni Indonesia Yogyakarta) serta Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (sekarang IAIN Sunan Kalijaga). Seperti layaknya sebuah ibukota, Jogja memikat kedatangan para kaum remaja dari seluruh penjuru tanah air yang ingin berpartisipasi dalam mengisi pembangunan negara yang baru saja merdeka. Pada waktu itu bediri lembaga-lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta sehingga hampir tidak ada cabang ilmu pengetahuan yang tidak diajarkan di kota ini. Hal ini menjadikan kota Yogya tumbuh menjadi kota pelajar dan pusat pendidikan. Dulu, sarana mobilitas paling populer di kalangan pelajar, mahasiswa, karyawan, pegawai, pedagang dan masyarakat umum adalah sepeda sehingga Yogya juga pernah dikenal sebagai kota sepeda yang kini sudah digantikan menjadi sepeda motor.

Dengan julukannya sebagai kota pendidikan, di Yogyakarta terdapat berbagi jenis usaha yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Usaha sewa kamar atau yang lebih dikenal dengan istilah rumah kost merebak di hampir setiap rumah, baik yang berbentuk asrama (putra/putri) maupun berbentuk kost yang menyatu dengan rumah induknya. Dilihat dari fasilitasnya, terdapat beberapa kelas usaha rumah kost. Dari yang paling sederhana (kamar kosong) sampai dengan yang paling mewah (dengan fasilitas kamar mandi, televisi, dan telepon per kamar). Dilihat dari segi manajemen, hampir semua usaha kost ini bersifat informal. Tidak ada standar harga yang seragam. Harga cenderung dipengaruhi oleh lokasi kost terhadap pusat-pusat pertumbuhan, seperti lokasi sekolah/perguruan tinggi, areal pertokoan dan lain-lain. Dari keberadaan rumah kost inilah berbagai lapangan usaha baru biasanya diciptakan. Di sekitar lokasi kost umumnya terdapat warung-warung makan sederhana, jasa pencucian dan binatu. Dengan semakin banyaknya usaha warung makan, suhu persaingan antar warung makan juga semakin terlihat. Usaha untuk memperkuat daya saing tiap warung makan umumnya diwujudkan dengan memberikan berbagai fasilitas kenyamanan, seperti pola self-service, minuman mineral yang memberikan secara gratis, fasilitas televisi dan surat kabar di ruang makan dan sebagainya.

Sementara itu, dengan semakin banyaknya rumah kost, akhir-akhir ini muncul pula usaha jasa kost, yaitu usaha-usaha informasi tentang rumah/kamar kost yang belum dihuni. Berkaitan dengan kebutuhan bacaan, alat-alat tulis dan peraga pendidikan, terdapat cukup banyak toko-toko buku dan alat tulis. Disamping itu, terdapat pula usaha informal kegiatan pendidikan, misalnya produksi rak-rak/almari buku, meja-kursi belajar. Produk-produk yang berbahan baku kayu ini dikemas secara sederhana, dan terpampang dipinggiran jalan di sekitar lokasi sekolah, seperti di sekitar jalan Samirono, disekitar Ringroad, dan lain-lain. Seiring dengan era komputerisasi, usaha penyewaan komputer menjamur di hampir setiap sisi kehidupan mahasiswa. Usaha yang umumnya dikelola oleh mahasiswa ini biasanya menawarkan jasa penyewaan, pengetikan, pencetakan, olah data, serta yang terakhir ini juga marak adalah 'warnet' atau warung internet dengan sewa perjamnya yang bervariasi dan memberikan pelayanan yang cukup memuaskan bagi pelanggannya. Suhu persaingan antar penyewaan biasanya mengacu pada kehandalan mesin yang disewakan, disamping adanya berbagai fasilitas seperti minuman gratis, kopi gratis (bagi yang lembur) dan harga khusus untuk penyewaan malam hari. Usaha lain di bidang pendidikan yang amat mencolok adalah pada usaha jasa pendidikan itu sendiri. Berbagai kursus, les privat, dan lembaga pendidikan memperkukuh basis pendidikan kota ini. Hal menarik dari pertumbuhan lembaga pendidikan ini adalah semakin banyaknya jenis jasa pendidikan yang ditawarkan. Keberlimpahan ini semestinya menjadi faktor pendukung tersendiri dalam upaya meningkatkan ketrampilan siswa didik. Sebab pendidikan formal, bagaimanapun, tidak akan sepenuhnya mampu memikul fungsi-fungsi utama pendidikan nasional.

Yogyakarta: Kota Budaya

Yogyakarta pernah menjadi pusat kerajaan, baik Kerajaan Mataram (Islam), Kesultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman. Sebutan kota kebudayaan untuk kota ini berkaitan erat dengan peninggalan-peninggalan budaya bernilai tinggi semasa kerajaan-kerajaan tersebut yang sampai kini masih tetap lestari. Sebutan ini juga berkaitan dengan banyaknya pusat-pusat seni dan budaya. Sebutan kata Mataram yang banyak digunakan sekarang ini, tidak lain adalah sebuah kebanggaan atas kejayaan Kerajaan Mataram. Menurut sejarahnya Kesultanan Yogyakarta merupakan pecahan dari kerajaan Mataram yang pernah mencapai masa kejayaan dibawah pimpinan Sultan Agung (1613-1645). Namun intrik politik yang terjadi di dalam lingkungan kerajaan telah mengakibatkan terpecahnya kerajaan Mataram. Dalam pertengahan pertama abad ke-18 Mataram sampai tiga kali mengalami peperangan perebutan takhta yang akhirnya mengakibatkan terpecahnya kerajaan yang sudah sangat menciut wilayahnya karena digerogoti Belanda menjadi Kerajaan Surakarta yang diperintah Pakubuwono III dan Kerajaan Yogyakarta dipimpin Hamengkubuwono I, sebagaimana perjanjian Gianti tahun 1755. Dua tahun kemudian daerah Surakarta dibagi lagi antara Pakubuwono III dan Mangkunegoro I. Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1755 dimana ia mendirikan Kraton Yogyakarta menyusul perselisihannya mengenai pembagian wilayah dengan saudara laki-lakinya Susuhunan Surakarta. Dia kemudian mengangkat dirinya sebagai sultan dengan gelar Hamengkubuwono yang berarti ‘alam semesta berada di pangkuan raja.’ Pada abad ke 17, Sultan Hamengkubuwono mampu menjadikan kerajaan yang dipimpinnya berkembang pesat sehingga menjadi sangat kuat. Namun puteranya ternyata kurang memiliki kecakapan sehingga pada masa pemerintahan kolonial, keraton Yogyakarta pernah dibekukan, Hamengkubuwono II diasingkan dan sebuah wilayah kerajaan yang lebih kecil yang diberi nama Paku Alam didirikan didalam wilayah kesultanan Yogya. Bagi orang Jawa, Yogya adalah simbol perlawanan terhadap penjajah. Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro menentang Belanda (1825-1830) berlangsung di sekitar Yogyakarta. Pada masa revolusi kemerdekaan, Yogyakarta juga menjadi pusat perlawanan terhadap kaum kolonial. Ketika Belanda kembali ke Indonesia, sebagian wilayah kraton kemudian diubah menjadi Universitas Gajah Mada yang dibuka pada tahun 1946. Ketika Belanda menduduki Yogya pada tahun 1948, Sultan melakukan perlawanan dengan mengurung diri di dalam kraton menolak bertemu dengan penguasa Belanda, namun diam-diam ia tetap menerima para pejuang kemerdekaan di kratonnya dan menjadi penghubung antara Yogya dan pihak pejuang yang melakukan perang gerilya di luar kota. Belanda tidak berani menindak Sultan karena takut dengan kemarahan jutaan orang Jawa yang menghormatinya. Sementara itu Sultan mengijinkan para pejuang Indonesia menggunakan kraton sebagai markas perjuangan, jasa besar sultan ini menjadikan pemerintah Indonesia kemudian -setelah kemerdekaan- menganugerahkan status Daerah Istimewa kepada Yogyakarta[3].


Geliat Dunia Hiburan Malam di Jogja: Purawisata atau Caesar Café ?

Suasana Kota Yogyakarta memang terus berubah dari waktu ke waktu. Begitupula sarana hiburan bagi masyarakat Yogyakarta juga turut berkembang. Sebagai Kota Budaya, Yogyakarta memiliki aneka macam tempat hiburan, mulai dari tempat-tempat wisata entah itu wisata pantai, wisata pegunungan, wisata sejarah, maupun wisata belanja. Adapula pusat-pusat kesenian, entah itu seni tari yang biasanya diselenggarakan di Kraton, seni lukis, seni rupa, seni gerabah dan lain-lainnya. Ada tempat hiburan yang dapat dinikmati pada siang hari ada tempat hiburan yang biasanya mengadakan pertunjukkan pada malam hari seperti Pasar Malam Sekaten, Pentas Dangdut dan lain-lainnya.

Dalam tulisan ini hendak dipaparkan mengenai salah satu alternatif hiburan malam di Yogyakarta. Hiburan malam yang akhir-akhir ini dapat dikatakan sangat marak dan menyedot perhatian masyarakat Yogyakarta secara khusus masyarakat muda. Masyarakat Yogyakarta tentunya tidak asing dengan Purawisata. Purawisata terletak di Jalan Brigjend Katamso Yogyakarta, tepatnya sebelah timur Kraton Yogyakarta. Tempat hiburan ini diciptakan sedemikian rupa hingga memungkinkan orang untuk memperoleh berbagai macam hiburan yang dapat membawa suasana baru bagi masyarakat Yogyakarta. Pertunjukan Seni Tari Ramayana merupakan hiburan seni dan budaya Jawa utama yang disajikan oleh tempat ini, selain diantaranya pertunjukan dangdut dll. Tarian yang disajikan pada panggung terbuka Purawisata setiap malam sejak tahun 1975. Dengan kapasitas 600 tempat duduk, para penonton dapat menikmati kisah romantika tragedy dari Rama dan Sinta yang menceritakan pertarungan antara kebaikan dengan kejahatan. Disamping itu, Purawisata juga terkenal dengan Pentas Dangdut yang notabene sudat melekat sebagai musik rakyat, tapi akhir-akhir ini entah mengapa pentas-pentas Dangdut tidak banyak mendapatkan respon dari masyarakat. Seakan-akan kehadiran Purawisata telah kalah pamor dengan hadirnya tempat hiburan malam yang semakin hari semakin marak seperti kafe[4], diskotek[5] atau klub malam[6].

Memang, keberadaan Purawisata yang memberikan image pentas Dangdut sangatlah lain dengan keberadaan tempat hiburan malam seperti café, atau diskotek yang sebenarnya sudah hadir di Yogyakarta sejak tahun 1980-an. Sekitar tahun 1982 sebuah pusat hiburan publik (tempat bilyard dan diskotek) Crazy Horse adalah salah satunya diskotek yang terkenal di Yogyakarta pada masa itu dan menjadi simbol dari gaya hidup generasi kaum muda. Dalam tahun 1990-an kafe-kafe dan rumah makan menjadi amat populer sebagai tempat untuk mengisi waktu luang yang menggambarkan gaya dan cara hidup kaum muda Yogyakarta. Saat ini setidaknya sudah hadir beberapa kafe yang ramai dikunjungi anak muda setiap malamnya. Di kawasan Jl. Magelang paling tidak yang dijumpai penulis ada BOSCHE VVIP Club, Jogja-Jogja Rumah Musik, Java Café, BUNKER Café, The CLUB Concert Café, kemudian di sepanjang Jalan Solo ada TJ’ Extraordinary, Hugo’S Café, Soda Lounge, Caesar Café, Gudang Musik, kemudian di Jalan Malioboro ada Republik, PAPILLON Clubbing Music & Cafeint di Jl. Mayor Suryotomo, dan masih banyak lagi. Hampir di setiap Hotel berbintang juga menyediakan kafe-kafe semacam ini. Masing-masing kafe menawarkan kemasan acara yang unik dan menarik, dari mengemas acara khusus untuk mahasiswa atau khusus untuk pelajar, mendatangkan DJ (Disc Jockey) yang terkenal atraktif, menghadirkan grup-grup musik, menyajikan kompetisi minum bir, mengadakan kontes dance, sampai pada pemilihan putri favorit kafe tersebut dll. Dengan menjamurnya kafe, muncul pula fenomena clubbing[7] yang cukup marak awal tahun 2000-an, dimana kafe selalu menjadi tempat nongkrong mereka[8].

Seiring dengan hadirnya berbagai fasilitas modern tersebut berubah pula gaya hidup pelakunya. Citra mahasiswa Yogyakarta yang ndeso dan prihatin tampaknya sudah sirna. Kaum muda Yogyakarta akhir-akhir ini mulai menjadi mahasiswa metropolis yang akrab dengan kafe, diskotek, dan salon. Sebut saja salah satu klub malam yang baru-baru ini dibangun dan menjadi alternatif hiburan bagi masyarakat Yogya secara khusus kaum muda yaitu Caesar Café. Menempati bangunan lantai tiga Plaza Ambarrukmo, Caesar Lounge & Cafe hadir di Yogyakarta dengan mengusung konsep hiburan One Stop Entertainment. Konsep ini, menurut pihak manajemen, dapat diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan hiburan masyarakat Yogya yang kian beragam. Pada pukul 11.00-21.00 WIB, tempat ini siap menjadi sebuah Lounge yang cocok bagi orang-orang yang hendak bersantai dari aktivitas keseharian yang melelahkan. Sedangkan mulai pukul 22.00-03.00 WIB, tempat hiburan yang dihiasi warna biru hampir pada setiap sudut ini berganti menjadi Cafe yang siap menampung para clubbers yang membutuhkan hiburan malam. Tempat clubbing yang tampil dengan disain futuristik ini menawarkan sebuah atmosfer yang pastinya berbeda dengan tempat hiburan lainnya di Kota Jogja. Tempat hiburan ini juga menawarkan berbagai fasilitas yang menarik diantaranya adalah hotspot dan membership bagi para pengunjungnya. Dengan pengunjung dari kalangan middle-up ke atas dan sebagian para ABG (Anak Baru Gede), tempat ini cocok bagi Anda para eksekutif muda yang ingin bertemu dengan teman baru atau sekadar hang out untuk menghilangkan penat setelah seharian bekerja. DJ alias disc jockey-lah komandan pesta. Mereka yang membawa ribuan anak muda bergoyang di tengah hingar-bingar musik dansa di tempat-tempat yang "aneh", mulai dari tengah hutan belantara, tepi pantai yang eksotik, hingga gudang atau lantai di sebuah gedung tinggi yang tak terpakai. Pengumuman seperti itu biasanya ditutup dengan pesan: "you guys better be there, if you dont wanna miss the best party..." (maksudnya kurang lebih: kalian sebaiknya di situ kalau tidak ingin ketinggalan pesta terhebat). Bagi beberapa pihak, hal ini adalah sebuah kesia-siaan kaum hedonis kota besar. Namun bagi para DJ, sunguh ini menjadi lahan bisnis yang sangat menguntungkan. Mereka menjadi fasilitator bagi orang-orang yang memang ingin having fun. Inilah dinamika industri hiburan yang dengan sensasinya menyihir sebagian kaum muda metropolis. Sebuah dunia yang hidup lewat tengah malam[9].

