April 10, 2008

DARI PURAWISATA MENUJU CAESAR CAFÉ Multikulturalisme Dunia Hiburan di Yogyakarta

Yogyakarta Terancam Bahaya Budaya?

Daerah Istimewa Yogyakarta. Mendengar kota ini tentunya kita akan dibawa dalam bayangan sebuah kota yang indah, sejuk, nyaman, khas dan segudang predikat lain lagi yang melekat didalamnya. Memang, kota Yogyakarta dikenal sebagai kota pendidikan, kota budaya, kota tradisi, kota sejarah dll. Pembangunan-pembangunan di berbagai sektor kehidupan seperti ekonomi, sosial budaya dan lain-lain senantiasa diusahakan demi semakin berkembangnya kota. Berbagai upaya dilakukan untuk mengembangkan budaya kota Yogyakarta yang notabene menjadi salah satu daerah tujuan wisata maka dicanangkan pula slogan Jogja Never Ending Asia.

Tak ubahnya sebuah usaha peningkatan tetaplah akan menimbulkan dan membawa konsekuensi tertentu. Dalam KOMPAS Yogyakarta pernah memberitakan sebuah diskusi bertajuk "Masa Depan Yogyakarta sebagai Kota Budaya" yang diadakan pada hari Senin 21 Mei 2007 di Karta Pustaka Yogyakarta. Diskusi ini digelar oleh Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies, bekerja sama dengan Kompas, Karta Pustaka, Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada, Kemitraan-Partnership, dan Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma. Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Bakdi Soemanto, memaparkan bahwa persoalan budaya di Yogyakarta sudah mencapai pada tingkat bahaya. Datangnya kebudayaan dari luar negeri dan berbagai teknologi modern yang merusak telah mengancam nilai-nilai kemanusiaan Yogyakarta. Masyarakat dilihat tidak begitu peka lagi terhadap gejala makin lunturnya budaya. Bakdi Soemanto menuturkan sebutan Yogyakarta sebagai "kota budaya" memang pas. Hal ini didasarkan bahwa di Yogyakarta terdapat dua layers atau lembaran besar, yaitu kebudayaan lama yang berakar pada tradisi, keraton, dan rakyat, serta kebudayaan baru yang lebih berbau "barat". Kedua semangat budaya tersebut bertemu, berdialog, berkolaborasi, bahkan bersinergi. Namun, sekarang semakin deras diserbu budaya luar yang berwujud kekuasaan modal, seperti maraknya pendirian mal dan hotel. Karena itu, semangat kapitalistik menjadi semakin menguat. Sekali lagi ditandaskan oleh Bakdi Soemanto bahwa hal ini semua merusak suasana budaya Yogyakarta[1].

Tulisan ini hendak mengulas tentang dialog budaya antara budaya lokal yang menjadi tradisi Yogyakarta dan budaya-budaya yang dianggap “baru” oleh masyarakat Yogyakarta yang semakin hari semakin menjamur di seantero wilayah Yogyakarta. Secara khusus tulisan ini hendak membahas tentang fenomena munculnya kafe, diskotek atau klub malam. Budaya ini tentunya bukan budaya lokal, bukanlah budaya asli Yogyakarta namun keberadaan kafe, diskotek, atau klub malam semakin hari semakin menjamur seiring juga dengan semakin banyaknya mal yang ada di Yogyakarta. Suatu budaya tentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat, apalagi keberadaan klub-klub malam ini semakin hari semakin banyak diminati oleh masyarakat secara khusus kaum muda. Sebenarnya apa yang membuat kehadiran klub malam ini mendapat banyak respon dari masyarakat Yogyakarta dan apa pengaruhnya terhadap budaya lokal dan terhadap kehidupan masyarakat secara khusus kaum muda di Yogyakarta. Ada dua pengandaian yang bisa menjadi hipotesis sementara dari tulisan ini yaitu: pertama, kehadiran kafe-kafe, klub malam, diskotek di Yogyakarta telah mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup kaum muda Yogyakarta. Kedua, Kota Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya yang sangat memegang tradisi tetapi di sisi lain ternyata turut berperan dalam memfasilitasi tumbuhnya budaya-budaya yang diusung dari dunia Barat. Apakah memang benar demikian yang terjadi di Yogyakarta? Apakah ini menjadi tanda atau kriteria bahwa memang sudah sedemikian luntur penghargaan masyarakat Yogyakarta terhadap budaya sendiri?


Yogyakarta sebagai Kota yang Istimewa

Yogyakarta dalam Perspektif sejarah

Menurut sejarahnya, antara tahun 1568 - 1586 di pulau Jawa bagian tengah, berdiri Kerajaan Pajang yang diperintah oleh Sultan Hadiwijaya, di mana semasa mudanya beliau terkenal dengan nama Jaka Tingkir. Dalam pertikaian dengan Adipati dari Jipang yang bernama Arya Penangsang, beliau berhasil muncul sebagai pemenang atas bantuan dari beberapa orang panglima perangnya, antara lain Ki Ageng Pemanahan dan putera kandungnya yang bernama Bagus Sutawijaya, seorang Hangabehi yang bertempat tinggal di sebelah utara pasar dan oleh karenanya beliau mendapat sebutan: Ngabehi Loring Pasar. Sebagai balas jasa kepada Ki Ageng Pemanahan dan puteranya itu, Sultan Pajang kemudian memberikan anugerah sebidang daerah yang disebut Bumi Mentaok, yang masih berupa hutan belantara, dan kemudian dibangun mejadi sebuah “tanah perdikan”. Sesurut Kerajaan Pajang, Bagus Sutawijaya yang juga menjadi putra angkat Sultan Pajang, kemudian mendirikan Kerajaan Mataram di atas Bumi Mentaok dan mengangkat diri sebagai Raja dengan gelar Panembahan Senopati. Salah seorang putera beliau dari pekawinannya dengan Retno Dumilah, putri Adipati Madiun, memerintah Kerajaan Mataram sebagai Raja ketiga, dan bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo, Beliau adalah seorang patriot sejati dan terkenal dengan perjuangan beliau merebut kota Batavia, yang sekarang disebut Jakarta, dari kekuasaan VOC, suatu organisasi dagang Belanda. Waktu terus berjalan dan peristiwa silih berganti. Pada permulaan abad ke-18, Kerajaan Mataram diperintah oleh Sri Sunan Paku Buwono ke II. Setelah beliau mangkat, terjadilah pertikaian keluarga, antara salah seorang putra beliau dengan salah seorang adik beliau, yang merupakan pula hasil hasutan dari penjajah Belanda yang berkuasa saat itu. Petikaian itu dapat diselesaikan dengan baik melalui Perjanjian Giyanti, yang terjadi pada tahun 1755, yang isi pokoknya adalah Palihan Nagari, artinya pembagian Kerajaan menjadi dua, yakni Kerajaan Surakarta Hadiningrat dibawah pemerintah putera Sunan Paku Buwono ke-III, dan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dibawah pemerintahan adik kandung Sri Sunan Paku Buwono ke-II yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat ini kemudian lazim disebut sebagai. Pada tahun 1813, Sri Sultan Hamengku Buwono I, menyerahkan sebagian dari wilayah Kerajaannya yang terletak di sebelah Barat sungai Progo, kepada salah seorang puteranya yang bernama Pangeran Notokusumo untuk memerintah di daerah itu secara bebas, dengan kedaulatan yang penuh. Pangeran Notokusumo selanjutnya bergelar sebagai Sri Paku Alam I, sedang daerah kekuasaan beliau disebut Adikarto. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, beliau menyatakan sepenuhnya berdiri di belakang Negara Republik Indonesia, sebagai bagian dari negara persatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya bersatatus Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain sebagai daerah istimewa, Yogyakarta juga mempunyai predikat lain seperti Kota Pendidikan, Kota Budaya, Daerah Tujuan Wisata Utama, Pusat Pelayanan Perdagangan dan Transportasi Regional serta sebagai Pusat Pengembangan Industri Kecil[2].