Dugem (dunia gemerlap), begitulah istilah yang digunakan oleh sebagian kaum muda kita dan mereka yang gemar menghabiskan waktu malamnya untuk berpesta pora baik bersama pasangan mereka masing-masing maupun koleganya. Istilah ini sangat dikenal di kalangan kaum muda dan mereka yang menggandrungi pesta dan hiburan malam. Biasanya acara dugem-an dilaksanakan di kafe-kafe atau bar dengan berbagai suguhan menu makanan dan minuman serta acara yang menggiurkan. Di kafe-kafe atau bar kelas menengah yang biasa dihadiri oleh kaum muda dan masyarakat kelas menengah ke bawah biasanya cukup dengan menyuguhkan band-band lokal dan sesekali mendatangkan grup musik papan atas serta karaoke untuk mengiringi para muda-mudi berlantai (berdansa dengan pasangan mereka masing-masing). Sedangkan kafe-kafe atau bar bergengsi yang hanya bisa dihadiri mereka yang berkantong tebal dan eksekutif muda, tidak jarang dengan menghadirkan para penari telanjang dan berbagai bentuk acara yang jauh dari etika ketimuran, apalagi norma agama. Namun baik kafe kelas menengah hingga kafe bergengsi yang menyediakan fasilitas dugem-an, tetap memiliki beberapa kesamaan, yaitu : biasanya sebuah kafe terasa tidak lengkap tanpa menyediakan berbagai jenis minuman beralkohol, hanya saja mungkin kualitas dan harga yang berbeda. Kesamaan lainnya adalah bahwa kafe-kafe yang menyediakan pesta malam sangat identik dengan hura-hura, pergaulan bebas, menghamburkan uang, mabuk-mabukan, erotisme, seksualitas, narkoba, serta membuang-buang waktu, sebab biasanya pesta itu dilaksanakan semalaman suntuk. Bagi sebagian kaum muda yang akrab dengan dunia dugem ada satu anggapan bahwa seseorang dinggap tidak gaul, tidak funky dan kampungan jika belum pernah menikmati kehidupan kafe dengan dugemnya. Anggapan yang keliru ini mereka lontarkan sebagai justifikasi terhadap apa yang mereka lakukan. Kehidupan malam yang hingar-bingar dengan lantunan suara musik yang keras, dansa dengan saling berpelukan antara lawan jenis yang diselingi tawa canda yang mengumbar aroma alkohol tidak hanya melanda kota-kota besar saja, tapi juga kota semi metropolis dan telah menjadi bagian gaya hidup manusia modern. Uniknya realitas semacam ini oleh sebagian pecinta kehidupan malam atau dugem sudah dianggap sebagai tradisi yang wajar dan dibenarkan. Selama ini kita sering mendengar bahwa sebagian kaum muda dengan bangga mengatakan bahwa sekalipun mereka mendatangi kafe-kafe untuk menghabiskan malam minggu bersama orang yang dikasihi ataupun teman-temannya, mereka hanya sekedar tripping, berlantai (berdansa) namun tidak ikut-ikutan minum-minuman beralkohol maupun narkoba. Argumentasi ini sekaligus dijadikan sebagai justifikasi terhadap apa yang mereka lakukan. Ada statemen yang mengatakan bahwa lingkungan mempengaruhi manusia[10].


Dibalik Semakin Menjamurnya Café dan Diskotek ?

Suasana kota yang setengah desa turut mempengaruhi watak kaum muda kota pada masa lalu. Sebagai daerah tujuan studi, kota ini memiliki kehidupan kampus yang dinamis. Kampus menjadi situs kebudayaan penting yang menghubungkan dunia gagasan dan konstruksi budaya kota ini. Kini pragmatisme telah menyerbu kehidupan kampus-kampus di Yogyakarta. Pergeseran ini membawa pengaruh yang luar biasa bagi tumbuhnya kaum muda modern yang lebih pragmatis. Membanjirnya kelas menengah ke kota ini dengan cepat direspons, baik oleh pemerintah kota maupun dunia bisnis. Cobalah susuri malam Yogya, dari utara ke selatan, dari barat ke timur. Perumahan baru dibangun dengan berbagai gaya. Kita akan menemui lampu-lampu menyala, tapi kota seolah kehilangan cahaya. Kaum muda yang bersahaja telah pergi, digantikan generasi muda baru yang ceria dan penuh gempita menuju pesta di pusat-pusat belanja.

Generasi discourse berganti generasi distro[11], perdebatan angkringan digantikan gemuruh dan sensasi kafe dan coffee corner. Onthel telah menjadi cendera mata, klub diskusi berganti menjadi generasi clubbing, anak gerakan berganti menjadi klub pencinta motor merek X dan mobil tipe Z. Para pelajar dan mahasiswa yang datang ke Yogya dengan tujuan menunutut ilmu karena pertimbangan tarif hidup yang murah dan fasilitas pendidikan yang memadai. Kini, menjadi kaum insomnia adalah life style. Bersama dengan tumbuhnya mal, kafe, coffee corner, butik, factory outlet, kaum muda yang memburu life style saat ini tampak lebih "bersih dan sehat-sehat". Para perantau yang datant ke kota Yogyakarta sudah mengalami pergeseran dalam hal kelas sosial. Mereka yang datang ke Yogya saat ini adalah anak-anak orang kaya. Biaya untuk menjadi sarjana di sini kian mahal. Harga sebuah kursi di universitas negeri maupun swasta tak mungkin terjangkau anak-anak pandai tapi tak cukup punya biaya.

Struktur-struktur penopang kebudayaan kian memberi ruang bagi tumbuhnya budaya massa. Eksotisme berubah menjadi paket wisata yang mahal, bukan lagi sesuatu yang tumbuh dari keseharian hidup. Budaya massa semakin cepat lahir dari berbagai penanda baru yang tumbuh di kota. Budaya massa lahir akibat proses massifikasi dan memiliki tiga ciri utama: obyektivasi, alienasi, dan pembodohan. Obyektivasi dalam budaya massa terjadi karena pemilik hanya menjadi obyek yang tak punya peran dalam pembentukan simbol budaya. Alienasi berarti pemilik budaya massa terasing dari dan dalam kenyataan hidup. Mereka hidup dalam hingar-bingar dan gemuruh kehidupan masa kini, tapi pada saat yang sama kehilangan identitas dirinya. Dan pembodohan terjadi karena budaya massa hanya melahirkan kesibukan fisik, kepadatan jadwal, tanpa pengalaman mendapatkan pengalaman baru, apalagi momen-momen reflektif. Pragmatisme atas kultur kota terjadi ketika mobilitas manusia dituntun oleh mobilitas benda. Orientasi sebagai konsumen merupakan pendorong mobilitas itu. Dalam kehidupan masa kini, semua ruang seolah merupakan wilayah ekspansi modal. Di hipermarket, kegaduhan berlangsung dalam suasana tunasosial. Seperti itu juga di tempat clubbing yang kini hadir melengkapi kehadiran kampus: di sana orang-orang berkerumun, tetapi hanya untuk menggerakkan tubuh mereka sendiri. Adakah mereka berelasi satu sama lain selain dengan pasangannya atau rekannya saja[12]?


Café dan Diskotek sebagai Pemaknaan Simbol Modernitas

Kritik yang sering dilontarkan terkait dengan dunia gemerlap adalah tampilnya simbol-simbol kultural modern yang identik dengan kaum muda perkotaan di Indonesia; terutama dalam sifat kontrasnya terhadap kepatuhan politik, ketaatan pada etika, kekukuhan moral, dan kepedulian kepada nasib rakyat sebagai kategori-kategori normatif. Oleh karena itu sikap masyarakat baik institusi pendidikan ataupun pemerintah cenderung defensif dan tidak menangkap pemaknaan kaum muda sendiri tentang segala perubahan dan berbagai tawaran modernitas hiburan termaksud. Akibatnya hampir dalam setiap pemberlakuan aturan hanya akan mudah menjadi bahan olok-olok kaum muda tersebut. Perubahan ekonomi, sosial, politik semakin, runtuhnya batas-batas nasional dan semakin meningkatnya cengkeraman global dipandang berperan pada periode ketidakpastian dan ketidakstabilan yang menghasilkan suatu masa ketika kontradiksi antara nilai-nilai tradisional seperti puritanisme, tanggung jawab, sikap hemat dan kebanggaan menyelesaikan pekerjaan dengan baik versus nilai-nilai baru seperti hedonisme dan konsumsi spektakuler masyarakat makmur memang menjadi semakin tajam. Perubahan ini sangat dirasakan oleh anak muda yang mengalami kesulitan sekaligus keuntungan. Identitas orang modern akan ditentukan oleh dunia sekitar. Mereka tidak mampu menunjukkan identitas dari kedalaman diri mereka. Kecenderungan ini menempatkan orang muda pada pencarian identitas terus menerus. Padahal identitas tersebut bukan menunjukkan kemendalaman pribadi tetapi lebih pada pencitraan fisik semata.

Pencarian dan Perubahan Identitas Terus Menerus

Identitas dalam konteks ini tidak dimaksudkan sebagai entitas apapun yang dapat digambarkan oleh psikologi ilmiah, melainkan lebih merupakan pengalaman aktual dalam situasi sosial tertentu. Dengan kata lain identitas adalah cara individu mendefinisikan diri mereka sendiri. Dengan demikian identitas merupakan bagian dari paket struktur kesadaran yang khusus dan karena itu dapat dipertanggungjawabkan dalam uraian fenomenologis (tanpa mempertimbangkan ini dan itu yang mungkin dibuat oleh seorang ahli psikologi). Identitas modern bersifat terbuka. Ciri terbuka tanpa batas dalam identitas modern ini menimbulkan berbagai hambatan psikologis dan membuat individu mudah mengalami perubahan definisi oleh orang lain. Identitas modern mempunyai perbedaan-perbedaan khusus. Karena pluralitas dunia sosial dalam masyarakat modern, struktur masing-masing dunia dialami sebagai struktur yang rrelastif tidak stabil dan tidak dapat dipercaya. Pengalaman individu modern dalam pluralitas dunia sosial merelatifkan setiap dunia sosial itu. Akibatnya, tatanan kelembagaan mengalami kehilangan realitas tertentu. Titik berat realitas bergeser dari tatanan pranata obyektif ke bidang subyektif. Dengan kata lain, pengalaman individu tentang dunia sosial obyektif. Oleh karena itu, individu berusaha mencari tempat berpijak pada realitas dalam dirinya sendiri dari pada di luar dirinya. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa realitas subyektif individu menjadi sangat beragam, kompleks, dan menarik bagi dirinya sendiri. Subyektifitas mencapai kedalaman yang tak terpahami. Identitas modern bersifat terbuka tak terbatass, fana berubah terus menerus. Di pihak lain, bidang identitas subyektif merupakan tempat berpijak utama individu dalam realitas. Sesuatu yang terus menerus berubah diandaikan sebagai ens realissimum. Akibatnya tidak mengherankan bila manusia modern dirundung krisis identitas yang bersifat permananen, yaitu kondisi yang mengakibatkan kegelisahaan luar biasa[13]. Mereka yang masuk dalam atmosfer dunia hiburan malam dengan clubbing akan memanfaatkan pencitraan modern dan menjadikan diri mereka sebagai orang yang punya identitas modern. Identitas modern ini dapat dilihat dari gaya hidup atau life style mereka.

Pengikisan Identitas Kolektif dan Pemujaan Identitas Personal

Adalah sebuah proses kejatuhan yang sederhana telah terjadi, tetapi bahwa sekumpulan identitas yang terbatas dan bergantung telah mulai terfragmentasi menjadi deretan identitas saling bersaing yang bermacam-macam dan tidak stabil. Pengikisan identitas kolektif yang dulunya aman telah mengarah pada semakin meningkatnya fragmentasi identitas personal. Dikatakan bahwa kita telah menjadi saksi menghilangnya kerangka rujukan tradisional dan adiluhung secara bertahap dalam pengertian orang bisa mendefinisikan dirinya maupun kedudukannya di dalam masyarakat, dan dengan demikian mereka merasa relatif aman dengan identitas personal maupun identitas kolektifnya. Sumber-sumber identitas tradissional ini, seperti kelas sosial, keluarga somah, dan keluarga batih, komunitas lokal, kebertetanggaan, agama, serikat dagang, negara bangsa, dikatakatan telah mengalami kejatuhan sebagai akibat dari berbagai kesenderungan di dalam kapitalisme modern seperti semakin cepat dan pesatnya tingkat perubahan sosial[14]. Percampuran atau pergeseran dari tradisi budaya yang sarat makna menuju budaya modern yang menjadi trendsetter menjadikan identitas budaya kolektif semakin hari semakin mengikis, akrena menonjolnya pencarian identitas individu. Semakin dicari, identitas individu maka semakin memudarkan identitas bersama dan bahkan identitas bersama kemungkinan dianggap tidak ada.

Munculnya Budaya Konsumen

Istilah budaya konsumen berbicara tentang dampak konsumsi massa atas kehidupan sehari-hari. Dampak in menyangkut perubahan tatanan simbolis, struktur makna, dan perilaku sehari-hari. Kesan memainkan peran utama dalam budaya ini. Kesan ini didukung dengan adanya insdustri gambar hidup, surat kabar rumah media massa, majalah, televisi seakan tanpa henti mencipta dan menyebarkan berbagai kesan tanpa henti. Kesan-kesan ini tidak dapat dikatakan membentuk ideologi pokok yang utuh karena kesan terus menerus diproses ulang dan makna barang dan pengalaman terus didefinisikan kembali. Segala-galanya dapat dipertukarkan satu sama lain, dan tampaknya tidak ada batas sampai kemana. Berbagai makna yang selama ini jelas dan berdiri sendiri dapat dipertukarkan. Tradisi juga diaduk-aduk dan dikuras untuk mencari simbol kecantikan, roman, kemewahan, dsan eksotika yang manjur. Kesan budaya konsumen dan iklan pada dasarnya bersifat modernis, sepanjang mengenai ganti mengganti tata nilai dan meruntuhkan titik acuan tradisional, dalam usahanya meramu paduan baru yang mampu membangkitkan kembali kenangan dan merangsang keinginan. Maka dapat dikatakan bahwa budaya konsumen ini seperti dunia mimpi suatu kenyataan semu, yang meski demikian mengandung suatu moment positif atau utopia dalam janjinya menciptakan barang berlimpah ruah. Komoditi diukir dengan gaya dan gaya adalah komoditi yang bernilai. Gaya modernis yang terpantul dalam kehidupan sehari-hari terserap ke dalam struktur kehidupan sehari-hari dan ide artistik budaya tandingan bahwa kehidupan itu adalah suatu karya seni makin menyebar luas. Karena itu dalam budaya konsumen masa kini, gaya hidup mendapat kedudukan yang istimewa. Perilaku konsmsi tidak berarti menyerap komoditi produksi massa secara pasif dan mengikuti arus. Tekanan diletakkan pada merancang ulang dan mengerjakan ulang komoditi untuk menciptakan kesan gaya yang menyingkapkan individualitas manusia[15]. Penekanan pada tampilan permukaan dan gaya dapat dikatakan secara lain bahwa citraan mendominasi narasi. Orang semakin mengkonsumsi citra maupun tanda itu sendiri dan malah bukan manfaatnya atau nilai-nilai lebih dalam yang mungkin disimbolisasikan. Masyarakat mengkonsumsi citra dan tanda karena kesemuanya itu memang citra dan tanda, dan mengabaikan pertanyaan tentang nilai dan kegunaan. Hal ini tampak nyata pada budaya populer itu sendiri dimana permukaan dan gaya, tampa seseuatu dan sifat main-main dan senda gurau dikatakan mendominasi dengan mengorbankan isi substansi dan makna. Sebagai akibatnya sifat-sifat seperti kelebihan artisitik, integritas, keseriusan, otentisitas, realisme, kedalaman intelektual dan narasi yang kuat cenderung diabaikan[16]. Citra dan tanda ini akan terus menerus dikonsumsi dan apa yang dikonsumsi hanya segi luaran saja. Kaum mudapun akan terus menerus masuk dalam lingkaran hiburan malam, mereka terus menerus datang ke kafe dan diskotek sejauh itu memang masih memberikan dan menempelkan citra orang modern pada dirinya.


Melihat Ulang (Budaya) Hiburan di Yogyakarta

Meningkatnya pola hidup konsumtif cenderung mengubah perilaku sosial masyarakat. Konsumen muda yang terdiri dari generasi muda, bagi produsen adalah sasaran empuk, gurih, dan segar. Kaum muda seusia itu merupakan pasar yang makin kaya dan setiap saat bertambah besar. Mengapa kini mereka menjadi kelompok sasaran yang menarik bagi kapitalisme? Sebagai konsumen, mereka jelas berpotensi besar bagi dunia bisnis dan industri. Mereka adalah sasaran paling empuk dan mudah dipengaruhi. Konsumen muda belum bisa menentukan prioritas kebutuhannya sendiri. Umumnya dalam memutuskan sesuatu konsumen muda lebih mengandalkan emosi ketimbang rasionya. Mereka cenderung menelan mentah-mentah informasi yang diterima, asal menyenangkan. Hidup dalam pola dan arus konsumtivisme membuat orang merasa tidak puas jika produk atau barang yang diinginkannya belum dimiliki. Mereka mengutamakan gaya hidup bertolak pada felt need saat membeli suatu produk yang ditawarkan daripada membeli kebutuhan yang memang diperlukan (real need). Pola hidup seperti itu mendorong orang selalu ingin berlebihan, tanpa peduli bagaimana cara mendapatkannya. Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seperti itu di antaranya harga diri, gengsi, status sosial, ekonomi, pengaruh rekan, atau tingkat pendidikan merupakan sederet variabel yang perlu diperhitungkan. Pola hidup konsumtif juga menimbulkan berbagai hal yang berhubungan dengan faktor ketergantungan yang melekat dalam sanubari mereka. Kemajuan teknologi dan industri menjadikan nilai materialistik amat mendominasi kehidupan manusia modern. Meningkatnya jenis maupun volume produk industri memudahkan masyarakat bersikap konsumtif materialistis.

Kekuasaan dalam wacana masyarakat konsumen dijungkirbalikkan. Kekuasaan yang didekonstruksi langsung menyentuh wajah, kulit, tubuh, rambut manusia, kamar tidur, kamar tamu, ruang kerja, atau mobil. Seluruhnya menawarkan kesenangan, kemudahan, dan modernisme. Artinya, kekuasaan yang sudah didekonstruksi itu memberikan harapan kepada siapa pun untuk memosisikan dirinya dalam wacana yang ditawarkan sang kapitalis. Dalam bentuk yang sama, beragam produk dan beraneka gaya mengucur deras di supermarket, pusat perbelanjaan, dan sinetron yang sulit dikendalikan. Dalam wacana kapitalisme berkembang kebutuhan untuk memperpendek daur giling produk dan gaya hidup yang dimoderatori produser kapital. Di lain pihak, dalam kepentingan yang sama, konsumen berlomba mendapatkan barang baru, citra baru, gaya baru, serta meremajakan sesuatu yang dianggap ketinggalan zaman[17].

Melihat dunia hiburan malam, terhadap apa yang ditawarkan bukan lagi permasalahan seputar kesenian (seperti dalam Dangdut) atau keadaan psikologis terhibur, namun dunia hiburan malam telah menjadi lahan bisnis karena senantiasa menawarkan citra dan tanda modern yang dibungkus dalam suatu suasana menghibur. Kaum muda berlomba-lomba mencari hiburan tetapi bukan hiburan semata tetapi dibalik hiburan yang mereka cari sebenarnya mereka mencari suatu identitas “orang modern”, apa yang mereka cari adalah gaya hidup atau life style modern. Pencitraan dari dunia hiburan malam yang teramu dalam kafe atau diskotek ini berhasil membidik pangsa pasar kaum muda Yogyakarta, karena dilihat dari sejarahnya kota ini terkenal dengan kota pendidikan yang notabene sebagain besar penghuninya adalah kaum pelajar dan mahasiswa. Identitas kolektif akan semakin memudar karena digeser oleh pencarian terus menerus akan identitas individu, maka tidak luput pula bahwa budaya lokal, budaya adiluhung masyarakat Yogya semakin hari akan semakin memudar pula.

Perjumpaan budaya, antara budaya lokal dengan budaya asing senantiasa akan terjadi terus menerus. Kemungkinan besar di Kota Yogyakarta akan semakin banyak dijumpai mal, hipermarket, kafe, diskotek maupun klub malam, entah pembangunan-pembangunan simbol-simbol modernitas ini kapan akan berhenti. Menjadi suatu pekerjaan rumah bagi kita semua, bukan hanya bagi warga Yogyakarta adalah senantiasa peka dan mampu mencipta nilai dan makna dari kehadiran simbol modernitas tersebut. Hal ini sebagai langkah supaya tidak begitu tergantung atau menjadi budaya konsumeristis. Menjadi usaha kita bersama, kendati kita semua hidup dalam budaya lokal dan budaya modern tetapi bagaimana tetap mampu mengusahakan dan mengedepankan tradisi, nilai-nilai budaya lokal yang sarat makna.


Daftar Pustaka

Berger, Peter L.,

1988 “Pluralisasi Dunia Kehidupan”, dalam Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Feathersone, Mike,

1988 “Budaya Konsumen Kekuatan Simbolis dan Universalisme”, dalam Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Gunawan, Rudy,

2007 “Menyelami Dunia Gemerlap”, dalam www.indonesianyouth.com, diunduh pada 5 Desember 2007.

Handayani, Christina S.,

2005 “Para Saksi Gaya Identitas Dugem”, dalam Penghibur(an): Masa Lalu dan Budaya Masa Kini Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.

Patissina, Edna C.,

2007 “DJ Riri, Dunia Lewat Tengah Malam”, dalam KOMPAS tanggal 11 Juni 2005, diunduh pada 3 Desember 2007.

Strinati, Dominic,

1995 Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, Bentang Pustaka, Yogyakarta.

Tinarbuka, Sumbo,

2007 “Pola Konsumtif Masyarakat Yogya”, dalam www.sumbo.wordpress.com, diunduh pada 5 Desember 2007.

Wirasenjaya, Adde Marup,

2006 “Kaum Insomnia Kota Bu(d)aya, Apa Kabar?”, dalam KOMPAS tanggal 4 Oktober 2006.

--------------------------,

2007 “Kota Budaya Terancam Bahaya”, dalam KOMPAS Yogyakarta Selasa, 22 Mei 2007.

--------------------------,

2007 Sejarah Yogyakarta dalam “Yogyakarta” dalam www.my-indonesia.info/filedata/1692_495-123486Jogja1.pdf, diunduh pada 5 Desember 2007.

--------------------------,

2007 “Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta”, dalam www.id.wikipedia.org/ Sejarah_Keistimewaan_dan_Pemerintahan_Prop_DIY_files/commonPrint.css, diunduh pada 5 Desember 2007.


[1] --, “Kota Budaya Terancam Bahaya”, dalam KOMPAS Yogyakarta Selasa, 22 Mei 2007.

[2] Disarikan dari Sejarah Yogyakarta dalam “Yogyakarta” dalam www.my-indonesia.info/filedata/1692_495-1234286Jogja1.pdf, diunduh pada 5 Desember 2007.

[3] --, “Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta”, www.id.wikipedia.org/ Sejarah_Keistimewaan_dan_

Pemerintahan_Prop_DIY_files/commonPrint.css, diunduh pada 5 Desember 2007.

[4] Kafe atau café A café (also spelled cafe,) or coffee shop is an informal restaurant offering a range of hot meals and made-to-order sandwiches. This differs from a coffee house, which is a limited-menu establishment which focuses on coffee sales. Depending on the jurisdiction, a café may be licensed to serve alcohol. The term can also refer to bistro or a restaurant facility within a hotel. In some countries, however, a café is synonymous with a coffee house. (www.en.wikipedia.org)

[5] Diskotek atau a discothèque, is an entertainment venue or club with recorded music played by "Discaires" (Disc jockeys) through a PA system, rather than an on-stage band. The word derives from the French word discothèque (a type of nightclub). Discothèque is a portmanteau coined around 1941 from disc and bibliothèque (library) by La Discothèque, then located on the Rue de la Huchette in Paris, France (Jones + Kantonen, 1999). Previously, most bars and nightclubs used live bands as entertainment. (www.en.wikipedia.org)

[6] Klub Malam atau a nightclub (or "night club" or "club") is a drinking, dancing, and entertainment venue which does its primary business after dark. A nightclub is usually distinguished from bars, pubs or taverns, by the inclusion of a dance floor and a DJ booth, where a DJ plays recorded dance and pop music. Some nightclubs have other forms of entertainment, such as comedians, "go-go" dancers, a floor show or strippers (see strip club). The music in nightclubs is either live bands or, more commonly a mix of songs played by a DJ through a powerful PA system. Most clubs or club nights cater to certain music genres, such as house music, Hip-Hop, or salsa. . (www.en.wikipedia.org)

[7] Clubbing dapat diartikan sebagai kegiatan mengunjungi kafe-kafe, diskotek, klub malam untuk bersosialisasi atau sekedar mencari hiburan dengan menghabiskan waktu melepaskan kepenatan, rileks, sekaligus media bersosialisasi dengan rekan, sedangkan orang-orang yang senang clubbing disebt dengan clubbers.

[8] Christina S. Handayani, “Para Saksi Gaya Identitas Dugem”, dalam Penghibur(an): Masa Lalu dan Budaya Masa Kini Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 2005, 25.

[9] Edna C. Patissina, “DJ Riri, Dunia Lewat Tengah Malam”, dalam KOMPASCYBERMEDIA tanggal 11 Juni 2005, diunduh pada 3 Desember 2007.

[10] Rudy Gunawan, “Menyelami Dunia Gemerlap”, www.indonesianyouth.com, diunduh pada 5 Desember 2008.

[11] Sebutan lain untuk istilah distribution outlet, yaitu toko-toko yang menjual pakaian yang menjadi trend fashion anak muda.

[12] Adde Marup Wirasenjaya, “Kaum Insomnia Kota Bu(d)aya, Apa Kabar?”, dalam KOMPAS tanggal 4 Oktober 2006.

[13] Peter L. Berger, “Pluralisasi Dunia Kehidupan”, dalam Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988, 47-48.

[14] Dominic Strinati, Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, Bentang Pustaka, Yogyakarta, 1995, 272-273.

[15] Mike Feathersone, ”Budaya Konsumen Kekuatan Simbolis dan Universalisme”, dalam Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988, 53-57.

[16] Dominic Strinati, Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, Bentang Pustaka, Yogyakarta, 1995, 257-258.

[17] Sumbo Tinarbuka, “Pola Konsumtif Masyarakat Yogya”, www.sumbo.wordpress.com, diunduh pada 5 desember 2007.



[get this widget]

April 09, 2008

MEMBANGUN SOSOK PRESBITER

0 comments

 

A. Pokok Teologi

Allah yang mengasihi manusia masuk dalam sejarah manusia dengan tujuan keselamatan dan supaya manusia semakin memuji Allah. Siapa yang mengantarai? Kristus. Kristus Sang Pengantara hadir secara nyata di dalam dunia melalui Gereja. Gereja adalah sebagai penyambung kisah Allah. Imam hadir dalam Gereja, maka imam mengambil peran sebagai sosok presbiter yang tentunya dengan segala kecakapan dan profesionalitasnya menyambungkan kisah Allah dan manusia. Semuanya itu memiliki tujuan supaya keselamatan sampai kepada manusia dan manusia menaggapi keselamatan itu.

B. Allah Mengkisahkan Hidup-Nya dalam Sejarah Manusia melalui Kristus

Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya. Maka dengan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya, dan bergaul dengan mereka, untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka didalamnya (DV 2). Pertama-tama diawali oleh Allah yang hendak mengkisahkan Hidup-Nya kepada manusia. Oeh karena itu Allah berkenan memberikan Diri melalui perantaraan Anak-Nya yaitu Kristus. Allah memanggil manusia untuk berhimpun supaya manusia dengan penuh iman mengarahkan pandangan kepada Yesus, Pencipta keselamatan serta dasar kesatuan dan perdamaian. Ia membentuk mereka menjadi Gereja supaya bagi semua dan setiap orang menjadi sakramen kelihatan yang menandakan kesatuan yang menyelamatkan itu (PDV 34). Allah mengkisahkan Hidup-Nya supaya manusia selamat dan manusia menanggapi Kisah Allah supaya Kisah Allah menjadi terus kepada semua orang. Kristuslah yang mengantarai sambungan kisah Allah dengan manusia ini olehkaren aitu manusia menanggapi kisah Allah supaya semua orang semakin bersatu dalam Tubuh (PDV 35).

Sambungan kisah Allah dengan manusia melalui Kristus ini nampak dalam Gereja. Dalam gereja itu Allah berbagi hidup dengan manusia dalam sejarah dan manusia dalam berbagi hidup dengan Allah. Dalam Gereja pula seluruh umat melayani aneka hidup manusia dengan Injil, umat ditantang karena telah digerakkan oleh Allah untuk meneruskan kisah itu dan terlibat dalam kesaksian sehingga umat menjadi subyek Gereja bukan menjadi obyek Gereja.

C. Imam Sebagai Penyambung Kisah Allah

Namun Gereja itu dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia. Maka dari itu menganut ajaran Konsili-konsili sebelum ini, Gereja bermaksud menyatakan dengan lebih cermat kepada umatnya yang beriman dan kepada seluruh dunia, manakah hakekat dan perutusannya bagi semua orang (LG 1). Panggilan setiap imam senantiasan berada dalam Gereja dan demi Gereja; melalui Gereja panggilan itu dilaksanakan (PDV 35). Imam hanya berfungsi dalam konteks hidup Gereja. Dan hidup Gereja itu hanya mempunyai makna seumpama Gereja sungguh menjadi sakramen kehadiran Allah dalam sejarah manusia. Kehadiran Imam bukan karena dari pribadinya adalah orang suci namun terlebih kehadiran seorang imam dalam Gereja memiliki tugas untuk menjalankan apa yang menjadi tugas paguyuban, maka disinilah letak imam profesional. Dan tugas imam dalam konteks Gereja adalah berperan serta menyambungkan kisah Allah kepada manusia dan sebaliknya manusia kepada Allah. Imam bertanggung jawab terhadap Injil Suci supaya sampai kepada manusia dan bertanggung jawab terhadap paguyuban yaitu umat yang mengangkat dia. Guna menjalankan tugas tersebut kehidupan seorang imam perlu senantiasa berakar dalam pribadi Kristus, karena dalam Kristuslah dia turut mengambil bagian dalam tugas-Nya yaitu sebagai Imam, Nabi dan Raja.

D. Sebuah simpulan

Merenungkan mengenai sosok presbiter di tahun 2007 (dari berbagai pokok bahasan yang telah dipelajari selama ini) saya merasa dan meyakini bahwa kehadiran seorang imam adalah menjadi penyambung kisah Allah sehingga kisahNya sampai kepada manusia dan mengantarai manusia (melalui Gereja) supaya hidupnya juga dibagikan kepada Allah dan Kisah Allah tersebut digulirkan kepada semakin banyak orang.



[get this widget]

KEHENINGAN DITENGAH KERAMAIAN (Fenonema Praktek Meditasi dalam Masyarakat Modern)

0 comments

Apa salah satu bentuk budaya yang lagi trend saat ini?