Yogyakarta: Kota Pendidikan

Sebutan sebagai Kota Pendidikan sangat berkaitan dengan proses sejarah. Pada tahun 1946 - 1949 Yogyakarta berkedudukan sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia, sehingga aktivitas kenegaraan terkonsentrasi di sini. Hal ini memacu para remaja dari seluruh penjuru nusantara untuk berpartisipasi bagi kemajuan negara yang baru merdeka. Atas dasar kebutuhan yang makin mendesak, maka pemerintah medirikan Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai universitas negeri pertama yang lahir pada jaman kemerdekaan. Kemudian diikuti pula dengan berdirinya Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) dan Akademi Musik Indonesia (AMI) (sekarang keduanya digabung menjadi Institut Seni Indonesia Yogyakarta) serta Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (sekarang IAIN Sunan Kalijaga). Seperti layaknya sebuah ibukota, Jogja memikat kedatangan para kaum remaja dari seluruh penjuru tanah air yang ingin berpartisipasi dalam mengisi pembangunan negara yang baru saja merdeka. Pada waktu itu bediri lembaga-lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta sehingga hampir tidak ada cabang ilmu pengetahuan yang tidak diajarkan di kota ini. Hal ini menjadikan kota Yogya tumbuh menjadi kota pelajar dan pusat pendidikan. Dulu, sarana mobilitas paling populer di kalangan pelajar, mahasiswa, karyawan, pegawai, pedagang dan masyarakat umum adalah sepeda sehingga Yogya juga pernah dikenal sebagai kota sepeda yang kini sudah digantikan menjadi sepeda motor.

Dengan julukannya sebagai kota pendidikan, di Yogyakarta terdapat berbagi jenis usaha yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Usaha sewa kamar atau yang lebih dikenal dengan istilah rumah kost merebak di hampir setiap rumah, baik yang berbentuk asrama (putra/putri) maupun berbentuk kost yang menyatu dengan rumah induknya. Dilihat dari fasilitasnya, terdapat beberapa kelas usaha rumah kost. Dari yang paling sederhana (kamar kosong) sampai dengan yang paling mewah (dengan fasilitas kamar mandi, televisi, dan telepon per kamar). Dilihat dari segi manajemen, hampir semua usaha kost ini bersifat informal. Tidak ada standar harga yang seragam. Harga cenderung dipengaruhi oleh lokasi kost terhadap pusat-pusat pertumbuhan, seperti lokasi sekolah/perguruan tinggi, areal pertokoan dan lain-lain. Dari keberadaan rumah kost inilah berbagai lapangan usaha baru biasanya diciptakan. Di sekitar lokasi kost umumnya terdapat warung-warung makan sederhana, jasa pencucian dan binatu. Dengan semakin banyaknya usaha warung makan, suhu persaingan antar warung makan juga semakin terlihat. Usaha untuk memperkuat daya saing tiap warung makan umumnya diwujudkan dengan memberikan berbagai fasilitas kenyamanan, seperti pola self-service, minuman mineral yang memberikan secara gratis, fasilitas televisi dan surat kabar di ruang makan dan sebagainya.

Sementara itu, dengan semakin banyaknya rumah kost, akhir-akhir ini muncul pula usaha jasa kost, yaitu usaha-usaha informasi tentang rumah/kamar kost yang belum dihuni. Berkaitan dengan kebutuhan bacaan, alat-alat tulis dan peraga pendidikan, terdapat cukup banyak toko-toko buku dan alat tulis. Disamping itu, terdapat pula usaha informal kegiatan pendidikan, misalnya produksi rak-rak/almari buku, meja-kursi belajar. Produk-produk yang berbahan baku kayu ini dikemas secara sederhana, dan terpampang dipinggiran jalan di sekitar lokasi sekolah, seperti di sekitar jalan Samirono, disekitar Ringroad, dan lain-lain. Seiring dengan era komputerisasi, usaha penyewaan komputer menjamur di hampir setiap sisi kehidupan mahasiswa. Usaha yang umumnya dikelola oleh mahasiswa ini biasanya menawarkan jasa penyewaan, pengetikan, pencetakan, olah data, serta yang terakhir ini juga marak adalah 'warnet' atau warung internet dengan sewa perjamnya yang bervariasi dan memberikan pelayanan yang cukup memuaskan bagi pelanggannya. Suhu persaingan antar penyewaan biasanya mengacu pada kehandalan mesin yang disewakan, disamping adanya berbagai fasilitas seperti minuman gratis, kopi gratis (bagi yang lembur) dan harga khusus untuk penyewaan malam hari. Usaha lain di bidang pendidikan yang amat mencolok adalah pada usaha jasa pendidikan itu sendiri. Berbagai kursus, les privat, dan lembaga pendidikan memperkukuh basis pendidikan kota ini. Hal menarik dari pertumbuhan lembaga pendidikan ini adalah semakin banyaknya jenis jasa pendidikan yang ditawarkan. Keberlimpahan ini semestinya menjadi faktor pendukung tersendiri dalam upaya meningkatkan ketrampilan siswa didik. Sebab pendidikan formal, bagaimanapun, tidak akan sepenuhnya mampu memikul fungsi-fungsi utama pendidikan nasional.