Sudah enam bulan terakhir ini Dian Sastrowardoyo (24) bolak-balik menyatroni Shambala, toko itu. "Enggak nyangka di mal ada tempat seperti itu. Seperti menemukan kotak harta karun," kata Dian. Tjipto, pemilik Shambala, berkata, sejatinya toko itu menjual perlengkapan untuk keperluan ritual umat Buddha. Namun, seiring dengan semakin populernya yoga dan meditasi di antara kaum urban Jakarta, Shambala pun disatroni kalangan dari beragam keyakinan, selebriti, juga politisi. Mereka rupanya kini meminati beragam pernik yang berhubungan dengan meditasi. Shambala, yang menyempil di salah satu lantai di Pondok Indah Mall II itu, memang tampak berbeda dibandingkan dengan sekitarnya. Eksotis, mengundang siapa saja untuk menjenguk. Belakangan, kecenderungan orang terhadap masalah spiritualisme memang merebak. Hal-hal berbau spiritualisme itu kerap diistilahkan sebagai New Age. Di belahan dunia barat, segala sesuatu berbau New Age begitu laris manis dikonsumsi. Meski berakar ajaran Buddha dan Hindu, meditasi boleh dibilang salah satu produk yang diadopsi oleh fenomena New Age. Kaum urban Jakarta pun tak ketinggalan. Tengoklah, program yoga dan meditasi makin diminati[1].

Fenomena diatas mungkin hanya sebagian kecil dari realitas yang ada di kota besar seperti jakarta dan kota-kota lainnya berkaitan dengan munculnya praktek meditasi yang diusung menjadi salah satu komoditi dan konsumsi orang modern. Cerita diatas mungkin dapat mewakili dan dapat menjadi gambaran akan adanya budaya baru yang sudah menggejala dalam kehidupan masyarakat perkotaan.


Jaman Modern dan Trend Meditasi

Meditasi merupakan salah satu trend budaya kaum urban Jakarta akhir-akhir ini dan juga di kota lainnya. Tidaklah mengherankan lagi seumpama di sebuah mall dapat dijumpai salah satu gerai toko yang menjual berbagai macam peralatan dan perlengkapan untuk meditasi ataupun yoga. Sebenarnya perlengkapan ini merupakan perlengkapan ibadat bagi umat Budha namun telah mengalami pergeseran kegunaan dimana sekarang ini bukan lagi menjadi pusat perlengkapan ibadat umat Budha saja namun setiap orang yang menginginkan meditasi menyambangi toko tersebut. Toko semacam ini juga memberikan fasilitas sebuah kamar yang cukup luas untuk meditasi.

Kehidupan kota besar yang sibuk membuat banyak orang tidak memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dengan sesamanya secara mendalam. Akibatnya: sering muncul perasaaan sepi (loneliness) dan kadang berbuntut pada gangguan psikosomatis. Salah satu alternatif terapi yang banyak digandrungi masyarakat modern saat ini adalah meditasi. Meditasi merupakan praktik paling populer dalam berbagai terapi untuk kesehatan holistik. Bagi yang meyakininya, meditasi membantu mencapai keseimbangan energi dalam diri dan semesta. Situasi itu membuat orang berada pada kondisi di mana tak ada lagi persepsi atau judgement namun hanya ketenangan yang dirasakannya.

Hal senada juga dialami oleh seorang artis Oppie andaresta dan mungkin juga masyarakat urban lainnya. Ketika karier keartisannya menanjak, ia merasakan ada sesuatu yang hilang yang harus dicarinya. Batinnya terus mencari apa arti hidup, bagaimana hidup itu mesti dijalani. Kehausan rohani yang selalu muncul dan ingin disejukkan inilah yang membawa Oppie terus mengikuti aktivitas berbau spiritualitas ini. Jiwanya ingin tenteram, pikirannya menyatakan salah satu sarana efektif yaitu dengan meditasi. Meditasi diyakini merupakan salah satu teknik yang bisa membantu memberikan ketenangan jiwa dan pikiran.

Menurut Dr. Herry Priyono seorang pengajar di Pascasarjana STF Diyarkara menjelaskan bahwa kondisi hidup modern tidak bisa tidak telah membuat self atau diri terserak-serak oleh sistem-sistem di dalam kehidupan yang semuanya memiliki logikanya sendiri. Keterserakan dalam diri atau scattered self membuat konsentrasi terpecah. Ruh yang terserak tidak menghasilkan apa-apa. Padahal untuk melakukan sesuatu dengan kualitas, dengan achievement, dibutuhkan konsentrasi penuh. Kehidupan modern telah menggusur life world dalam kategori Habermas, yakni suatu ranah dari hidup yang tanpa transaksi, tanpa birokrasi, tanpa achievement, suatu aspek yang poetic di dalam kehidupan. Kolonisasi hidup oleh sistem ini membuat orang megap-megap, seperti terdampar di padang gurun. Ia mengamati kebutuhan untuk menyatukan self yang terserak ini bertumbuh dan kemudian menjadi gelombang kebutuhan yang melahirkan gelombang suplai yang besar dan kemudian melahirkan kebutuhan yang lebih besar melalui berbagai cara promosi[2].


Analisa kritis terhadap trend meditasi

Pada umumnya, meditasi dikenal dengan sebutan tapa atau samadi. Meditasi merupakan kegiatan renungan dengan sikap tubuh tertentu untuk membantu konsentrasi. Meditasi mencakup latihan, persiapan dan praktik. Dalam ulasan tentang meditasi pun, terdapat aneka pengertian, fungsi, tujuan, teknik, dan bimbingan. Sebagai pemula dalam bermeditasi, meditasi dirasakan sebagai sesuatu yang berat karena dituntut untuk diam dalam waktu yang lama dan dapat mengakibatkan sakit fisik. Akan tetapi, setelah sekian lama berlatih, meditasi telah menjadi suatu kebutuhan. Mengapa orang merasa butuh untuk bermeditasi? Dari pengalaman yang ada, selain menggunakannya sebagai sarana untuk berdoa, di mana kehidupan rohani semakin terbina, meditasi dibutuhkan karena dapat menjadi sumber kekuatan mental. Meditasi menjadi perlu karena di sinilah tercapai ketenangan batin.

Kenyataan bahwa gerakan-gerakan spiritual seperti meditasi menjadi lebih marak di tengah masyarakat urban, khususnya anak muda, tentunya hal ini merupakan gejala yang menggembirakan di satu sisi, tetapi juga menjadi bahan pertanyaan. Apakah ini hanya mode ataukah sebuah pencarian yang membawa kepada spiritual yang sejati? Terlepas dari masalah kegunaan meditasi sebagai sebuah cara olah rohani dimana manusia mengalami hubungan dirinya dengan Yang Transenden, fenomena maraknya meditasi ini telah mengalami pergeseran menjadi lahan komoditi bisnis spiritualitas.

Bahwa akhirnya terjadilah sebuah komodifikasi dari apa yang dinamakan sebagai "spiritualitas". Selama ini muncul kesan yang kontradiktif bahwa sesuatu yang tak ternilai harganya, seperti spiritualitas, akhirnya menjadi obyek pasar. Kontradiksi itu terjadi karena masyarakat kita kadangkala masih sering berpikir dengan teori lama. Perkembangan postmodernisme saat ini menunjukkan bahwa tukar-menukar tidak hanya berlaku dalam bidang barang dan jasa, tetapi juga dalam bidang nilai dan norma. Pengertian ekonomi di era postmodernisme menjadi jauh lebih luas. Ekonomi bukan hanya mengatur barang dan jasa, tetapi juga mengatur pertukaran nilai-nilai kebudayaan, keyakinan agama dan nilai moral, dalam pengertian mempertukarkan modal ekonomi dengan modal spiritual, modal simbolik, modal kebudayaan atau modal sosial[3].

Paling tidak masyarakat harus tahu jenis meditasi dan manfaatnya. Masyarakat Indonesia mungkin mengenal meditasi seperti ketika pertama mengenal makanan siap saji. Antusias sekali untuk icip sana, icip sini. Layaknya sebuah bisnis yang menguntungkan, tingginya kebutuhan akan hal-hal spiritual ini dipandang sebagai peluang. Hukum permintaan dan penawaran dalam ilmu ekonomi berlaku. Tingginya permintaan mendongkrak harga pengetahuan spiritualitas. Salah satu contohnya, bisnis spa yang juga mengedepankan prinsip tubuh, pikiran, dan spirit (body, mind dan spirit).

Akhirnya praktek meditasi lambat laun mengalami pergeseran makna dan fungsi karena menjadi komoditi bisnis orang-orang urban. Kehadiran akan Yang Transenden yangkerapkali dirasakan melalui meditasi direduksi menjadi pemujaan akan diri (self). Tetapi yang perlu diingat bahwa hal-hal spiritual tidak bisa dinilai secara nominal. Spiritualitas itu tidak punya nilai[4].


[1] Febriane, Sarie, “Kotak Harta Karun di Pojokan Mal”, Kompas Cyber Media, www.kompas.com, Selasa, 10 Maret 2007.

[2] -, “Kalau Bisa Melepas Kedua Sandal”, Kompas Cyber Media, www.kompas.com, Minggu, 20 Februari 2005.

[3] -, “Kalau Bisa Melepas Kedua Sandal”, Kompas Cyber Media, www.kompas.com, Minggu, 20 Februari 2005.

[4] Diyah Triarsari, “Tidak Yoga = Tidak Gaul”, Kompas Cyber Media, www.kompas.com, Selasa, 6 Juli 2004.



[get this widget]

April 08, 2008

MANUSIA SEBAGAI CITRA DAN REKAN SEKERJA ALLAH ( Pandangan Kristiani Tentang Manusia )

0 comments

 

A. PENGANTAR

Hampir setiap hari, dapat kita saksikan melalui media massa, aneka macam keprihatinan menyangkut persoalan-persoalan kemanusiaan. Masih hangat dalam ingatan kita beberapa waktu lalu, ratusan biksu tewas secara sangat menyedihkan saat memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia dalam demonstrasi damai menentang kekerasan dan militerisasi kekuasaan Junta di Myanmar[1]. Hampir menjadi berita langganan dalam media massa, penganiayaan para tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia di Malaysia, suatu gambaran tragedi kemanusiaan[2]. Fenomena bunuh diri merebak karena persoalan ekonomi yang semakin mencekik. Kasus-kasus aborsi tak kunjung menyusut[3]. Kekerasaan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk, semakin marak terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Alampun semakin tidak bersahabat dengan manusia, saat manusia ‘main kuasa’ terhadap alam serta ‘ngawur’ dalam pengembangan teknologi dan pembangunan. Kasus semburan lumpur Lapindo, banjir di Jakarta yang rutin terjadi setiap musim penghujan, menjadi bukti ketidakbijaksanaan manusia dalam memperlakukan alam di sekitarnya[4]. Persoalan paling parah dan menjadi keprihatinan dunia adalah Global Warming. Pemanasan Global bukan hanya masalah suhu udara yang semakin panas, namun sudah menjadi masalah kemanusiaan global. Human Development Report (HDR) 2007 Dana Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP) dalam presentasi di laporannya menyebutkan bahwa ‘pertempuran melawan perubahan iklim merupakan bagian dari perjuangan melawan kemanusiaan’[5]. Aneka macam keprihatinan ini menunjukkan adanya ‘tragedi kemanusiaan’ yang luar biasa, yakni persoalan-persoalan kemanusiaan menyangkut relasi manusia dirinya sendiri, dengan sesamanya, dengan alam semesta, dan dengan Allah Sang Pencipta yang telah menempatkan manusia secitra denganNya[6]. ‘Tragedi Kemanusiaan’ yang terwujud dalam aneka macam bentuk keprihatinan ini, mengajak kita sebagai umat manusia untuk berpikir dan berefleksi kembali mengenai siapakah manusia, khususnya dalam relasinya dengan diri sendiri, sesama, alam semesta dan Allah Sang Pencipta. Tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran mengenai jati diri manusia dari sudut pandang kristiani. Dengan pemahaman yang benar mengenai hakekat manusia, kita diharapkan semakin mampu menghayati kemanusiaan kita sebagai makhluk yang bermartabat dan sekaligus sebagai makhluk ciptaan istimewa yang dipanggil menjadi ‘wakil’ Allah di dunia ini. Untuk mempermudah kita dalam memahami tulisan ini, sistematika penulisan dibuat demikian. Bagian pertama merupakan penjelasan mengenai siapakah manusia menurut cara pandang kristiani. Pada bagian ini, ada lima pokok gagasan yang hendak diuraikan, yakni: (1) manusia sebagai mahkluk yang otonom sekaligus memiliki ketergantungan, (2) manusia sebagai kesatuan jiwa dan badan, (3) manusia sebagai makhluk rohani sekaligus jasmani, (4) manusia sebagai makhluk individual sekaligus sosial, serta (5) manusia makhluk yang hidup dan sekaligus mengalami kematian. Sedangkan, bagian kedua adalah catatan akhir yang berisi refleksi penulis (kelompok) mengenai jati diri manusia dalam kaitannya dengan aneka macam ‘tragedi kemanusiaan’ yang terjadi dalam kehidupan manusia dewasa ini.

B. PANDANGAN KRISTIANI TENTANG MANUSIA

Dalam pandangan kristiani, manusia dipahami sebagai citra Allah yang menjadi partner (rekan kerja) Allah. Kitab Kejadian menyebutkan bahwa manusia diciptakan secitra dengan Allah (Kej 1:26-27). Dengan alasan bahwa manusia berkuasa atas ciptaan lain, maka manusia menampakkan dan menampilkan citra Penciptanya. Sifat alami manusia tidak dapat berdiri sendiri namun hanya berarti dalam relasinya dengan Allah. Manusia ditempatkan dalam ciptaan yang secitra dengan Allah, sebagai citra Allah manusia menghadirkan Penciptanya di dunia[7].

Keunikan kodrat manusia, antara lain terletak pada akal budi yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan dan menentukan diri sendiri. Kemampuan ini tidak ditemukan dalam makhluk hidup yang lain, seperti hewan dan tumbuhan. Individualitas dan rasionalitas menjadikan manusia menjadi makhluk berpribadi. Dalam dimensi rohani diri manusia, rasionalitas adalah unsur hakiki yang menentukan manusia sebagai pribadi. Sebagai pribadi, keberadaan manusia terkait dengan dunia di luar dirinya, kepribadian seseorang (manusia) ditemukan dalam tubuh, budi, kemampuan berkeputusan dan menentukan diri sendiri.

Pribadi manusia tidak hanya menunjuk dimensi rohani manusia saja, tetapi juga berhubungan dengan keberadaan manusia secara menyeluruh. Pribadi menunjuk manusia sebagai roh yang berdaging. Tubuh dan jiwa manusia adalah suatu kesatuan. Sifat yang paling bermakna dari pribadi manusia adalah menjadi subyek, yaitu sumber interior keputusan bebas. Sebagai pribadi, manusia menjadi tuan atas semua tindakan dan perwujudan dirinya. Pribadi manusia berperan menata kembali dalam dirinya suatu pusat kegiatan manusia dengan menguasai diri dan seluruh kegiatan hidupnya. Sebagai subyek moral, manusia adalah subyek hal dan kewajiban sebab manusia adalah pemegang hak dan kewajiban. Sebagai pemegang hak, manusia mampu melakukan sesuatu bagi pribadinya atau bagi orang lain. Hak-hak yang terletak dalam pribadi manusia merupakan perpanjangan diri manusia. Hak-hak itu dipandang sebagai ruang yang menjamin otonomi manusia; hak-hak itu memungkinkan manusia untuk mengambil keputusan dan mengendalikan hidupnya[8].

Disamping makhluk berakal budi dan makhluk rohani, manusia adalah makhluk dinamis yang hidup, bertumbuh, dan berkembang dalam dinamika sejarah, menyejarah dan manusia adalah sejarah itu sendiri. Manusia yang berkeutamaan termasuk buah sejarah dan hidup menyejarah. Sejarah pribadi manusia ikut membentuk watak kepribadian. Dimensi sejarawi manusia merupakan bagian dari realitas objektif. Moralitas objektif dipandang sebagai kenyataan yang tak terlepas dari konteks sejarah. Kesejarahan manusia merentang di antara keberadaan manusia kini dan proses sedang menjadi. Dalam kesejarahan ini tercakup dimensi manusia yang sedang berkembang sehingga manusia selalu dalam keadaan menjadi. Inilah letak dinamika hidup manusia, senantiasa dinamis terutama akal budinya. Panggilan sejarah adalah panggilan Tuhan kepada manusia dan keberadaan manusia merupakan keberadaaan dari dan bagi Tuhan. Sejarah manusia ini menjadi tempat pembentukan dan pengembangan diri. Pengalaman manusia adalah jembatan masa lampau dengan keberadaan keadaan sekarang dan masa depan. Keberadaaan moral dan religius manusia selalu berada dalam konteks sejarah. Kesejarahan manusia ini mambantu manusia dalam mengambil keputusan dan bertindak secara moral. Unsur-unsur kesejarahan ini membantu manusia untuk memberikan penilaian secara lebih utuh dan menyeluruh. Berikut ini, secara lebih jelas dan sistematis akan diuraikan mengenai siapakah manusia, khususnya menyangkut hakekat manusia sebagai pribadi yang otonom dan sekaligus memiliki ketergantungan; kesatuan jiwa-badan, rohani-jasmani; makhluk individual sekaligus sosial; serta makhluk yang mengalami hidup dan sekaligus dapat mati.

B.1. Manusia: Otonomi-Ketergantungan

Gaudium et Spes 36 menyebutkan pengertian otonomi sebagai barang-barang yang diciptakan dan masyarakat yang mempunyai hukum-hukum dan nilai-nilai sendiri. Otonomi atau kedaulatan sebenarnya istilah politik. Istilah ini kemudian dipakai dalam arti yang lebih luas dan diterapkan pada segala bidang kehidupan dunia. Otonomi dunia dan otonomi manusia tidak bertentangan dengan kemahakuasaan Allah dan ketaatan mutlak terhadapNya. Pandangan tentang otonomi manusia menempatkan manusia tidak pada segala-galanya, dengan kata lain segala sesuatu tidak tergantung pada Allah dan bahwa manusia dapat saja menggunakannya dengan mengindahkan Pencipta. Antara ketergantungan pada Pencipta dan otonomi tidak ada pertentangan, sebab Allah menciptakan dunia dan nilai-nilai dunia yang sedikit harus dikenal, dimanfaatkan dan makin diatur oleh manusia. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang total dan radikal terbedakan dari Allah dan dengan demikian diberi hidup yang berdiri sendiri di dunia. Manusia ditempatkan oleh Tuhan di dunia ini agar mengatur dan mengembangkan dunia menurut pengertian dan tanggungjawabnya sendiri. Itulah otonomi manusia di dalam dunia yang otonom.

Bagi orang beriman, tidak ada alasan untuk melarikan diri dari dunia jika ingin berjumpa dengan Allah. Justru dalam jerih payah untuk mengenal, mengolah dan memelihara dunia demi kehidupan yang penuh, manusia secara nyata ikut berusaha bersama Allah Pencipta. Dalam kerjanya sehari-hari manusia hanya mengusahakan nilai-nilai terbatas. Juga nilai kedaulatan pribadi atau nilai kemerdekaan negara, nilai harga diri atau nilai kehormatan tidak boleh dimutlakkan seakan-akan untuk nilai terbatas seperti itu segala sesuatu boleh dikorbankan. Otonomi adalah anugerah dan sekaligus juga panggilan serta tugas pengutusan dari Allah. Dalam otonomi di hadapan Allah, moralitas manusia mengalami perkembangan sejati, dan pelaksanaan hidup serta pengaturan dunia menjadi tanggungan manusia dalam kesadaran dan kebebasan. Manusia tidak dapat tidak melaksanakan hidupnya dan mengatur dunia, maka manusia wajib melaksanakan hidupnya dan mengatur dunia sedapat mungkin. Itulah tanggung jawab manusia[9].

Pemahaman mengenai otonomi dan ketergantungan ini juga mau ditempatkan pada diri manusia dalam relasinya dengan sesamanya. Manusia adalah makhluk yang otonom. Manusia itu unik, khas, punya kebebasan untuk dirinya sendiri. Plato menyebutkan bahwa manusia bertanggungjawab pada dirinya sendiri. Individualitas lebih ditekankan, sebab menurutnya sosialitas manusia hanyalah gejala contingent (sementara) dan hakekat manusia adalah jiwa yang mencapai kesempurnaannya bila kembali pada asal atau sumbernya di dunia ideal. Descartes dalam konsepnya yang terkenal “cogito ergo sum” menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya adalah individu yang tertutup pada dirinya sendiri dan terisolir dari yang lain. Individu dapat mencapai kesadarannya sendiri. Kemudian Sartre menekankan eksistensi manusia bertolak dari kenyataan “ada untuk dirinya”. Namun demikian, disadari bahwa manusia hanya dapat mewujudkan dirinya sebagai manusia atau mengaktualisasikan dirinya dalam hubungan dengan sesama. Dimensi mengenai keberadaan manusia berada bersama dengan sesamanya ini hendak menunjuk dimensi sosial dan dimensi intersubyektif manusia. Manusia tidak muncul begitu saja di dunia, sebab pada hakikatnya ia memiliki ketergantungan dengan yang lain. Tidak mungkin manusia sendirian dalam mendidik diri, memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang pokok, merealisasikan cita-citanya dan sebagainya. Maka secara wajar manusia selalu ditemukan dalam kelompok, mula-mula kelompok kecil: keluarga, klan, suku, lambat laun dalam kelompok yang lebih besar: desa, kota, negara. Manusia hanya dapat menyempurnakan diri dalam kesatuan dengan yang lain dan ia bertanggungjawab terhadap yang lain. Pandangan ini misalnya sangat ditekankan oleh Gabriel Marcel. Marcel melihat bahwa ada keterbukaan dalam diri manusia, yakni hasratnya untuk berkomunikasi dengan yang lain. Kata yang sering digunakan “keberadaan bersama” (co-etre). Dalam hubungan dengan yang lain, terdapat kuasa diatas saya, yang mengatur, yang mengarahkan. Kuasa itu adalah cinta. Jauh sebelumnya, Aristoteles juga sudah menekankan bahwa manusia secara hakiki tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, mau tidak mau manusia harus hidup dalam kebersamaan dengan yang lain. Manusia pada hakekatnya selalu berada dalam otonomi dan korelasi (ketergantungan). Manusia adalah otonom karena pada hakekatnya manusia adalah unik, khas dan tak tergantikan oleh yang lain dan memiliki kebebasan untuk dirinya sendiri. Sekaligus manusia juga memiliki ketergantungan (korelasi) dengan yang lain. Manusia tidak serta merta ada begitu saja, melainkan ada karena yang lain. Manusia hidup berada di antara dan bersama dengan yang lain[10].

B.2. Manusia: Jiwa-Badan

Badan dapat dimengerti baik sebagai titik tolak dari pengalaman emosional, kehendak, dan budi maupun juga sebagai bagian dari dunia yang merupakan bidang utama bagi ekspresi pribadi manusia. Badan manusia merupakan keseluruhan kompleks dengan bagian-bagian yang masing-masing mempunyai tingkat kompleksitas dan tata susunan yang berbeda-beda. Badan juga berfungsi sebagai bidang ekspresi manusia. Sedangkan, jiwa manusia adalah kesatuan kompleks dari kegiatan-kegiatan mental, dari yang paling rendah ke yang bersifat intelekual. Namun masing-masing taraf kegiatan mental mempunyai tujuan atau cita-citanya sendiri. Cita-cita dari berbagai macam bagian manusia yang berlainan taraf itu dikoordinasikan dalam jenjang atau hirarki tertentu, sehingga cita-cita dari anggota yang lebih rendah merupakan spesifikasi dari dan sekaligus penopang bagi cita-cita dari bagian yang lebih tinggi. Dengan demikian, ada pembagian tugas yang rapi sehingga cita-cita bagian tertinggi meresapi seluruh bagian-bagain lain yang lebih rendah sehingga terjadi suatu kesatuan yang sinkron di dalam pembentukan diri manusia sebagai satu subjek pengalaman yang utuh. Karena bagian yang tertinggi mengatur bagian-bagian lain, cita-cita bersama dari seluruh organisme manusia ditentukan oleh bagian tertinggi. Maka seluruh kegiatan manusia diatur oleh suatu cita-cita atau keinginan tertentu. Dengan demikian badan manusia secara keseluruhan merupakan bidang ekspresi manusia yang ditentukan oleh jiwanya. Misalnya, kemarahan menimbulkan reaksi badani yang mungkin diekspresikan di dalam bahasa atau warna wajah, atau tindak kekerasan.

Pembedaaan antara badan dan jiwa bukanlah pembedaan yang menyebabkan mereka dapat dipisahkan satu dari yang lain. Manusia hanyalah satu. Kalau dipandang dari segi ekspresi maka aspek badan manusialah yang dijadikan pusat perhatian. Sedangkan kalau dilihat kesatuan kepribadian yang merupakan keutuhan yang tak terbagi-bagi maka aspek jiwa yang dijadikan pusat perhatian. Badan tidak bisa dipisahkan dari jiwanya[11]. Jiwa meliputi segala sesuatu yang khas manusiawi. Manusia memiliki hati dan budi. Semua yang bersangkutan degan hati atau budi termasuk bidang jiwa. Karena itu, bidang jiwa tersebut mencakup segala sesuatu yang menjamin atau mengusahakan kebebasan manusia, pendidikan, kebudayaan, hidup bersama baik dalam keluarga maupun masyarakat umum, struktur-struktur sosial politik, tata hukum, tata susila serta budi pekerti: juga pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa semua itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia.

Dalam semua hal yang disebut di atas, manusia mewujudkan dirinya dalam kebersamaan dengan sesamanya. Ia dituntut bertanggungjawab dan tanggungjawab itu meliputi pemikiran dan perencanaan, perhatian dan pengawasan, inisiatif pribadi dan usaha bersama, keterbukaan bagi perjumpaan dengan yang lain, keberanian mengambil resiko, kerelaan menghargai hak-hak sesama manusia dan semangat berkorban untuk kesejahteraan bersama. Jelas, hal-hal ini penuh dengan tantangan dan tuntutan bagi hati nurani manusia, perjuangan dan ketegangan, tetapi juga kepuasan dan kedamaian hati. Manusia terus-menerus berkonfrontasi dengan misteri hatinya sendiri dan dituntut supaya berani menggali tahap-tahap kehidupan yang paling dalam. Tetapi justru berhadapan dengan misteri hatinya, manusia menyadari bahwa seluruh hidupnya melampaui yang manusiawi dengan tak terhingga. Berhadapan dengan misteri hatinya, manusia mulai menyentuh dimensi kehidupan yang lebih dalam lagi, dan yang tidak terjangkau oleh usaha dan kegiatan manusia sendiri. Manusia mulai menyadari dimensi kehidupan yang lebih unggul atau transenden, yang mengatasi tata kehidupan yang dapat dialami langsung. Manusia mulai menyentuh bidang roh[12].

B.3. Manusia: Rohani-Jasmani

Manusia adalah makhluk rohani. Selain menyangkut hidup spiritual (agama), rohani juga berhubungan dengan daya-daya psikis manusia alamiah yang berakar dalam jiwa manusia sebagai makhluk yang bertransendensi. Sebagai makhluk yang bertransendensi, manusia mampu keluar dari diri sendiri dan mampu menangkap hal-hal dunia sebagai realitas di luar batinnya. Hal ini terjadi berkat intensionalitas yang merupakan sifat khas kesadaran manusia. Manusia disebut sebagai makhluk yang bertransendensi karena ia mampu menjangkau yang transendental[13]. Dengan pengertian transendentalnya, manusia mampu melampaui lingkungan hidupnya. Manusia sadar bahwa segala lingkungan hidupnya terbatas, dan bahwa semuanya yang ada merupakan bahan kesadaran. Oleh karena manusia adalah makhluk rohani, ia mampu mengembangkan suatu dunia ideal dan transendental, yang membedakannya dari makhluk hidup yang lain. Selain cerminan dunia real, yakni dunia sebagai kenyataan-situasi hidup, dunia ideal menjadi landasan bagi suatu pengertian yang lebih tinggi, yakni tentang suatu dunia dengan nilai-nilai ideal. Nilai-nilai yang menjadi bagian dunia ideal manusia mendapat perwujudannya dari dua sumber. Sumber pertama adalah cara manusia mengerti dunia, yakni secara universal dan transendental. Apa yang dialami manusia sebagai kenyataan atau peristiwa konkret di dunia ini, dimengerti olehnya sebagai universal dan transendental. Misalnya, kasihan dimengerti sebagai suatu sikap hati yang dapat merangkum segala yang ada. Sumber yang kedua, perwujudan nilai-nilai ialah hati nurani manusia. Dalam menangkap kenyataan atau peristiwa tertentu, manusia sadar bahwa apa yang ditangkap itu bukan hanya bertalian dengan kesadaran, melainkan juga dengan hidup, yakni dengan cara mengaturnya. Kebaikan dimengerti sebagai suatu yang memberikan arah kepada hidup dan menjadi tujuan hidup. Hal ini berarti bahwa kebaikan ditangkap manusia sebagai nilai. Nilai dianggap bersifat normatif bagi perkembangan hidup manusia, bagi hubungannya dengan barang, orang lain, dan dengan Tuhan.

Sebagai makhluk rohani, manusia tidak hanya memiliki kemampuan kesadaran transendental tentang dunia sebagai realitas di luar kesadaran, melainkan juga kesadaran transendental tentang nilai-nilai yang melebihi eksistensi individual manusia, yakni transendensi manusia ke arah Allah. Transendensi manusia ke arah Allah bukan pertama-tama merupakan suatu transendensi dalam wujud manusia sendiri, melainkan transendensi yang ada hubungannya dengan apa yang dituju. Apa yang dituju adalah sesuatu yang sama sekali melebihi wujud manusia, yakni Allah[14]. Inilah yang membedakan manusia dengan ciptaan lain, yakni sebagai ciptaan Allah, manusia diberi anugerah kemampuan untuk mengadakan hubungan balik dengan Allah. Hubungan ini terjadi di dalam hati manusia karena di dalam diri manusia yang terdalam itu Allah hadir (GS 16). Ia menerangi seluruh keberadaan manusia. Kehadiran dan penerangan inilah yang membuat manusia ada dan beraktivitas. Sejak penciptaannya, manusia dimungkinkan untuk mengimani Allah sebagai pencipta karena ia telah berpartisipasi pada inteligensia Allah dan bahwa sejak awal pula manusia berada di dalam rahmat Allah sendiri yang memungkinkan ia mengambil bagian dalam kehidupan ilahi Allah sendiri[15]. Dalam pengertian inilah, manusia juga disebut sebagai makhluk yang religius. Dalam dirinya sendiri tertanam suatu kesadaran bahwa di luar dirinya ada sesuatu yang ‘lebih’ dari dirinya; ada yang menciptakan. Pencipta dalam pandangan iman kristiani adalah Allah sendiri. Ia menciptakan manusia menurut gambaranNya (Kej 1:27). Pada hal inilah tergantung seluruh martabat manusia. Manusia menjadi ‘wakil’ Tuhan di dunia ini dan karena itu ia ‘menguasai’ alam raya. Ia menghadirkan Allah sendiri di dalam karya penciptaan (Kej 1:28). Manusia dari dirinya sendiri mampu mengenal segala sesuatu karena adanya ‘cap’ Allah yang melekat padanya. Dengan demikian, penciptaan manusia berarti suatu tindakan Allah untuk ‘menanam saham’ pada manusia yang dikonkretkan di dalam usaha manusia mengelola dan mengembangkan alam semesta karya cipta Allah. Penanaman saham ini oleh Bernhard Haring disebut sebagai pelimpahan tanggungjawab karena menurutnya manusia menjadi semakin serupa dengan gambaran Allah jika ia mampu ‘bertanggungjawab’ mengatur segalanya di hadapan Allah[16]. Penjelasan ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai relasi khusus dengan Allah karena manusia berasal dari Allah dan diarahkan untuk hidup di dalam dan kembali kepada Allah[17].