Yogyakarta: Kota Budaya

Yogyakarta pernah menjadi pusat kerajaan, baik Kerajaan Mataram (Islam), Kesultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman. Sebutan kota kebudayaan untuk kota ini berkaitan erat dengan peninggalan-peninggalan budaya bernilai tinggi semasa kerajaan-kerajaan tersebut yang sampai kini masih tetap lestari. Sebutan ini juga berkaitan dengan banyaknya pusat-pusat seni dan budaya. Sebutan kata Mataram yang banyak digunakan sekarang ini, tidak lain adalah sebuah kebanggaan atas kejayaan Kerajaan Mataram. Menurut sejarahnya Kesultanan Yogyakarta merupakan pecahan dari kerajaan Mataram yang pernah mencapai masa kejayaan dibawah pimpinan Sultan Agung (1613-1645). Namun intrik politik yang terjadi di dalam lingkungan kerajaan telah mengakibatkan terpecahnya kerajaan Mataram. Dalam pertengahan pertama abad ke-18 Mataram sampai tiga kali mengalami peperangan perebutan takhta yang akhirnya mengakibatkan terpecahnya kerajaan yang sudah sangat menciut wilayahnya karena digerogoti Belanda menjadi Kerajaan Surakarta yang diperintah Pakubuwono III dan Kerajaan Yogyakarta dipimpin Hamengkubuwono I, sebagaimana perjanjian Gianti tahun 1755. Dua tahun kemudian daerah Surakarta dibagi lagi antara Pakubuwono III dan Mangkunegoro I. Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1755 dimana ia mendirikan Kraton Yogyakarta menyusul perselisihannya mengenai pembagian wilayah dengan saudara laki-lakinya Susuhunan Surakarta. Dia kemudian mengangkat dirinya sebagai sultan dengan gelar Hamengkubuwono yang berarti ‘alam semesta berada di pangkuan raja.’ Pada abad ke 17, Sultan Hamengkubuwono mampu menjadikan kerajaan yang dipimpinnya berkembang pesat sehingga menjadi sangat kuat. Namun puteranya ternyata kurang memiliki kecakapan sehingga pada masa pemerintahan kolonial, keraton Yogyakarta pernah dibekukan, Hamengkubuwono II diasingkan dan sebuah wilayah kerajaan yang lebih kecil yang diberi nama Paku Alam didirikan didalam wilayah kesultanan Yogya. Bagi orang Jawa, Yogya adalah simbol perlawanan terhadap penjajah. Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro menentang Belanda (1825-1830) berlangsung di sekitar Yogyakarta. Pada masa revolusi kemerdekaan, Yogyakarta juga menjadi pusat perlawanan terhadap kaum kolonial. Ketika Belanda kembali ke Indonesia, sebagian wilayah kraton kemudian diubah menjadi Universitas Gajah Mada yang dibuka pada tahun 1946. Ketika Belanda menduduki Yogya pada tahun 1948, Sultan melakukan perlawanan dengan mengurung diri di dalam kraton menolak bertemu dengan penguasa Belanda, namun diam-diam ia tetap menerima para pejuang kemerdekaan di kratonnya dan menjadi penghubung antara Yogya dan pihak pejuang yang melakukan perang gerilya di luar kota. Belanda tidak berani menindak Sultan karena takut dengan kemarahan jutaan orang Jawa yang menghormatinya. Sementara itu Sultan mengijinkan para pejuang Indonesia menggunakan kraton sebagai markas perjuangan, jasa besar sultan ini menjadikan pemerintah Indonesia kemudian -setelah kemerdekaan- menganugerahkan status Daerah Istimewa kepada Yogyakarta[3].


Geliat Dunia Hiburan Malam di Jogja: Purawisata atau Caesar Café ?

Suasana Kota Yogyakarta memang terus berubah dari waktu ke waktu. Begitupula sarana hiburan bagi masyarakat Yogyakarta juga turut berkembang. Sebagai Kota Budaya, Yogyakarta memiliki aneka macam tempat hiburan, mulai dari tempat-tempat wisata entah itu wisata pantai, wisata pegunungan, wisata sejarah, maupun wisata belanja. Adapula pusat-pusat kesenian, entah itu seni tari yang biasanya diselenggarakan di Kraton, seni lukis, seni rupa, seni gerabah dan lain-lainnya. Ada tempat hiburan yang dapat dinikmati pada siang hari ada tempat hiburan yang biasanya mengadakan pertunjukkan pada malam hari seperti Pasar Malam Sekaten, Pentas Dangdut dan lain-lainnya.

Dalam tulisan ini hendak dipaparkan mengenai salah satu alternatif hiburan malam di Yogyakarta. Hiburan malam yang akhir-akhir ini dapat dikatakan sangat marak dan menyedot perhatian masyarakat Yogyakarta secara khusus masyarakat muda. Masyarakat Yogyakarta tentunya tidak asing dengan Purawisata. Purawisata terletak di Jalan Brigjend Katamso Yogyakarta, tepatnya sebelah timur Kraton Yogyakarta. Tempat hiburan ini diciptakan sedemikian rupa hingga memungkinkan orang untuk memperoleh berbagai macam hiburan yang dapat membawa suasana baru bagi masyarakat Yogyakarta. Pertunjukan Seni Tari Ramayana merupakan hiburan seni dan budaya Jawa utama yang disajikan oleh tempat ini, selain diantaranya pertunjukan dangdut dll. Tarian yang disajikan pada panggung terbuka Purawisata setiap malam sejak tahun 1975. Dengan kapasitas 600 tempat duduk, para penonton dapat menikmati kisah romantika tragedy dari Rama dan Sinta yang menceritakan pertarungan antara kebaikan dengan kejahatan. Disamping itu, Purawisata juga terkenal dengan Pentas Dangdut yang notabene sudat melekat sebagai musik rakyat, tapi akhir-akhir ini entah mengapa pentas-pentas Dangdut tidak banyak mendapatkan respon dari masyarakat. Seakan-akan kehadiran Purawisata telah kalah pamor dengan hadirnya tempat hiburan malam yang semakin hari semakin marak seperti kafe[4], diskotek[5] atau klub malam[6].