Hidup rohani (religius) ini khas bagi manusia, akan tetapi juga berhubungan dengan hidup jasmani manusia. Hidup rohani dan perkembangannya mempengaruhi hidup jasmani dan perkembangannya. Sebaliknya, hidup jasmani dan perkembangannya berpengaruh terhadap hidup rohani manusia. Hidup jasmani menyangkut kebertubuhan manusia. Karena kebertubuhannya, manusia juga disebut sebagai makhluk badani (homo somaticus). Beberapa tokoh biologi modern seperti Gehlen, Portman, Luckmann, memberi penjelasan mengenai sifat tubuh manusia yang khas dan istimewa bila dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain. Pertama, tubuh manusia amat kompleks, baik dari unsur-unsur konstitutif (pembentuknya), seperti: sistem saraf, peredaran darah, dll, maupun penempatan dan hubungan antara unsur-unsur itu. Semuanya ini memperlihatkan keistimewaan manusia. Kedua, tubuh manusia mengalami “strukturasi”. Sementara binatang lahir sudah dengan tubuh yang sempurna (jadi), manusia lahir masih dalam fase “strukturasi” (berproses membentuk sampai mampu berdikari). Ketiga, tubuh manusia tidak terspesialisasi. Manusia selama hidupnya terus berproses mengembangkan (mengaktualkan) berbagai macam kemampuan (potensi). Keempat, tubuh manusia bisa beradaptasi (adaptable). Justru karena tubuh manusia tidak terspesialisasi, manusia lebih mampu berkembang-menyesuaikan diri dengan lingkungan daripada binatang. Manusia lebih terbuka terhadap banyak kemungkinan terkait dengan lingkungan di sekitarnya. Kelima, tubuh manusia berdiri tegak (vertikal). Posisi vertikal merupakan kekhasan manusia. Posisi tegak manusia ini juga mempunyai aspek simbolis, mengarah pada yang di atas, kebangkitan, keselamatan, keterbukaan, transendensi, dll.

Dimensi tubuh selalu hadir dalam sepak terjang manusia; tak ada satu pun kegiatan manusia yang tidak memerlukan komponen tubuh. Struktur ketubuhan manusia melayani berbagai macam fungsi yang dibutuhkan dalam kegiatan manusia. Tubuh manusia dapat dimengerti dalam hubungannya dengan dunia (luar) dan partisipasinya dengan jiwa atau keakuan. Dengan tubuhnya, “aku” menyatakan diri, mengungkapkan diri dan berhubungan dengan dunia luar. Ada beberapa fungsi tubuh yang menunjukkan hakekat manusia secara khas. Pertama, salah satu fungsi pokok ketubuhan adalah ‘menduniakan’ manusia, membuat manusia pengada di dunia. Tubuh menempatkan manusia dalam situasi spatio temporal (ruang dan waktu). Berkat tubuhnya, manusia membuat hal-hal lain di sekitarnya menjadi lingkungannya. Kedua, tubuh manusia juga memerankan fungsi sosial. Berkat tubuhnya, manusia hadir di hadapan orang lain, menjadi makhluk sosial. Ketiga, tubuh juga mempunyai fungsi epistemologis. Dengan tubuhnya, manusia mampu untuk mengetahui, memahami, memeriksa, serta menganalisa alam sekitar dan objek-objek lain. Hal ini secara konkret terjadi lewat penggunaan alat-alat indera tubuh. Keempat, tubuh juga berfungsi ekonomis (kepemilikan dan penguasaan). Dengan tubuhnya, manusia ‘memiliki’ dunia. Dengan kata lain, semua yang disebut ‘milikku’ terjadi karena secara sempit atau luas mengadakan kontak dengan tubuhku. Barang-barang (milik) yang dikuasai manusia menjadi semacam perluasan (ekstension) dari tubuhnya, khususnya alat-alat (cangkul, kaca mata, dll). Kelima, tubuh mempunyai fungsi asketis (perohanian). Aristoteles dan Thomas Aquinas berpendapat bahwa tubuh merupakan bagian konstitutif dari manusia yang utuh, dalam rangka keunggulan dan kesempurnaannya atau kegagalan dan kejatuhannya. Kerena tubuh begitu erat dengan kebiasaan-kebiasaan yang bisa menjadi ukuran keutamaan maupun kejelekan manusia, peranan tubuh dalam membina keutamaan dan untuk menghancurkan keburukan sangat kentara. Kebiasaan yang membawa manusia pada nafsu-nafsu, seperti nafsu makan, seks, dan kesenangan-kesenangan fisik lainnya dapat dikendalikan lewat pengendalian tubuh.

Kebertubuhan merupakan komponen yang hakiki dari keberadaan manusia. Seluruh tindakan manusia mewujud dalam tindakan ragawi, tidak ada tindakan jiwani (rohani) semata. Dengan demikian, kebertubuhan merupakan bagian integral dari manusia. Namun demikian, manusia lebih dari sekedar tubuhnya. Ada sesuatu yang membuatnya melampaui batas-batas yang ditentukan oleh tubuhnya. Manusia mampu mengatasi batas-batas kebertubuhannya. Dan juga, yang menentukan hekekat manusia bukanlah semata-mata tubuhnya, sebab dengan kehilangan banyak bagian dari tubuhnya, manusia tidak berkurang martabatnya. Kendati cacat, kakinya putus, dll, dia tetap disebut sebagai manusia. Dengan demikian tubuh (jasmani) manusia merupakan suatu sistem yang kompleks, tetapi menjadi bagian dari kesatuan substansial yang tak terpisahkan dari jiwa (rohani) nya. Badan manusia boleh dikata merupakan bagian luar dari keakuan saya, yang menjadi peralatan natural, untuk mengungkapkan keakuan saya (eksteriorisasi), menyesuaikan diri dengan dunia saya (adaptasi), mendapatkan nafkahnya untuk kelangsungan identitas saya (integritas). Tubuh (jasmani), menghadirkan pribadi manusia yang terus-menerus berkembang. Maka, tidak mengherankan apabila iman kristiani mengajarkan kebangkitan badan karena begitu erat hubungannya dengan kerohanian manusia[18].

Dari uraian ini, kiranya jelas bahwa manusia merupakan kesatuan dari jasmani dan rohani. Jasmani dan rohani merupakan dua hal yang berbeda namun merupakan satu kesatuan yang membentuk pribadi manusia. Hal ini diibaratkan dengan istilah ‘kata’ dan ‘artinya’. Jasmani dan rohani hanyalah dua aspek dari manusia yang sama. Manusia berada di dalam satu kesatuan yang total. Begitu juga dalam setiap tindakannya, tindakan manusia bersifat jasmani dan rohani yang menggambarkan satu kesatuan yang total dari manusia yang sama.

B.4. Manusia: Individu-Sosial

Manusia adalah seorang pribadi yang utuh. Ia adalah sebuah realitas yang personal. Unsur-unsur pembentuk saling berintegrasi dan tidak menimbulkan chaos pada dirinya. Unsur-unsur itu bersatu dan berhubungan satu dengan yang lain untuk membentuk suatu struktur tertentu dan suatu fungsi tertentu. Keberadaan manusia yang intelektual, sensitif, afektif, dan biologis menyandang gelar yang disebut “Persona”. “Persona” menunjukkan bahwa manusia adalah seorang individu yang tidak ada duanya. Ia unik sebagai makhluk hidup. Ia berbeda dari yang lain. Struktur dan fungsinya yang tertutup untuk dirinya sendiri, membuat manusia itu menemukan dan memperkembangkan dirinya sendiri. Di sisi lain, individualitas inilah yang mengatur seluruh struktur dan fungsi dirinya. Ia menjadi manusia yang bebas menentukan dirinya sendiri. Sebagai pribadi ‘persona’, manusia mampu untuk merefleksikan dirinya sendiri[19]. Ia mempunyai kemampuan yang memungkinkan ia mampu melihat dirinya sendiri. Ia juga sekaligus mampu melihat kedalaman dirinya dan mendengarkan ‘suara’ di dalam dirinya sendiri. Inilah yang membuat manusia sebagai pribadi yang sulit ‘diukur’ dan sebagai pribadi yang dapat ‘lari’ dari segala bentuk penguasaan.

Dengan bahasa yang lain, Guardini menyebutkan bahwa manusia adalah pribadi yang utuh dan integral, spiritual dan kreatif… selalu dan dimana saja ia berada, ia menjadi dirinya sendiri dan tahu menempatkan dirinya sendiri. Ia menjadi makhluk yang sangat natural (dalam arti benar-benar sempurna); ia menjadi dirinya sendiri (saya menjadi semakin saya); dan tidak pernah menjadi orang lain. Namun pada saat yang sama, ia dapat mengkomunikasikan dirinya kepada yang lain. Manusia terbuka kepada dunia luar di luar dirinya. Gaudium et Spes melihat keterbukaan terhadap sesama ini sebagai unsur hakiki yang ada di dalam diri setiap orang. “Rukun hidup mereka merupakan bentuk pertama persekutuan antar pribadi. Sebab dari kodratnya yang terdalam manusia bersifat sosial; dan tanpa berhubungan dengan sesama ia tidak dapat hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannya” (GS 22). Keberadaannya menjadi nampak karena keterbukaannya terhadap yang lain. Ia adalah individu karena kebersamaannya dengan orang lain. Sebaliknya di dalam kebersamaannya dengan orang lain, ia menjadi seorang pribadi yang individual. Maka, manusia adalah makhluk individual sekaligus makhluk sosial.

Aristoteles menyebut manusia sebagai makhluk sosial (animale politico). Manusia hidup bersama dengan orang lain dalam polis (kota-publik). Polis adalah simbol dari kebersamaan yang menuntut partisipasi dari setiap anggotanya. Sebagai individu, manusia dalam kebersamaannya dengan yang lain, mengembangkan diri dan menjalankan segala kegiatan organisasi secara bersama. Para skolastik mendukung pendapat Aristoteles. Menurut St. Thomas Aquinas, kebersaman hidup adalah syarat mutlak bagi sebuah komunitas manusia karena di dalamnya orang menunjukkan identitas dirinya yang otonom, memahami dirinya justru dalam kebersamaan dengan yang lain. Semua tingkah laku manusia, seperti: melihat, mendengar, menyentuh, dsb, dilakukan dengan melibatkan sesama dan mengarah kepada sesama. Kehidupan bersama merupakan ciri utama dari seorang manusia yang terbuka terhadap sesama. Kehidupan itu merupakan jaringan-jaringan relasi yang terjadi di mana orang hidup saling berdampingan.

Manusia membutuhkan manusia yang lain. Hubungan mereka adalah hubungan yang intersubyektif. “Saya” membentuk diri saya sebagai “saya” karena adanya “engkau”. Demikian pula, “engkau” menjadi engkau karena adanya “saya”. Saya dan engkau menjadi “kita” untuk bertemu dan berkomunikasi dengan “kamu”. Dunia saya bukan hanya “umwelt” (dunia sekitar) saja, melainkan juga “mit Welt” (dunia bersama) atau “mitsein” (ada bersama). Gaudium et Spes artikel 25 menegaskan kembali pendapat St. Thomas mengenai kebersamaan hidup sebagai nilai mutlak dari seorang manusia. “Dari sifat sosial manusia nampaklah bahwa pertumbuhan pribadi manusia dan perkembangan masyarakat sendiri saling tergantung. Sebab asas, subyek dan tujuan semua lembaga sosial ialah dan memang seharusnyalah pribadi manusia; berdasarkan kodratnya ia sungguh-sungguh memerlukan hidup kemasyarakatan. Maka karena bagi manusia hidup kemasyarakatan itu bukanlah suatu tambahan melulu, oleh karena itu melalui pergaulan dengan sesama, dengan saling berjasa, melalui dialog dengan sesama saudara, manusia berkembang dalam segala bakat-pembawaannya dan mampu menanggapi panggilannya”.

Sebagai individu dan sekaligus sosial, manusia mempunyai beberapa unsur dasariah sebagaimana yang dikemukakan oleh Marciano Vidal[20]. Manurut Vidal, manusia adalah makhluk yang: (1) inafferrabilita, uncatchable, incomprehensible. Manusia adalah pribadi yang melampaui segala macam obyektivitas terhadap dirinya. Ia adalah sebuah realitas yang tidak bisa digambarkan secara obyektif karena ia mempunyai kemungkinan-kemungkinan “surprise”; (2) Infinitezza (Infinity). Manusia adalah realitas yang kreatif. Ia dapat menciptakan sesuatu. Manusia tidak ‘mati’ karena ia dapat melahirkan karya-karya penciptaannya; (3) Inaccesibilita (Inaccessible). Manusia adalah pribadi yang tidak dapat dimasuki atau dicapai secara sempurna. Ia adalah ens absconditum, dapat ‘melarikan dirinya‘ sehingga sulit dicapai; (4) Innumerabilita (innumerable). Manusia adalah makhluk yang mempunyai nama dan dapat diberi nama. Setiap orang mempunyai nama yang menjadi identitas dirinya. Masyarakat bukanlah kumpulan jumlah tertentu dari orang-orang melainkan suatu kebersamaan dari individu-individu yang masing-masing otonom namun saling berinteraksi; (5) Non suscettibilita di quantificazione (Non susceptibilities of quantity). Sebagai pribadi, tidak ada seorang manusiapun ‘yang lebih’ atau ‘yang kurang’ dari yang lain. Ia memberikan dirinya dari kedalamannya kepada yang lain apa adanya dan menyelami kedalaman orang lain di dalam dirinya; (6) Non esteriorita (Non outwardness). Manusia adalah makhluk yang dalam dirinya sendiri mempunyai hubungan dengan orang lain. Dalam hubungannya itu, ia memberikan dirinya berdasarkan kedalaman hatinya. Ia tidak memberi diri hanya bagian luarnya saja. Ia memberi diri dalam keintiman dengan yang lain; (7) Non probabilita (Non probability). Eksistensi manusia sebagai seorang persona, tidak dapat diterka dengan mudah. Kita hanya dapat melihat dirinya tanpa bisa melihat kedalaman pribadinya; (8) Non indifferenza (Non indifference). Seorang manusia tidak pernah boleh dipandang sebelah mata atau diacuhkan begitu saja. Dia adalah makhluk hidup yang harus mendapat penghargaan dan perhatian dari sesamanya.

B.5. Manusia: Hidup-Mati

Manusia adalah makhluk hidup (Homo Vivens). Sebagai makhluk hidup, manusia memiliki ciri khas yang mirip dengan makhluk hidup lainnya (tumbuhan dan binatang), yakni adanya otonomi dari dalam, gerakan dari dalam (motus ab intrinseco), sehingga kehidupannya dapat dipertahankan terus, tanpa memerlukan intervensi dari luar. Makhluk hidup mempunyai kegiatan imanen yang otonom. Berbeda dengan mesin yang memerlukan intervensi dari luar dirinya, makhluk hidup melakukan kegiatan secara intrinsik dari dalam dirinya sendiri. Sebagaimana makhluk hidup lainnya, manusia mengalami empat kegiatan yang menjadi ciri khas dari makhluk hidup: (1) Asimilasi: makhluk hidup mempunyai kemampuan untuk berkembang dan mengembangkan diri dengan cara mengambil unsur dari luar dan mengolahnya, kemudian dijadikan bagian dirinya (makan dan mencerna); (2) memperbaiki dan memulihkan luka-lukanya; (3) mereproduksi/ melipatgandakan diri untuk melanjutkan keturunan; (4) beradaptasi dan readaptasi terus menerus dengan sesuatu di luar dirinya. Lalu apa yang membedakan manusia dengan makhluk hidup yang lainnya?