Memang, keberadaan Purawisata yang memberikan image pentas Dangdut sangatlah lain dengan keberadaan tempat hiburan malam seperti café, atau diskotek yang sebenarnya sudah hadir di Yogyakarta sejak tahun 1980-an. Sekitar tahun 1982 sebuah pusat hiburan publik (tempat bilyard dan diskotek) Crazy Horse adalah salah satunya diskotek yang terkenal di Yogyakarta pada masa itu dan menjadi simbol dari gaya hidup generasi kaum muda. Dalam tahun 1990-an kafe-kafe dan rumah makan menjadi amat populer sebagai tempat untuk mengisi waktu luang yang menggambarkan gaya dan cara hidup kaum muda Yogyakarta. Saat ini setidaknya sudah hadir beberapa kafe yang ramai dikunjungi anak muda setiap malamnya. Di kawasan Jl. Magelang paling tidak yang dijumpai penulis ada BOSCHE VVIP Club, Jogja-Jogja Rumah Musik, Java Café, BUNKER Café, The CLUB Concert Café, kemudian di sepanjang Jalan Solo ada TJ’ Extraordinary, Hugo’S Café, Soda Lounge, Caesar Café, Gudang Musik, kemudian di Jalan Malioboro ada Republik, PAPILLON Clubbing Music & Cafeint di Jl. Mayor Suryotomo, dan masih banyak lagi. Hampir di setiap Hotel berbintang juga menyediakan kafe-kafe semacam ini. Masing-masing kafe menawarkan kemasan acara yang unik dan menarik, dari mengemas acara khusus untuk mahasiswa atau khusus untuk pelajar, mendatangkan DJ (Disc Jockey) yang terkenal atraktif, menghadirkan grup-grup musik, menyajikan kompetisi minum bir, mengadakan kontes dance, sampai pada pemilihan putri favorit kafe tersebut dll. Dengan menjamurnya kafe, muncul pula fenomena clubbing[7] yang cukup marak awal tahun 2000-an, dimana kafe selalu menjadi tempat nongkrong mereka[8].

Seiring dengan hadirnya berbagai fasilitas modern tersebut berubah pula gaya hidup pelakunya. Citra mahasiswa Yogyakarta yang ndeso dan prihatin tampaknya sudah sirna. Kaum muda Yogyakarta akhir-akhir ini mulai menjadi mahasiswa metropolis yang akrab dengan kafe, diskotek, dan salon. Sebut saja salah satu klub malam yang baru-baru ini dibangun dan menjadi alternatif hiburan bagi masyarakat Yogya secara khusus kaum muda yaitu Caesar Café. Menempati bangunan lantai tiga Plaza Ambarrukmo, Caesar Lounge & Cafe hadir di Yogyakarta dengan mengusung konsep hiburan One Stop Entertainment. Konsep ini, menurut pihak manajemen, dapat diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan hiburan masyarakat Yogya yang kian beragam. Pada pukul 11.00-21.00 WIB, tempat ini siap menjadi sebuah Lounge yang cocok bagi orang-orang yang hendak bersantai dari aktivitas keseharian yang melelahkan. Sedangkan mulai pukul 22.00-03.00 WIB, tempat hiburan yang dihiasi warna biru hampir pada setiap sudut ini berganti menjadi Cafe yang siap menampung para clubbers yang membutuhkan hiburan malam. Tempat clubbing yang tampil dengan disain futuristik ini menawarkan sebuah atmosfer yang pastinya berbeda dengan tempat hiburan lainnya di Kota Jogja. Tempat hiburan ini juga menawarkan berbagai fasilitas yang menarik diantaranya adalah hotspot dan membership bagi para pengunjungnya. Dengan pengunjung dari kalangan middle-up ke atas dan sebagian para ABG (Anak Baru Gede), tempat ini cocok bagi Anda para eksekutif muda yang ingin bertemu dengan teman baru atau sekadar hang out untuk menghilangkan penat setelah seharian bekerja. DJ alias disc jockey-lah komandan pesta. Mereka yang membawa ribuan anak muda bergoyang di tengah hingar-bingar musik dansa di tempat-tempat yang "aneh", mulai dari tengah hutan belantara, tepi pantai yang eksotik, hingga gudang atau lantai di sebuah gedung tinggi yang tak terpakai. Pengumuman seperti itu biasanya ditutup dengan pesan: "you guys better be there, if you dont wanna miss the best party..." (maksudnya kurang lebih: kalian sebaiknya di situ kalau tidak ingin ketinggalan pesta terhebat). Bagi beberapa pihak, hal ini adalah sebuah kesia-siaan kaum hedonis kota besar. Namun bagi para DJ, sunguh ini menjadi lahan bisnis yang sangat menguntungkan. Mereka menjadi fasilitator bagi orang-orang yang memang ingin having fun. Inilah dinamika industri hiburan yang dengan sensasinya menyihir sebagian kaum muda metropolis. Sebuah dunia yang hidup lewat tengah malam[9].

Dugem (dunia gemerlap), begitulah istilah yang digunakan oleh sebagian kaum muda kita dan mereka yang gemar menghabiskan waktu malamnya untuk berpesta pora baik bersama pasangan mereka masing-masing maupun koleganya. Istilah ini sangat dikenal di kalangan kaum muda dan mereka yang menggandrungi pesta dan hiburan malam. Biasanya acara dugem-an dilaksanakan di kafe-kafe atau bar dengan berbagai suguhan menu makanan dan minuman serta acara yang menggiurkan. Di kafe-kafe atau bar kelas menengah yang biasa dihadiri oleh kaum muda dan masyarakat kelas menengah ke bawah biasanya cukup dengan menyuguhkan band-band lokal dan sesekali mendatangkan grup musik papan atas serta karaoke untuk mengiringi para muda-mudi berlantai (berdansa dengan pasangan mereka masing-masing). Sedangkan kafe-kafe atau bar bergengsi yang hanya bisa dihadiri mereka yang berkantong tebal dan eksekutif muda, tidak jarang dengan menghadirkan para penari telanjang dan berbagai bentuk acara yang jauh dari etika ketimuran, apalagi norma agama. Namun baik kafe kelas menengah hingga kafe bergengsi yang menyediakan fasilitas dugem-an, tetap memiliki beberapa kesamaan, yaitu : biasanya sebuah kafe terasa tidak lengkap tanpa menyediakan berbagai jenis minuman beralkohol, hanya saja mungkin kualitas dan harga yang berbeda. Kesamaan lainnya adalah bahwa kafe-kafe yang menyediakan pesta malam sangat identik dengan hura-hura, pergaulan bebas, menghamburkan uang, mabuk-mabukan, erotisme, seksualitas, narkoba, serta membuang-buang waktu, sebab biasanya pesta itu dilaksanakan semalaman suntuk. Bagi sebagian kaum muda yang akrab dengan dunia dugem ada satu anggapan bahwa seseorang dinggap tidak gaul, tidak funky dan kampungan jika belum pernah menikmati kehidupan kafe dengan dugemnya. Anggapan yang keliru ini mereka lontarkan sebagai justifikasi terhadap apa yang mereka lakukan. Kehidupan malam yang hingar-bingar dengan lantunan suara musik yang keras, dansa dengan saling berpelukan antara lawan jenis yang diselingi tawa canda yang mengumbar aroma alkohol tidak hanya melanda kota-kota besar saja, tapi juga kota semi metropolis dan telah menjadi bagian gaya hidup manusia modern. Uniknya realitas semacam ini oleh sebagian pecinta kehidupan malam atau dugem sudah dianggap sebagai tradisi yang wajar dan dibenarkan. Selama ini kita sering mendengar bahwa sebagian kaum muda dengan bangga mengatakan bahwa sekalipun mereka mendatangi kafe-kafe untuk menghabiskan malam minggu bersama orang yang dikasihi ataupun teman-temannya, mereka hanya sekedar tripping, berlantai (berdansa) namun tidak ikut-ikutan minum-minuman beralkohol maupun narkoba. Argumentasi ini sekaligus dijadikan sebagai justifikasi terhadap apa yang mereka lakukan. Ada statemen yang mengatakan bahwa lingkungan mempengaruhi manusia[10].


Dibalik Semakin Menjamurnya Café dan Diskotek ?

Suasana kota yang setengah desa turut mempengaruhi watak kaum muda kota pada masa lalu. Sebagai daerah tujuan studi, kota ini memiliki kehidupan kampus yang dinamis. Kampus menjadi situs kebudayaan penting yang menghubungkan dunia gagasan dan konstruksi budaya kota ini. Kini pragmatisme telah menyerbu kehidupan kampus-kampus di Yogyakarta. Pergeseran ini membawa pengaruh yang luar biasa bagi tumbuhnya kaum muda modern yang lebih pragmatis. Membanjirnya kelas menengah ke kota ini dengan cepat direspons, baik oleh pemerintah kota maupun dunia bisnis. Cobalah susuri malam Yogya, dari utara ke selatan, dari barat ke timur. Perumahan baru dibangun dengan berbagai gaya. Kita akan menemui lampu-lampu menyala, tapi kota seolah kehilangan cahaya. Kaum muda yang bersahaja telah pergi, digantikan generasi muda baru yang ceria dan penuh gempita menuju pesta di pusat-pusat belanja.

Generasi discourse berganti generasi distro[11], perdebatan angkringan digantikan gemuruh dan sensasi kafe dan coffee corner. Onthel telah menjadi cendera mata, klub diskusi berganti menjadi generasi clubbing, anak gerakan berganti menjadi klub pencinta motor merek X dan mobil tipe Z. Para pelajar dan mahasiswa yang datang ke Yogya dengan tujuan menunutut ilmu karena pertimbangan tarif hidup yang murah dan fasilitas pendidikan yang memadai. Kini, menjadi kaum insomnia adalah life style. Bersama dengan tumbuhnya mal, kafe, coffee corner, butik, factory outlet, kaum muda yang memburu life style saat ini tampak lebih "bersih dan sehat-sehat". Para perantau yang datant ke kota Yogyakarta sudah mengalami pergeseran dalam hal kelas sosial. Mereka yang datang ke Yogya saat ini adalah anak-anak orang kaya. Biaya untuk menjadi sarjana di sini kian mahal. Harga sebuah kursi di universitas negeri maupun swasta tak mungkin terjangkau anak-anak pandai tapi tak cukup punya biaya.

Struktur-struktur penopang kebudayaan kian memberi ruang bagi tumbuhnya budaya massa. Eksotisme berubah menjadi paket wisata yang mahal, bukan lagi sesuatu yang tumbuh dari keseharian hidup. Budaya massa semakin cepat lahir dari berbagai penanda baru yang tumbuh di kota. Budaya massa lahir akibat proses massifikasi dan memiliki tiga ciri utama: obyektivasi, alienasi, dan pembodohan. Obyektivasi dalam budaya massa terjadi karena pemilik hanya menjadi obyek yang tak punya peran dalam pembentukan simbol budaya. Alienasi berarti pemilik budaya massa terasing dari dan dalam kenyataan hidup. Mereka hidup dalam hingar-bingar dan gemuruh kehidupan masa kini, tapi pada saat yang sama kehilangan identitas dirinya. Dan pembodohan terjadi karena budaya massa hanya melahirkan kesibukan fisik, kepadatan jadwal, tanpa pengalaman mendapatkan pengalaman baru, apalagi momen-momen reflektif. Pragmatisme atas kultur kota terjadi ketika mobilitas manusia dituntun oleh mobilitas benda. Orientasi sebagai konsumen merupakan pendorong mobilitas itu. Dalam kehidupan masa kini, semua ruang seolah merupakan wilayah ekspansi modal. Di hipermarket, kegaduhan berlangsung dalam suasana tunasosial. Seperti itu juga di tempat clubbing yang kini hadir melengkapi kehadiran kampus: di sana orang-orang berkerumun, tetapi hanya untuk menggerakkan tubuh mereka sendiri. Adakah mereka berelasi satu sama lain selain dengan pasangannya atau rekannya saja[12]?