Makhluk hidup adalah sesuatu yang secara esensial berkecenderungan mempertahankan dan mengembangkan dirinya. Selain mempunyai kecenderungan bergerak untuk melangsungkan hidupnya, membela dirinya serta melanjutkan keturunan, makhluk hidup juga berkecenderungan untuk menyempurnakan dirinya sendiri (otoperfektif). Kecenderungan untuk menyempurnakan diri (otoperfektif) paling nampak dalam hidup manusia. Dalam kegiatannya, manusia tidak hanya mempertahankan hidupnya secara biologis, atau sekedar memperkembangkan keturunannya, melainkan juga mengangkat dan memperluas perspektifnya. Maka dalam hidup manusia ada cita-cita, aspirasi, dan masa depan. Ada kemajuan-kemajuan dan peningkatan hidup. Pendekatan ilmiah (kimia, biologi, psikologi) masih terasa sempit untuk bisa menilai kenyataan manusia. Manusia lebih dari sekedar organisme yang hidup dan merasakan. Dari pengalaman hidup manusia, dapat ditimba fenomena mengenai cinta, penderitaan, perjuangan, harapan dan lain sebagainya, yang tidak bisa diterangkan secara biologis-psikologis semata.

Secara umum bisa dikatakan bahwa setiap organisme mempunyai jiwa yang menjadi prinsip integritas atau pemersatu dan koordinasi seluruh kegiatannya. Filsafat membedakan ”jiwa” menurut ciri dari masing-masing tataran. Masing-masing jiwa dalam ketiga level hidup ini, bertindak secara berlainan, menurut konstitusinya masing-masing. Pertama, jiwa vegeter bertindak dengan kualitas raganya. Artinya kegiatan jiwa vegeter, praktis identik dengan kegiatan fisiknya. Kedua, jiwa sensitif bertindak mengatasi kualitas raganya, tetapi masih terikat oleh kegiatan atau proses fisik-kimiawi dari raganya. Artinya, kegiatannya masih dipengaruhi oleh apa-apa yang terjadi pada raga, tetapi ada gejala lain, yang muncul di luar kualitas ragawinya. Ketiga, jiwa rohani bertindak mengatasi dan tidak terikat pada kenyataan jasmani (ragawi) dan perasaan-perasaan. Artinya, jiwa ini bisa bertindak di luar dorongan proses-proses fisik kimiawi mau pun instinktualnya. Kegiatan jiwa rohani bersifat mandiri dan bebas dari kegiatan fisik-kimiawi maupun perasaan instinktualnya, seperti tampak pada hasil-hasilnya, yang berupa pemikiran, rancangan, argumentasi, cita-cita yang bersifat menetap. Sebagai makhluk berjiwa rohani, hidup manusia mencakup dan mengintegrasikan level-level di bawahnya. Hidup manusia dengan prinsip kesatuan rohaninya mencakup juga kegiatan jiwa sensitif dan jiwa vegeter[21].

Untuk dapat menjalankan kehidupan yang menyempurnakan diri, selain melakukan kegiatan intrinsik atau imanen, manusia juga melakukan kegiatan transitif. Kegiatan imanen merupakan kegiatan yang efeknya berlaku dalam diri makhluk itu, untuk mempertahankan dirinya, melawan ancaman dari luar, menyesuaikan diri dengan luar dan untuk mengembangkan diri dan melestarikan keturunannya. Sedangkan kegiatan transitif adalah kegiatan merubah benda-benda atau hal-hal di luar dirinya, yang menghasilkan hal-hal baru, yang berguna dan mendukung tujuan kelangsungan hidupnya, dan pada akhirnya juga untuk penyempurnaan diri manusia juga.

Untuk melangsungkan kegiatan-kegiatannya, makhluk hidup sebagai organisme harus dimengerti sebagai satu kesatuan yang utuh (individu). Kesatuan ini disebut kesatuan substansial yang memampukan makhluk hidup mempertahankan identitas dirinya dalam perubahan-perubahan yang dialaminya karena pengaruh lingkungan selama ia masih hidup. Kesatuan dan keutuhan ini tampak jelas dalam diri manusia, khususnya karena peran jiwa rohaninya. Ia tidak berkurang kualitasnya sebagai manusia, kendati fisiknya ditimpa kehancuran. Martabatnya masih tetap, berkat keutuhan rohaninya. Kesatuan substansial pada manusia ini juga mempunyai ciri kesadaran yang memampukan dia hadir pada dirinya. Pada manusia, kesadaran ini begitu kuatnya sehingga memunculkan subyektivitas, yang bisa mengatakan “aku” sebagai pelaku yang bertanggungjawab (“mengaku”). Dengan kata lain, kesatuan substansial adalah kesatuan kompleks dari suatu kualitas badan dan jiwa. Kesatuan ini bukan sekedar gumpalan materi dengan bagian-bagiannya. Meskipun bagian-bagian itu bergerak dan mengadakan aktivitas, namun tak pernah bisa dilepaskan dari keseluruhan proyek yang satu, utuh, dan terstruktur.

Hidup adalah syarat sine qua non (syarat mutlak) untuk mewujudkan dan mengembangkan seluruh potensi, aspirasi, dan mimpi-mimpi seorang manusia. Hidup adalah syarat dasar untuk memperkembangkan diri menjadi individu dan pribadi sehingga menjadi dewasa. Oleh karena itu, hak untuk hidup adalah hak pertama dari semua hak asasi manusia. Maka penghormatan terhadap hak hidup adalah kondisi dasar supaya manusia bisa berfungsi dengan semestinya. Masing-masing hidup manusia mempunyai nilai yang tak terhingga, lepas dari penampilannya secara eksternal, sehingga hidup manusia harus dihargai dan dipandang sebagai yang terpenting dari antara yang lainnya. Inilah nilai intrinsik manusia. Manusia bernilai (bermartarbat) bukan karena diberi nilai oleh orang lain atau sebuah instansi, tetapi manusia itu bermartabat kerena dia adalah manusia[22]. Nilai intrinsik yang menyatu dengan diri manusia yang hidup itu adalah unik dalam arti tiada duanya. Keunikan dan kekhususan manusia ini menjadi dasar mengapa setiap manusia harus melindungi hidup manusia yang lainnya.

Di samping hak yang paling dasar dan menjadikan manusia bernilai intrinsik (martabat), hidup manusia adalah suci karena berasal/ dianugerahkan oleh Allah. Nilai kesucian hidup manusia ini mengandung implikasi dalam banyak hal. Oleh karena yang menciptakan hidup manusia adalah Allah, maka yang mempunyai hidup manusia adalah Allah sendiri. Manusia bukanlah pemilik absolut kehidupannya, ia hanyalah sekedar penjaga dan administrator yang mengatur dan menjaga hidupnya. Maka manusia tidak berhak untuk mengambil hidup orang lain (membunuh) ataupun mengambil hidupnya sendiri (bunuh diri). Semua macam pembunuhan kapan pun juga, atau di dalam tahap perkembangan manusia mana pun juga, entah dalam awal atau akhir kehidupannya adalah pelanggaran berat terhadap kesucian hidup manusia. Namun demikian, hidup manusia yang suci itu tidak selamanya selalu dipandang sebagai yang absolut, yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam kondisi tertentu, hidup duniawi manusia bisa dikurbankan[23]. Yohanes Paulus II menegaskan mengenai hal ini dalam Evangelium Vitae,”Tentu saja, hidup badaniah manusia di dunia ini bukanlah kebaikan yang absolut bagi orang beriman, khususnya bila keadaan menuntut umat beriman untuk menyerahkan nyawanya demi kebaikan yang lebih besar dan lebih mulia” ( EV. 47)

Manusia sebagai makhluk yang hidup, pasti akan mengalami peristiwa yang namanya kematian. Kematian merupakan kenyataan yang pasti dan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Meskipun kematian bersifat imanen dan natural bagi manusia, tidak berarti bahwa kematian merupakan gejala yang bisa difahami dan diterangkan dengan gamblang. Kapankah manusia dapat dikatakan mati? Cukup lama diandaikan bahwa saat kematian dapat ditetapkan dengan mudah. Ketika semua tanda kehidupan tidak ada lagi, terutama ketika jantung berhenti berdenyut dan pernafasan tidak ada lagi, orang yang bersangkutan dinyatakan mati. Kedokteran modern telah mengembangkan cara-cara yang lebih baik untuk menentukan saat kematian, antara lain dengan merekam kegiatan otak dengan alat yang disebut ‘electroencephalogram’ (EEG). Kematian biologis adalah saat di mana sekurang-kurangnya otak sudah kehilangan fungsinya secara permanen dan tidak dapat dihidupkan kembali (batang otaknya sudah tidak lagi berfungsi). Kematian bilogis bersifat definitif: kehilangan fungsi-fungsi vital dan rusaknya semua organ dan jaringan yang tidak dapat direparasi lagi. Elisabeth Kubler-Ross, M.d., dalam bukunya yang berjudul On Death and Dying (1970), menguraikan tahap-tahap (proses) kematian manusia. Tahap pertama: menyangkal dan menyendiri. Reaksi pertama dari mereka yang menyadari bahwa penyakitnya akan membawa kematian adalah shock (keterkejutan) yang memunculkan mekanisme penolakan. Tahap kedua: marah. Jika tahap pertama yang berupa penyangkalan tidak dapat dipertahankan lagi, biasanya diganti dengan perasaan marah dan berontak. Tahap ketiga: tawar menawar. Reaksi berikutnya setelah penyangkalan dan marah adalah menawar untuk memperoleh atau menghindari sesuatu (kematian). Tawar menawar ini dilakukan dengan Tuhan, bersedia melakukan sesuatu sebagai ganti kesembuhan yang diharapkan. Tahap keempat: depresi. Tahap depresi ini penuh dengan rasa kesedihan, terpukul, tak berdaya. Manusia yang berada di ambang kematian membutuhkan kesempatan untuk mengungkapkan dan mengolah depresi ini. Tahap kelima: penerimaan (menyerah dan pasrah). Setelah melampau empat tahap itu, akhirnya manusia yang berada di ambang kematian mampu menerima keadaannya, “Aku sudah tidak bisa melawan lagi”. Sikap menyerah dan pasrah ini kerapkali disertai dengan harapan akan kebahagiaan dalam kehidupan abadi setelah kehidupan di dunia ini[24]. Kendati secara biologis dan psikologis, proses dan saat-saat kematian dapat diuraikan secara cukup jelas. Namun demikian, masih banyak pertanyaan yang muncul menyangkut kematian manusia ini. Bagaimana hubungan jiwa dan badan yang membentuk struktur manusia ketika manusia mengalami kematian? Apakah kematian berarti putusnya hubungan secara definitif antara jiwa dan badan? Apakah jiwa manusia bersifat kekal? Adakah kehidupan ‘baru’ setelah kematian?

Kematian masih tetap bersifat misterius yang sarat dengan berbagai muatan, sehingga menimbulkan macam-macam sikap dan interpretasi. Bagi manusia, kematian tetaplah merupakan pengalaman yang nyata meskipun tidak langsung dialami secara personal. Sartre menggambarkan kematian sebagai tragedi bagi manusia. Manusia tidak tahu kapan saatnya tiba, dan tidak bisa memperhitungkan dalam suasana bagaimana ia akan menjumpainya. Rasanya, kematian selalu mengintai di setiap sudut kehidupan, siap menerkam di saat lengah dan tidak menduganya. Namun, benarkah kematian begitu hitam, sehingga manusia tidak bisa berbuat apa pun kecuali menerimanya dengan hati hancur dan semangat patah? Heidegger membantu untuk mencari makna yang positif mengenai kematian. Memang benar bahwa kematian datang secara tiba-tiba dan tidak terduga, tetapi manusia harus sadar sejak semula bahwa memang demikianlah kenyataan manusia dan memang begitulah kematian. Manusia harus mampu dengan hati yang lebih terbuka dan ringan menghadapi peristiwa yang tidak dapat dihindari ini. Heidegger cukup realistis, memandang kehidupan sebagai persiapan dari saat ke saat menuju kematian yang datangnya mendadak. Namun, tidak realistis kalau beranggapan bahwa manusia selalu bisa mempersiapkan diri secara matang dan penuh perhitungan menghadapi kematian[25]. Berhadapan dengan kematian, setidaknya ada dua sikap/ pandangan yang muncul dalam diri manusia. Pertama, rasa takut yang muncul dari dalam diri manusia saat menghadapi kematian yang mau tidak mau pasti akan dialaminya, namun masih misteri akan waktu dan bagaimana terjadinya. Kedua, pengharapan dari dalam diri manusia saat menghadapi kematian karena keyakinan (iman) bahwa kematian bukanlah akhir dari segala-galanya, melainkan ada kehidupan baru (kehidupan abadi) yang dinantikan dan dirindukan setelah kematian[26].

Jaspers menekankan “iman filosofis”, yaitu kesediaan merangkul misteri, yang didasarkan pada keyakinannya bahwa eksistensi manusia berasal dari yang lain, sehingga di dalam kematian pun manusia bisa mengandalkan kepada yang lain yang bersifat transenden ini. Jika Tuhan tidak pernah masuk di dalam perhitungannya untuk membuat keputusan di dalam kehidupan sehari-hari, kehadiran Tuhan di saat kematiannya juga akan merupakan kesulitan untuk dirasakan. Kalau barang-barang duniawi dan kehidupan nikmat merupakan hal yang paling utama selama hidup ini, maka pada saat kematian pun ia juga lebih merasakan kehilangan besar-besaran dan hidupnya terasa berakhir di dalam absurditas mutlak. Jika manusia memiliki keyakinan bahwa Allah merangkum di dalam diriNya semua yang pernah ada, dengan pengandaian bahwa setiap peristiwa tidak bisa lepas dari pengamatan Allah, maka kematian pribadipun juga tidak pernah lepas dari hadiratNya.

Kematian memang menunjukkan kenyataan akan keterbatasan hidup manusia. Hidup manusia mempunyai awal dan akhir. Segala sesuatu yang manusia lakukan bersifat terbatas dan fana, namun bukan berarti tanpa arti. Dalam hidup manusia di dunia ini, hidup rahmat yang abadi sudah dimulai. Kematian merupakan penyelesaian ‘pengembaraan’ manusia (Ibr 11:13; 1Ptr 1:1; 2:11). Namun demikian, bagi umat beriman kristiani, kematian bukanlah akhir dari pribadi manusia. Umat beriman kristiani percaya bahwa jika manusia ‘mati dalam Kristus’ (Tes 4:16), ia ikut dibangkitkan bersama Kristus. “Tidak ada seorangpun datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6). Yesus sudah “meninggalkan dunia dan pergi kepada Bapa” (Yoh 16:28). Ia berjanji bahwa “akan datang kembali dan membawa kamu ke tempatKu, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada (Yoh 14:3). Sebagaimana Kristus bangkit dari maut, begitu juga kitapun sesudah kehidupan di dunia ini berakhir, kita akan menerima kebahagiaan dari Allah (kebangkitan). Kebangkitan adalah rahmat, anugerah dari Allah. Dengan kematian, dialami suatu perubahan dalam hubungan antara jiwa dan badan, dan perubahan itulah yang disebut kebangkitan, sebab dalam hidup sekarang jiwa ditentukan oleh badan (khususnya dalam perbatasan ruang dan waktu). Dalam kebangkitan, hal ini dibalik: badan ditentukan oleh jiwa yang dipenuhi oleh Roh. Dengan kebangkitan, diciptakan waktu dan tempat yang baru: “surga yang baru dan dunia yang baru” (Why 21:2). Maksudnya, dunia materiil ini diangkat seluruhnya ke dalam dunia Roh. Materi tidak lagi berarti hidup sementara dan fana. Dalam kebangkitan, tubuh mencapai kebakaan, menjadi penampakan kesatuan dengan Allah[27].