Café dan Diskotek sebagai Pemaknaan Simbol Modernitas

Kritik yang sering dilontarkan terkait dengan dunia gemerlap adalah tampilnya simbol-simbol kultural modern yang identik dengan kaum muda perkotaan di Indonesia; terutama dalam sifat kontrasnya terhadap kepatuhan politik, ketaatan pada etika, kekukuhan moral, dan kepedulian kepada nasib rakyat sebagai kategori-kategori normatif. Oleh karena itu sikap masyarakat baik institusi pendidikan ataupun pemerintah cenderung defensif dan tidak menangkap pemaknaan kaum muda sendiri tentang segala perubahan dan berbagai tawaran modernitas hiburan termaksud. Akibatnya hampir dalam setiap pemberlakuan aturan hanya akan mudah menjadi bahan olok-olok kaum muda tersebut. Perubahan ekonomi, sosial, politik semakin, runtuhnya batas-batas nasional dan semakin meningkatnya cengkeraman global dipandang berperan pada periode ketidakpastian dan ketidakstabilan yang menghasilkan suatu masa ketika kontradiksi antara nilai-nilai tradisional seperti puritanisme, tanggung jawab, sikap hemat dan kebanggaan menyelesaikan pekerjaan dengan baik versus nilai-nilai baru seperti hedonisme dan konsumsi spektakuler masyarakat makmur memang menjadi semakin tajam. Perubahan ini sangat dirasakan oleh anak muda yang mengalami kesulitan sekaligus keuntungan. Identitas orang modern akan ditentukan oleh dunia sekitar. Mereka tidak mampu menunjukkan identitas dari kedalaman diri mereka. Kecenderungan ini menempatkan orang muda pada pencarian identitas terus menerus. Padahal identitas tersebut bukan menunjukkan kemendalaman pribadi tetapi lebih pada pencitraan fisik semata.

Pencarian dan Perubahan Identitas Terus Menerus

Identitas dalam konteks ini tidak dimaksudkan sebagai entitas apapun yang dapat digambarkan oleh psikologi ilmiah, melainkan lebih merupakan pengalaman aktual dalam situasi sosial tertentu. Dengan kata lain identitas adalah cara individu mendefinisikan diri mereka sendiri. Dengan demikian identitas merupakan bagian dari paket struktur kesadaran yang khusus dan karena itu dapat dipertanggungjawabkan dalam uraian fenomenologis (tanpa mempertimbangkan ini dan itu yang mungkin dibuat oleh seorang ahli psikologi). Identitas modern bersifat terbuka. Ciri terbuka tanpa batas dalam identitas modern ini menimbulkan berbagai hambatan psikologis dan membuat individu mudah mengalami perubahan definisi oleh orang lain. Identitas modern mempunyai perbedaan-perbedaan khusus. Karena pluralitas dunia sosial dalam masyarakat modern, struktur masing-masing dunia dialami sebagai struktur yang rrelastif tidak stabil dan tidak dapat dipercaya. Pengalaman individu modern dalam pluralitas dunia sosial merelatifkan setiap dunia sosial itu. Akibatnya, tatanan kelembagaan mengalami kehilangan realitas tertentu. Titik berat realitas bergeser dari tatanan pranata obyektif ke bidang subyektif. Dengan kata lain, pengalaman individu tentang dunia sosial obyektif. Oleh karena itu, individu berusaha mencari tempat berpijak pada realitas dalam dirinya sendiri dari pada di luar dirinya. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa realitas subyektif individu menjadi sangat beragam, kompleks, dan menarik bagi dirinya sendiri. Subyektifitas mencapai kedalaman yang tak terpahami. Identitas modern bersifat terbuka tak terbatass, fana berubah terus menerus. Di pihak lain, bidang identitas subyektif merupakan tempat berpijak utama individu dalam realitas. Sesuatu yang terus menerus berubah diandaikan sebagai ens realissimum. Akibatnya tidak mengherankan bila manusia modern dirundung krisis identitas yang bersifat permananen, yaitu kondisi yang mengakibatkan kegelisahaan luar biasa[13]. Mereka yang masuk dalam atmosfer dunia hiburan malam dengan clubbing akan memanfaatkan pencitraan modern dan menjadikan diri mereka sebagai orang yang punya identitas modern. Identitas modern ini dapat dilihat dari gaya hidup atau life style mereka.

Pengikisan Identitas Kolektif dan Pemujaan Identitas Personal

Adalah sebuah proses kejatuhan yang sederhana telah terjadi, tetapi bahwa sekumpulan identitas yang terbatas dan bergantung telah mulai terfragmentasi menjadi deretan identitas saling bersaing yang bermacam-macam dan tidak stabil. Pengikisan identitas kolektif yang dulunya aman telah mengarah pada semakin meningkatnya fragmentasi identitas personal. Dikatakan bahwa kita telah menjadi saksi menghilangnya kerangka rujukan tradisional dan adiluhung secara bertahap dalam pengertian orang bisa mendefinisikan dirinya maupun kedudukannya di dalam masyarakat, dan dengan demikian mereka merasa relatif aman dengan identitas personal maupun identitas kolektifnya. Sumber-sumber identitas tradissional ini, seperti kelas sosial, keluarga somah, dan keluarga batih, komunitas lokal, kebertetanggaan, agama, serikat dagang, negara bangsa, dikatakatan telah mengalami kejatuhan sebagai akibat dari berbagai kesenderungan di dalam kapitalisme modern seperti semakin cepat dan pesatnya tingkat perubahan sosial[14]. Percampuran atau pergeseran dari tradisi budaya yang sarat makna menuju budaya modern yang menjadi trendsetter menjadikan identitas budaya kolektif semakin hari semakin mengikis, akrena menonjolnya pencarian identitas individu. Semakin dicari, identitas individu maka semakin memudarkan identitas bersama dan bahkan identitas bersama kemungkinan dianggap tidak ada.