C. CATATAN AKHIR (REFLEKSI) KELOMPOK

Pertanyaan ‘siapakah manusia’ kiranya relevan untuk direfleksikan di tengah merebaknya persoalan-persoalan kemanusiaan dewasa ini. Kemajuan teknologi dan kepentingan pembangunan (ekonomi), kerap kali menempatkan manusia pada nilai yang jauh lebih rendah daripada profit (keuntungan materiil). Tak jarang, manusia hanya dipandang sebagai alat produksi semata. Nafsu terhadap milik membuat orang lupa[28]. Lupa diri inilah yang dapat menjadi awal tindak kekerasan, baik dalam rumah tangga maupun dalam kehidupan bersama di tengah masyarakat. Keinginan harta benda dapat mendorong orang untuk merampok, bahkan membunuh korban. Seorang anak tega membunuh bapaknya sendiri karena keinginannya untuk memperoleh sepeda motor tidak terpenuhi. Tidak hanya manusia yang menjadi korban kekerasan, tetapi juga bumi langit dengan segala isinya. Rusaknya lingkungan hidup yang mengancam kelangsungan hidup manusia zaman sekarang dan generasi mendatang, merupakan akibat tindakan manusia yang rakus, ingin mengusai seluruh bumi. Maka tidak mengherankan, jika sekarang manusia tidak lagi menjadi homo socius bagi yang lain, melainkan menjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain) [29].

Persoalan-persoalan kemanusiaan dewasa ini menantang kita umat manusia untuk kembali menata ruang tata-nilai moral yang didasarkan pada martabat pribadi manusia, sebagai makhluk ciptaan yang secitra dengan Allah. Memahami ‘siapakah manusia’, kiranya tidak cukup hanya dengan pendekatan biologis, psikologis, maupun filosofis. Manusia adalah pribadi yang kompleks yang terbuka untuk dipahami dari berbagai sudut pandang. Dari penjelasan mengenai antropologi kristiani di atas, ada tiga hal yang kiranya perlu ditegaskan kembali di sini sebagai catatan akhir (kesimpulan). Pertama, Manusia merupakan kesatuan total. Manusia terformat dari dua realitas: badan-jiwa, materi-roh, jasmani-rohani. Gereja dalam Gaudium et Spes artikel 12-14, merefleksikan (memahami) dua realitas ini dalam satu kesatuan yang erat. Badan dipahami sebagai materi yang memberi forma dan bentuk kepada jiwa dalam kebersamaan untuk membentuk kesatuan manusia. Jiwa dipahami sebagai daya, intensi atau gaya yang mewujud di dalam materi. Badan-jiwa, jasmani-rohani, materi-roh, hanyalah dua aspek dari manusia yang sama. Manusia berada di dalam satu kesatuan yang total. Demikian juga, di dalam setiap tindakannya, tindakan manusia merupakan tindakan bersama dari badan-jiwa, jasmani-rohani, materi-roh. Sebagai kesatuan total antara jasmani dan rohani, badan dan jiwa, diharapkan manusia semakin mampu memandang dan memahami dirinya dan sesamanya (manusia yang lain) sebagai pribadi bermartabat yang patut dihormati dan dihargai (GS. 27).

Kedua, Manusia adalah pribadi yang utuh. Istilah pribadi mengungkapkan keseluruhan-keutuhan manusia karena merangkum ada-nya (kenyataan otologis: rasional-emosional, individual-sosial, material-spiritual, unik-universal) dan meng-ada-nya (kenyataan fenomenologis: historis-dinamis). Pribadi menunjukkan manusia sebagai kesatuan dari berbagai dimensi yang secara dinamis hidup dan memaknai hidupnya dalam kebersamaan dengan sesama dan alam semesta di jagat raya ini. Pribadi (persona) menunjukkan bahwa manusia adalah pribadi yang utuh. Unsur-unsur pembentuknya saling berintegrasi membentuk suatu struktur dan suatu fungsi tertentu. Sebagai pribadi, manusia adalah seorang individu tiada duanya-unik sebagai makhluk hidup dan sekaligus juga berarti ‘personeita’, yakni seorang pribadi yang mampu untuk merefleksikan dirinya sendiri. Ia mampu melihat kedalaman dirinya dan mendengarkan ‘suara’ di dalam dirinya sendiri. Pribadi menyatukan dimensi individual-sosial dalam dinamika rasional-emosional. Manusia ada di dalam diri, untuk diri dan untuk serta bersama yang lain. Dari kodratnya yang terdalam, manusia bersifat sosial, dan tanpa berhubungan dengan sesamanya, ia tidak dapat hidup/ mengembangkan bakat dan seluruh potensi yang ada dalam dirinya. Pribadi manusia semakin kaya dan bermakna karena ditopang oleh dimensi emosional-afektif (tarikan oleh obyek yang mendorong seorang pribadi untuk bertindak sesuai tujuan). Sebagai pribadi yang utuh, manusia dituntut bijaksana dalam bertindak karena mau tidak mau tindakannya tidak hanya berdampak bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi sesama dan alam semesta di sekitarnya. Tindakannya menyangkut relasinya dengan diri sendiri, sesama, dan lingkungan di sekitarnya (GS. 31).

Ketiga, Manusia adalah makhluk religius. Sebagai makhluk ciptaan Allah, manusia mempuanyai kemampuan untuk masuk di dalam relasi dengan Allah. Hubungan (relasi) manusia dengan Allah ini terjadi di dalam hati manusia karena di dalam diri manusia yang terdalam itu, Allah hadir (GS 16). Ia menerangi seluruh keberadaan manusia. Sebagai makhluk religius, manusia menyadari bahwa di luar dirinya ada sesuatu yang lebih dari dirinya; ada yang menciptakannya, yakni Allah sendiri. Allah menciptakan manusia menurut gambaranNya (Kej 1:27). Pada hal inilah tergantung seluruh martabat manusia. Manusia menjadi ‘wakil’ Allah di dunia ini – dilibatkan dalam karya penciptaan. Di dalam Kristus, manusia diciptakan kembali. Ia menjadi manusia baru yang dibebaskan dari dosa. Karena Kristus, manusia boleh hidup kembali bersama dengan Allah. Relasi dengan Kristus ini menumbuhkan iman, harapan, dan kasih yang menjadi kekuatan hidup setiap orang kristiani. Manusia dianugerahkan martabat ilahi berkat penebusan Kristus. Manusia boleh berdialog dengan Allah dan menyapa Allah sebagai ‘Bapa’, gambaran relasi intim Allah dengan manusia. Bagi iman kristiani, manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu menjawab panggilan Allah dengan seluruh jiwa-raga, dengan seluruh tenaga dan kemauan sebagaimana yang dibuat oleh Kristus (2Kor 1:20). ‘Manusia: makhluk religius’ ini sebenarnya mau menunjukkan bahwa manusia mempunyai relasi khusus dengan Allah: manusia berasal dari Allah, diarahkan untuk hidup di dalam Allah melalui dan di dalam Kristus dan kembali kepada Allah karena Kristus. Sebagai mahkluk religius, diharapkan manusia mampu menyadari dirinya sebagai ‘wakil’ Allah yang seharusnya dapat menghadirkan Allah sendiri di dalam karya penciptaan. Manusia seharusnya mampu ambil bagian dalam mewujudkan Kerajaan Allah yang berarti bersahabat dengan Allah, mengangkat mertabat pribadi manusia, serta melestarikan keutuhan ciptaan (GS. 39).

DAFTAR PUSTAKA

Dokumen-dokumen:

Dokumentasi dan Penerangan KWI,

1993 Dokumen Konsili Vatikan II (Terj. R. Hardawiryana, SJ), Obor, Jakarta.

Dewan Karya Pastoral KAS 2006,

2006 Nota Pastoral tentang ARDAS Keuskupan Agung Semarang 2006-2010.

Konferensi Waligereja Indonesia (KWI),

1996 Iman Katolik, Obor, Jakarta.

Buku-buku Pendukung:

Bockle, Franz,

1967 Fundamental Concepts of Moral Theology, Paulist Press, New York USA.

Chang, William, OFM Cap.,

2001 Pengantar Teologi Moral, Kanisius, Yogyakarta.

Curran, Charles E.,

1982 Moral Theology, University of Notre Dame Press, Notre Dame, Indiana.

Driyarkara, N., SJ,

1969 Filsafat Manusia, Kanisius, Yogyakarta.

Garrett, Thomas M., SJ,

1968 Problems and Perspectives in Ethics, Sheed and Ward, New York USA.

Hardono Hadi, P.,

1996 Jatidiri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead, Kanisius, Yogyakarta.

Haring, Bernard,

Free and Faithfull in Christ Vol II, St. Paul Publications.

Hill, Brennan R.,

1998 Christian Faith and the Environment, Orbis Books, Maryknoll, New York USA.

Huijbers , Theo.,

1986 Manusia Merenungkan Makna Hidupnya, Kanisius, Yogyakarta.

Kusmaryanto, CB., SCJ,

2005 Tolak Aborsi, Kanisius, Yogyakarta.

Leahy, Louis,

2001 Siapakah Manusia?, Kanisius, Yogyakarta.

Diktat dan Artikel (Majalah/ Surat Kabar):

Mali, Matheus, CSsR,

2005 Teologi Moral (Diktat Kuliah), Fak. Teologi USD, Yogyakarta.

2007 Teologi Moral Dasar Menuju Milenium Ketiga Kajian atas Manual-manual Moral (Diktat Kuliah), Fak. Teologi USD, Yogyakarta.

Sudiarja, A., SJ,

2003 Filsafat Manusia (Dikta Kuliah), Fak. Teologi USD, Yogyakarta.

Hartiningsih, Maria,

2007 “Perjuangan Kemanusiaan di Dunia yang Terbelah”, dalam KOMPAS (30 November 2007).

Ninok Laksono,

2007 “Pasang, Banjir, dan Pemanasan Global”, dalam KOMPAS (28 November 2007).

---------------------,

2007 “Sembilan Tewas dalam Protes di Myanmar”, dalam KOMPAS (28 September 2007).

---------------------,

2007 “Tinggi, Angka Aborsi di Indonesia”, dalam KOMPAS (28 November 2007).

---------------------,

2007 “Ceriyati Tak Ingin Lagi menjadi Pembantu”, dalam KOMPAS (24 Juni 2007).


[1] -, “Sembilan Tewas dalam Protes di Myanmar”, dalam KOMPAS tanggal 28 September 2007.

[2] -, “Ceriyati Tak Ingin Lagi menjadi Pembantu”, dalam KOMPAS tanggal 24 Juni 2007.

[3] -, “Tinggi, Angka Aborsi di Indonesia”, dalam KOMPAS tanggal 28 November 2007.

[4] Ninok Laksono, “Pasang, Banjir, dan Pemanasan Global”, dalam KOMPAS tanggal 28 November 2007.

[5] Maria Hartiningsih, “Perjuangan Kemanusiaan di Dunia yang Terbelah”, dalam KOMPAS tanggal 30 November 2007.

[6] Brennan R. Hill, Christian Faith and the Environment, Orbis Books, Maryknoll, New York USA 1998, 9-15.

[7] Franz Bockle, Fundamental Concepts of Moral Theology, Paulist Press, New York 1967, 11-12.

[8] Dr. William Chang, OFM Cap., Pengantar Teologi Moral, Kanisius, Yogyakarta 2001, 47-48.

[9] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Obor, Jakarta 1996, 13-14.

[10] Thomas M. Garrett, SJ, Problems and Perspectives in Ethics, Sheed and Ward, New York USA 1968, 29-31.

[11] P. Hardono Hadi, Jatidiri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead, Kanisius, Yogyakarta 1996, 93-96.

[12] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, 9-10.

[13] Dr. Theo Huijbers, Manusia Merenungkan Makna Hidupnya, Kanisius, Yogyakarta 1986, 65.

[14] Dr. Theo Huijbers, 67-68.

[15] Charles E. Curran, Moral Theology, University of Notre Dame Press, Notre Dame, Indiana 1982.

[16] Bernard Haring, Free and Faithfull in Christ Vol II, St. Paul Publications, 401-404.

[17] Dr. Matheus Mali, CSsR, “Manusia: Makhluk Religius” sub bagian dari Teologi Moral (Diktat Kuliah), Fak. Teologi USD, Yogyakarta 2005, 53-55.

[18] Prof. Dr. N. Driyarkara, SJ, Filsafat Manusia, Kanisius, Yogyakarta 1969, 8-43; Dr. A. Sudiarja, SJ, “Manusia Sebagai Makhluk Badani”, bagian dari Filsafat Manusia (Diktat Kuliah), Fak. Teologi USD, Yogyakarta 2003, 15-21

[19] Persona juga berarti “personeita”: kemampuan merefleksikan dirinya sendiri, istilah yang dikemukakan oleh

Zubiri.

[20] Marciano Vidal seorang Redemptoris kelahiran san Pedro de Trones, Spagnol pada tahun 1937. Menghadapi realitas masyarakat di sekitarnya pada waktu itu, Vidal berjuang untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan iman. Vidal terkenal sebagai teolog moral progresif. Pada tahun 2001 mendapat nota “notification” dari Vatikan karena tulisan dan pendapat-pendapatnya yang dianggap kontroversial (misalnya: soal otonomi (kebebasan) manusia, kontrasepsi, homoseksual, dll)

[21] Louis Leahy, Siapakah Manusia?, Kanisius, Yogyakarta 2001, 61-91.

[22] Evangelium Vitae merumuskan ajaran Katolik mengenai martarbat hidup manusia sebagai berikut, “Manusia diberi martabat yang sangat luhur, berdasarkan ikatan mesra yang mempersatukannya dengan Sang Pencipta: dalam diri manusia terpancarlah gambar Allah sendiri (EV. 34). Lebih lanjut Evangelium Vitae mengatakan, “Martabat hidup manusia ini dikaitkan bukan hanya dengan asal-usulnya saja yang berasal dari Allah, tetapi juga dengan tujuan akhir hidupnya, yakni persatuan dengan Allah dalam pengetahuan dan kasih denganNya (EV. 38).

[23] Dr. CB. Kusmaryanto, SCJ, Tolak Aborsi, Kanisius, Yogyakarta 2005, 77-83.

[24] Dr. P. Hardono Hadi, Jatidiri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead, 167-173.

[25] Dr. P. Hardono Hadi, Jatidiri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead, 173-183.

[26] Dr. Theo Huijbers, Manusia Merenungkan Makna Hidupnya, Kanisius, Yogyakarta 1986, 48-59.

[27] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, 462-466.

[28] Pernyataan ini diambil dari istilah orang Jawa yang mengatakan ‘melik nggendhong lali’ (nafsu terhadap milik membuat orang lupa).

[29] Dewan Karya Pastoral KAS 2006, Nota Pastoral tentang Arah Dasar Umat Allah KAS 2006-2010: “Baruilah Seluruh Muka Bumi”, DKP KAS, Muntilan 2006, 20-21; 25-26.



[get this widget]