Munculnya Budaya Konsumen

Istilah budaya konsumen berbicara tentang dampak konsumsi massa atas kehidupan sehari-hari. Dampak in menyangkut perubahan tatanan simbolis, struktur makna, dan perilaku sehari-hari. Kesan memainkan peran utama dalam budaya ini. Kesan ini didukung dengan adanya insdustri gambar hidup, surat kabar rumah media massa, majalah, televisi seakan tanpa henti mencipta dan menyebarkan berbagai kesan tanpa henti. Kesan-kesan ini tidak dapat dikatakan membentuk ideologi pokok yang utuh karena kesan terus menerus diproses ulang dan makna barang dan pengalaman terus didefinisikan kembali. Segala-galanya dapat dipertukarkan satu sama lain, dan tampaknya tidak ada batas sampai kemana. Berbagai makna yang selama ini jelas dan berdiri sendiri dapat dipertukarkan. Tradisi juga diaduk-aduk dan dikuras untuk mencari simbol kecantikan, roman, kemewahan, dsan eksotika yang manjur. Kesan budaya konsumen dan iklan pada dasarnya bersifat modernis, sepanjang mengenai ganti mengganti tata nilai dan meruntuhkan titik acuan tradisional, dalam usahanya meramu paduan baru yang mampu membangkitkan kembali kenangan dan merangsang keinginan. Maka dapat dikatakan bahwa budaya konsumen ini seperti dunia mimpi suatu kenyataan semu, yang meski demikian mengandung suatu moment positif atau utopia dalam janjinya menciptakan barang berlimpah ruah. Komoditi diukir dengan gaya dan gaya adalah komoditi yang bernilai. Gaya modernis yang terpantul dalam kehidupan sehari-hari terserap ke dalam struktur kehidupan sehari-hari dan ide artistik budaya tandingan bahwa kehidupan itu adalah suatu karya seni makin menyebar luas. Karena itu dalam budaya konsumen masa kini, gaya hidup mendapat kedudukan yang istimewa. Perilaku konsmsi tidak berarti menyerap komoditi produksi massa secara pasif dan mengikuti arus. Tekanan diletakkan pada merancang ulang dan mengerjakan ulang komoditi untuk menciptakan kesan gaya yang menyingkapkan individualitas manusia[15]. Penekanan pada tampilan permukaan dan gaya dapat dikatakan secara lain bahwa citraan mendominasi narasi. Orang semakin mengkonsumsi citra maupun tanda itu sendiri dan malah bukan manfaatnya atau nilai-nilai lebih dalam yang mungkin disimbolisasikan. Masyarakat mengkonsumsi citra dan tanda karena kesemuanya itu memang citra dan tanda, dan mengabaikan pertanyaan tentang nilai dan kegunaan. Hal ini tampak nyata pada budaya populer itu sendiri dimana permukaan dan gaya, tampa seseuatu dan sifat main-main dan senda gurau dikatakan mendominasi dengan mengorbankan isi substansi dan makna. Sebagai akibatnya sifat-sifat seperti kelebihan artisitik, integritas, keseriusan, otentisitas, realisme, kedalaman intelektual dan narasi yang kuat cenderung diabaikan[16]. Citra dan tanda ini akan terus menerus dikonsumsi dan apa yang dikonsumsi hanya segi luaran saja. Kaum mudapun akan terus menerus masuk dalam lingkaran hiburan malam, mereka terus menerus datang ke kafe dan diskotek sejauh itu memang masih memberikan dan menempelkan citra orang modern pada dirinya.


Melihat Ulang (Budaya) Hiburan di Yogyakarta

Meningkatnya pola hidup konsumtif cenderung mengubah perilaku sosial masyarakat. Konsumen muda yang terdiri dari generasi muda, bagi produsen adalah sasaran empuk, gurih, dan segar. Kaum muda seusia itu merupakan pasar yang makin kaya dan setiap saat bertambah besar. Mengapa kini mereka menjadi kelompok sasaran yang menarik bagi kapitalisme? Sebagai konsumen, mereka jelas berpotensi besar bagi dunia bisnis dan industri. Mereka adalah sasaran paling empuk dan mudah dipengaruhi. Konsumen muda belum bisa menentukan prioritas kebutuhannya sendiri. Umumnya dalam memutuskan sesuatu konsumen muda lebih mengandalkan emosi ketimbang rasionya. Mereka cenderung menelan mentah-mentah informasi yang diterima, asal menyenangkan. Hidup dalam pola dan arus konsumtivisme membuat orang merasa tidak puas jika produk atau barang yang diinginkannya belum dimiliki. Mereka mengutamakan gaya hidup bertolak pada felt need saat membeli suatu produk yang ditawarkan daripada membeli kebutuhan yang memang diperlukan (real need). Pola hidup seperti itu mendorong orang selalu ingin berlebihan, tanpa peduli bagaimana cara mendapatkannya. Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seperti itu di antaranya harga diri, gengsi, status sosial, ekonomi, pengaruh rekan, atau tingkat pendidikan merupakan sederet variabel yang perlu diperhitungkan. Pola hidup konsumtif juga menimbulkan berbagai hal yang berhubungan dengan faktor ketergantungan yang melekat dalam sanubari mereka. Kemajuan teknologi dan industri menjadikan nilai materialistik amat mendominasi kehidupan manusia modern. Meningkatnya jenis maupun volume produk industri memudahkan masyarakat bersikap konsumtif materialistis.

Kekuasaan dalam wacana masyarakat konsumen dijungkirbalikkan. Kekuasaan yang didekonstruksi langsung menyentuh wajah, kulit, tubuh, rambut manusia, kamar tidur, kamar tamu, ruang kerja, atau mobil. Seluruhnya menawarkan kesenangan, kemudahan, dan modernisme. Artinya, kekuasaan yang sudah didekonstruksi itu memberikan harapan kepada siapa pun untuk memosisikan dirinya dalam wacana yang ditawarkan sang kapitalis. Dalam bentuk yang sama, beragam produk dan beraneka gaya mengucur deras di supermarket, pusat perbelanjaan, dan sinetron yang sulit dikendalikan. Dalam wacana kapitalisme berkembang kebutuhan untuk memperpendek daur giling produk dan gaya hidup yang dimoderatori produser kapital. Di lain pihak, dalam kepentingan yang sama, konsumen berlomba mendapatkan barang baru, citra baru, gaya baru, serta meremajakan sesuatu yang dianggap ketinggalan zaman[17].

Melihat dunia hiburan malam, terhadap apa yang ditawarkan bukan lagi permasalahan seputar kesenian (seperti dalam Dangdut) atau keadaan psikologis terhibur, namun dunia hiburan malam telah menjadi lahan bisnis karena senantiasa menawarkan citra dan tanda modern yang dibungkus dalam suatu suasana menghibur. Kaum muda berlomba-lomba mencari hiburan tetapi bukan hiburan semata tetapi dibalik hiburan yang mereka cari sebenarnya mereka mencari suatu identitas “orang modern”, apa yang mereka cari adalah gaya hidup atau life style modern. Pencitraan dari dunia hiburan malam yang teramu dalam kafe atau diskotek ini berhasil membidik pangsa pasar kaum muda Yogyakarta, karena dilihat dari sejarahnya kota ini terkenal dengan kota pendidikan yang notabene sebagain besar penghuninya adalah kaum pelajar dan mahasiswa. Identitas kolektif akan semakin memudar karena digeser oleh pencarian terus menerus akan identitas individu, maka tidak luput pula bahwa budaya lokal, budaya adiluhung masyarakat Yogya semakin hari akan semakin memudar pula.

Perjumpaan budaya, antara budaya lokal dengan budaya asing senantiasa akan terjadi terus menerus. Kemungkinan besar di Kota Yogyakarta akan semakin banyak dijumpai mal, hipermarket, kafe, diskotek maupun klub malam, entah pembangunan-pembangunan simbol-simbol modernitas ini kapan akan berhenti. Menjadi suatu pekerjaan rumah bagi kita semua, bukan hanya bagi warga Yogyakarta adalah senantiasa peka dan mampu mencipta nilai dan makna dari kehadiran simbol modernitas tersebut. Hal ini sebagai langkah supaya tidak begitu tergantung atau menjadi budaya konsumeristis. Menjadi usaha kita bersama, kendati kita semua hidup dalam budaya lokal dan budaya modern tetapi bagaimana tetap mampu mengusahakan dan mengedepankan tradisi, nilai-nilai budaya lokal yang sarat makna.


Daftar Pustaka

Berger, Peter L.,

1988 “Pluralisasi Dunia Kehidupan”, dalam Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Feathersone, Mike,

1988 “Budaya Konsumen Kekuatan Simbolis dan Universalisme”, dalam Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Gunawan, Rudy,

2007 “Menyelami Dunia Gemerlap”, dalam www.indonesianyouth.com, diunduh pada 5 Desember 2007.

Handayani, Christina S.,

2005 “Para Saksi Gaya Identitas Dugem”, dalam Penghibur(an): Masa Lalu dan Budaya Masa Kini Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.

Patissina, Edna C.,

2007 “DJ Riri, Dunia Lewat Tengah Malam”, dalam KOMPAS tanggal 11 Juni 2005, diunduh pada 3 Desember 2007.

Strinati, Dominic,

1995 Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, Bentang Pustaka, Yogyakarta.

Tinarbuka, Sumbo,

2007 “Pola Konsumtif Masyarakat Yogya”, dalam www.sumbo.wordpress.com, diunduh pada 5 Desember 2007.

Wirasenjaya, Adde Marup,

2006 “Kaum Insomnia Kota Bu(d)aya, Apa Kabar?”, dalam KOMPAS tanggal 4 Oktober 2006.

--------------------------,

2007 “Kota Budaya Terancam Bahaya”, dalam KOMPAS Yogyakarta Selasa, 22 Mei 2007.

--------------------------,

2007 Sejarah Yogyakarta dalam “Yogyakarta” dalam www.my-indonesia.info/filedata/1692_495-123486Jogja1.pdf, diunduh pada 5 Desember 2007.

--------------------------,

2007 “Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta”, dalam www.id.wikipedia.org/ Sejarah_Keistimewaan_dan_Pemerintahan_Prop_DIY_files/commonPrint.css, diunduh pada 5 Desember 2007.


[1] --, “Kota Budaya Terancam Bahaya”, dalam KOMPAS Yogyakarta Selasa, 22 Mei 2007.

[2] Disarikan dari Sejarah Yogyakarta dalam “Yogyakarta” dalam www.my-indonesia.info/filedata/1692_495-1234286Jogja1.pdf, diunduh pada 5 Desember 2007.

[3] --, “Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta”, www.id.wikipedia.org/ Sejarah_Keistimewaan_dan_

Pemerintahan_Prop_DIY_files/commonPrint.css, diunduh pada 5 Desember 2007.

[4] Kafe atau café A café (also spelled cafe,) or coffee shop is an informal restaurant offering a range of hot meals and made-to-order sandwiches. This differs from a coffee house, which is a limited-menu establishment which focuses on coffee sales. Depending on the jurisdiction, a café may be licensed to serve alcohol. The term can also refer to bistro or a restaurant facility within a hotel. In some countries, however, a café is synonymous with a coffee house. (www.en.wikipedia.org)

[5] Diskotek atau a discothèque, is an entertainment venue or club with recorded music played by "Discaires" (Disc jockeys) through a PA system, rather than an on-stage band. The word derives from the French word discothèque (a type of nightclub). Discothèque is a portmanteau coined around 1941 from disc and bibliothèque (library) by La Discothèque, then located on the Rue de la Huchette in Paris, France (Jones + Kantonen, 1999). Previously, most bars and nightclubs used live bands as entertainment. (www.en.wikipedia.org)

[6] Klub Malam atau a nightclub (or "night club" or "club") is a drinking, dancing, and entertainment venue which does its primary business after dark. A nightclub is usually distinguished from bars, pubs or taverns, by the inclusion of a dance floor and a DJ booth, where a DJ plays recorded dance and pop music. Some nightclubs have other forms of entertainment, such as comedians, "go-go" dancers, a floor show or strippers (see strip club). The music in nightclubs is either live bands or, more commonly a mix of songs played by a DJ through a powerful PA system. Most clubs or club nights cater to certain music genres, such as house music, Hip-Hop, or salsa. . (www.en.wikipedia.org)

[7] Clubbing dapat diartikan sebagai kegiatan mengunjungi kafe-kafe, diskotek, klub malam untuk bersosialisasi atau sekedar mencari hiburan dengan menghabiskan waktu melepaskan kepenatan, rileks, sekaligus media bersosialisasi dengan rekan, sedangkan orang-orang yang senang clubbing disebt dengan clubbers.

[8] Christina S. Handayani, “Para Saksi Gaya Identitas Dugem”, dalam Penghibur(an): Masa Lalu dan Budaya Masa Kini Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 2005, 25.

[9] Edna C. Patissina, “DJ Riri, Dunia Lewat Tengah Malam”, dalam KOMPASCYBERMEDIA tanggal 11 Juni 2005, diunduh pada 3 Desember 2007.

[10] Rudy Gunawan, “Menyelami Dunia Gemerlap”, www.indonesianyouth.com, diunduh pada 5 Desember 2008.

[11] Sebutan lain untuk istilah distribution outlet, yaitu toko-toko yang menjual pakaian yang menjadi trend fashion anak muda.

[12] Adde Marup Wirasenjaya, “Kaum Insomnia Kota Bu(d)aya, Apa Kabar?”, dalam KOMPAS tanggal 4 Oktober 2006.

[13] Peter L. Berger, “Pluralisasi Dunia Kehidupan”, dalam Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988, 47-48.

[14] Dominic Strinati, Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, Bentang Pustaka, Yogyakarta, 1995, 272-273.

[15] Mike Feathersone, ”Budaya Konsumen Kekuatan Simbolis dan Universalisme”, dalam Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988, 53-57.

[16] Dominic Strinati, Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, Bentang Pustaka, Yogyakarta, 1995, 257-258.

[17] Sumbo Tinarbuka, “Pola Konsumtif Masyarakat Yogya”, www.sumbo.wordpress.com, diunduh pada 5 desember 2007.



[get this widget]

0 comments: