Juni 23, 2008

Book Review

0 comments

Hira Jhamtani, WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga,
Insist Press, Yogyakarta, 2005. (265 hlm.)


Pengantar
Berbicara mengenai globalisasi tidak terlepas dari pembicaraan mengenai WTO (World Trade Organization) atau Organisasi Perdagangan Dunia. Lembaga dunia ini seringkali menjadi sasaran protes dan demonstrasi banyak pihak, mulai dari berbagai unsur masyarakat, kelompok buruh, kelompok petani dll. Banyak kampanye anti WTO dan peraturan-peraturan hasil konferensi WTO dilontarkan di berbagai negara. Mengapa WTO menuai begitu banyak aksi unjuk rasa? Pertanyaan tersebut mungkin akan terjawab apabila kita mengetahui apa itu WTO, bagaimana sistem kerjanya, kemungkinan dan potensi dampaknya pada kehidupan kita, serta apa dampaknya pada negara-negara sedang berkembang. Buku WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga karya Hira Jhamtani ini berupaya menggambarkan hal-hal tersebut sehingga akan menjadi jelas mengapa WTO menjadi salah satu sasaran protes gerakan masyarakat sipil dan gerakan sosial di tingkat dunia. Hira Jhamtani dalam buku ini hendak menyampaikan informasi, telaah dan pandangan tentang WTO dengan tujuan bahwa setiap warga masyarakat, warga negara, dan warga dunia berhak mengetahui kesepakatan di tingkat global yang dibuat atas nama mereka oleh para petinggi negara. Dalam tulisan ini, pertama hendak dipaparkan mengenai review buku ini dan pada akhir tulisan adalah tanggapan singkat atas buku ini.

Review Buku
Buku WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga terdiri dari 9 bab dengan diawali sebuah pembuka dengan subjudul “Mengapa Peraturan Perdagangan Menuai Unjuk Rasa?”. Dalam pengantar diapaparkan mengenai kisah seorang petani sekaligus Ketua Federasi Petani Korea Selatan yang melakukan aksi demonstrasi hingga bunuh diri pada pembukaan Konferensi Tingkat Menteri WTO pada 10 September 2003. Ia menentang diselenggarakannya Konferensi WTO.
Dua bab pertama buku ini memaparkan tentang sejarah, proses, dan isi kesepakatan WTO. Bagian ini merinci pembahasan perjalanan WTO, sebelum ditetapkan, kemudian ketika ditetapkan pada tahun 1995 dan proses perjalanannya, setelah itu hingga Konferensi Tingkat Menteri ke-5 pada tahun 2003 (Bab 1). Bagian selanjutnya menyajikan informasi teknis tentang kesepakatan, sistem, serta mekanisme kerja dan organisasi di WTO (Bab 2). Hira mencoba mengupas lebih rinci dua kesepakatan penting WTO, yaitu kesepakatan di bidang Pertanian dan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI). Kedua kesepakatan ini menjadi bagian yang penting karena akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari, baik bagi jutaan petani, maupun puluhan juta konsumen di Indonesia. Hal itu bukan berarti meniadakan kesepakatan lain menjadi tidak penting, namun dua kesepakatan menampilkan bagaimana sepak terjang WTO sungguh terlibat secara mendalam dalam kehidupan manusia (Bab 3-4). Bagian selanjutnya membahas beberapa isu baru yang diluncurkan di WTO berkaitan dengan hal-hal yang hampir tidak berhubungan dengan perdagangan, seperti penanaman modal, kebijakan persaingan, dan transparansi dalam pembelanjaan pemerintah. Bersama dengan masalah liberalisasi jasa, isu tersebut akan sangat mengancam kelangsungan pembangunan di negara berkembang seperti Indonesia. Karena itu, judul bab ini adalah pertanyaan mengenai apakah pembangunan sudah mati? Yang lebih penting, nuansa kembali ke era kolonialisme yang mungkin terjadi ketika WTO menguasai hampir seluruh aspek pembangunan di negara sedang berkembang (Bab 5). Hira juga menyajikan beberapa hal yang berkaitan dengan sikap pemerintah Indonesia terhadap WTO, komitmen Indonesia di WTO dan dampak serta masalah yang dihadapi. Pesan inti yang disampaikan adalah adanya salah-urus perdagangan dan cara menangani WTO selama ini dan beberapa usulan langkah-langkah ke depan untuk mensiasati WTO (Bab 6). Hira mengajak kembali ke kancah global dengan pembahasan mengenai perlunya pemberontakan Dunia Ketiga, mirip dengan pemberontakan untuk merebut kembali kemerdekaan dari penjajahan bangsa-bangsa Barat di masa lampau. Tetapi kali ini arena pertarungannya adalah WTO, dan yang direbut kembali adalah hak untuk melaksanakan kebijakan pembangunan dan meluruskan peran WTO sebagai wadah multilateral yang seharusnya bersikap adil. Bagian ini pada dasarnya menunjukkan bahwa negara berkembang sudah berupaya mempengaruhi kesepakatan di dalam WTO, dan memberikan nuansa optimis tentang kenyataan bahwa WTO bukanlah suatu konstitusi yang terpahat dalam batu yang tidak bisa diubah. WTO adalah alat yang harus diubah agar dapat digunakan semua negara secara adil (Bab 7). Pada bab selanjutnya diuraikan tentang peran masyarakat sipil dalam mengkritisi WTO dan mencoba mempengaruhi pemerintah untuk tidak gegabah membuat kesepakatan baru di WTO. Organisasi-organisasi non-pemerintah beserta kelompok masyarakat selama ini terus berupaya agar suara dan aspirasi mereka dipertimbangkan dalam WTO. Hal ini mereka lakukan dengan berbagai upaya, dari pendidikan publik, penandatanganan petisi, hingga unjuk rasa masal serta bunuh diri seperti sang petani Korea Selatan tadi. Sejauh mana mereka berhasil, masih harus kita lihat. Tetapi mereka memberikan keragaman nuansa perdebatan sehingga menyajikan pendapat lain kepada masyarakat yang selama ini tidak mendapatkan informasi seimbang (Bab 8). Pada bab terakhir buku ini, Hira memaparkan tentang optimisme sebagaimana diutarakan pada bab sebelumnya, yaitu suatu upaya membangun dunia yang lebih baik dan lebih adil. Salah satunya dengan meluruskan kerancuan mengenai perdagangan bebas yang selama ini dianut. Selama ini masyarakat diberi tahu oleh para pakar ekonomi, para petinggi negara, dan lembaga internasional, bahwa tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh, kecuali liberalisasi perdagangan dan ekonomi dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju kemakmuran. Pada bab inilah Hira ingin menyatakan bahwa WTO ataupun globalisasi ekonomi secara umum bukanlah suatu keniscayaan. WTO adalah suatu bangunan yang dirancang dan direkayasa oleh manusia. Dan, layaknya suatu bangunan, ia tetap bisa diubah atau jika perlu dibongkar dan dibangun yang baru. Jadi, dunia yang lebih baik adalah suatu harapan, bukan impian belaka (Bab 9). Akhirnya, epilog di bagian penutup buku ini Hira mengajak kita semua mewujudkan suatu dunia yang lebih baik dengan memahami dan mewaspadai apa yang terjadi di WTO.

Tanggapan Isi Buku
Buku ini mempunyai nuansa demistifikasi tentang WTO. Sejauh saya membaca buku ini, saya melihat kesepakatan mengenai perdagangan internasional bukanlah suatu kompromi perdagangan, tetapi merupakan proses politik, terutama dalam lembaga antara negara yang bernama WTO ini. Di dalam forum WTO, pihak yang berunding adalah pemerintah, tetapi yang dirundingkan adalah hak-hak para perusahaan multinasional (MNCs) supaya mendapatkan akses pasar, kemudahan persyaratan dagang, dan berbagai fasilitas lain. Hal ini sungguh sangatlah ironis sebab negara harus menjalankan kewajiban di bawah WTO, tetapi perusahaan-perusahaan multinasional yang justru menikmati keuntungan. Demi kepentingan perusahaan-perusahaan raksasa lintas-negara inilah, para pemerintah “dipaksa” bekerja keras merundingkan peraturan global, kadang-kadang sampai mengorbankan kepentingan rakyat yang seharusnya mendapatkan jaminan dari negara. WTO sendiri nampaknya dipakai sebagai alat oleh negara maju untuk memaksa negara-negara belum maju membuka pasar mereka. Dalam sistem yang ditandai tiadanya hegemoni, pemaksaan lewat perjanjian multilateral dipandang sebagai lebih beradab dan rasional. Sementara negara-negara maju sendiri boleh melenggang, tidak usah menaati kesepakatan-kesepakatan yang dibangun dalam WTO. Perdagangan sudah menjadi sesuatu yang rancu, dari awalnya sebagai sarana atau alat untuk mensejahterakan masyarakat di suatu negara, namun kini perdagangan menjadi tujuan akhir. Inilah akar dari dilema ikut menjadi anggota WTO. Kalau tidak ikut, ia akan terisolasi; kalau ikut, ia akan diinjak-injak. Mungkin Indonesia perlu memikirkan secara lebih serius perjanjian bilateral, bila dalam perjanjian multilateral mengalami dilema yang tidak mengenakkan itu. Mungkin kita tidak cukup hanya merenungkan keprihatinan ini, tetapi biarlah keprihatinan ini membawa kepada suatu kesadaran baru. Kesadaran bahwa masih ada peluang. Beberapa tahun terakhir ini, dunia melihat berkembangnya forum masyarakat sipil (civil society) global dimana puluhan ribu masyarakat biasa dan kelompok atau organisasi masyarakat sipil dan gerakan sosial berkumpul untuk mengatakan “Tidak” pada sistem ekonomi global yang ada pada saat ini dan menegaskan bahwa “ada alternatif”, sebagaimana slogan yang sering mereka dengungkan “another world is possible”. Semoga!!


[get this widget]

Juni 06, 2008

TIPU DAYA WTO DALAM PERJANJIAN PERTANIAN

0 comments

Bagaimana WTO mengelabui sektor pertanian negara berkembang melalui Agreement on Agriculture (AoA)? Artikel “Jerat dan Tipu Daya WTO dalam AoA” karangan Khudori memaparkan tentang berbagai macam kebijakan AoA ternyata merupakan agenda tersembunyi negara-negara maju guna semakin memuluskan usaha mereka menguasai pasar internasional secara khusus pasar pertanian internasional. Terbukti bahwa kampanye negara-negara maju sponsor utama WTO bahwa perdagangan bebas akan menciptakan efisiensi, mengurangi kelaparan, dapat memberantas kemiskinan, dan menciptakan kemakmuran bersama antara negara maju dan berkembang hanyalah janji kosong. Kebijaksanaan AoA buatan WTO dan juga Non Trade Concern dan Special and Different Treatment yang dimaksudkan untuk menciptakan lapangan permainan (level playing of field) yang sama antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang ternyata telah diskenario terlebih dahulu sehingga level playing of field tersebut tidak pernah bisa terjadi. Bagaimana mau mewujudkan fair trade kalau semua peraturan sudah diskenario secara rahasia sehingga semuanya menguntungkan negara maju?

Semua itu merupakan pilihan yang dilematis bagi negara-negara berkembang. Mereka menerima WTO karena tidak memiliki pilihan kebijakan selain menjadi negara donor IMF dan Bank Dunia karena situasi perekonomian negara-negara berkembang sedang kacau, namun ketika sudah berada dalam cengkeraman badan pengutang tersebut, negara berkembang dengan “terpaksa” menyetujui sistem perdagangan seperti yang tertuang dalam Walden Bello. Apabila negara–negara berkembang tidak memberikan persetujuan pada perjanjian tersebut maka akan didepak dari arena perdagangan dunia.

Bagaimana peraturan AoA menjerat negara berkembang? Dalam AoA tertuang berbagai kebijakan yang timpang dan bias. Begitupula dalam implementasi aturan-aturan WTO terdapat banyak persoalan yang muncul, seperti dalam penentuan harga produk pertanian. Pada bagian lain ada kemungkinan dilakukannya praktik-praktik penentuan tarif secara curang (dirty tariffication). Negara-negara maju mengonversi kebijakan restriksi non tarifnya dengan tarif yang tinggi, sehingga penurunan tarif yang diwajibkan oleh WTO kemudian menjadi kurang berarti dalam meliberalisasi pasar mereka. Persoalan yang tidak kalah krusial dan paling menonjol dalam perdagangan internasional di sektor pertanian adalah subsidi ekspor (Export Subsidy). Dalam perjanjian AoA disebutkan bahwa apabila penghapusan segala bentuk subsidi ekspor mulai dilaksanakan sehingga produk pertanian dari negara berkembang dengan mudah memasuki pasara pertanian negara maju. Namun kenyataannya tidaklah demikian karena negara maju masih tetap memberlakukan subsidi yang tinggi serta hambatan dalam bentuk proteksi secara luas.

Dampak yang harus dirasakan oleh negara berkembang adalah kehancuran pertanian domestik. Pertanian negara maju didukung produksi pertanian yang cukup efisien dan juga diperkuat dengan infrastruktur pemasaran dan perdagangan yang cukup baik dan efisien yang dapat menghemat biaya ekspor. Pada khirnya keterbukaan import akan mengancam sektor pertanian negara berkembang. Para petani gurem dengan pola pertanian tradisional tentunya akan kalah bersaing dengan pola pertanian negara maju.

Agenda utama perjanjian internasional Agreement on Agriculture (AoA) ini tidak lain adalah keharusan bagi negara-negara berkembang untuk mengurangi subsidi dan mengurangi hambatan-hambatan perdagangan pertanian. Alih-alih sebagai tujuan AoA adalah liberalisasi perdagangan produk-produk pertanian dengan alasan untuk menanggulangi kekurangan pangan. Namun, alasan itu hanya menjadi kedok negara-negara maju saja yang ingin mengusai pasar produk pertanian di negara-negara berkembang yang notabene jumlah penduduknya besar dan tingkat konsumsinya tinggi terutama untuk pangan. Akhirnya, terbukti bahwa perjanjian sebagaimana tertuang dalam AoA hanyalah janji-janji kosong belaka. Segala macam aturan permainan yang dibuat oleh WTO beserta dua saudaranya IMF dan World Bank jauh dari upaya memberantas kelaparan, kemiskinan, dan mengangkat kedaulatan ekonomi petani-petani kecil, liberalisasi pertanian justru semakin menciptakan suatu sistem pangan global yang terstruktur secara sepihak yaitu pihak negara-negara maju. Disatu sisi, sistem tersebut hanya melayani pelbagai kepentingan para penguasa (terutama penguasa kapital) semata, dan pada sisi yang lain, fungsi ini berjalan seraya terjadi penindasan dan penghisapan terhadap barisan petani-petani miskin negara berkembang di seluruh dunia.

Sumber:

Khudori, Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap Kejahatan Industri Pangan, Resist Book, 2004.



[get this widget]

Juni 02, 2008

GLOBALISASI DAN LINGKUNGAN HIDUP

0 comments


Stiglitz dalam bukunya Globalization Work : Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil, salah satunya memaparkan mengenai dampak globalisasi bagi lingkungan hidup. Globalisasi ternyata belum menangani secara memuaskan masalah lingkungan hidup global. Tesis dasar yang diajukan oleh Stiglitz adalah bahwa manusia dapat mengambil kekuatan ekonomi dari globalisasi yang sejauh ini telah menghancurkan lingkungan hidup dan membuatnya bekerja untuk melindungi lingkungan hidup. Stiglitz pertama hendak memaparkan mengenai tegangan hak milik bersama. Problem mendasar dari hak milik bersama adalah adanya tragedi berkaitan dengan hak milik bersama. Tragedi ini terjadi karena adanya dua sikap dalam pengelolaan hak milik bersama baik itu secara privatisasi maupun campur tangan pemerintah terhadap barang-barang bersama. Permasalahan ini adalah dilema mendasar dari manajemen barang milik bersama karena berdasarkan sejarah, baik pengelolaan privat maupun publik tidak bisa terus menerus menghasilkan efisiensi dan keadilan. Suatu negara mungkin dapat menerapkan kebijakan bagi barang publik dalam negaranya namun apabila negara-negara dihadapkan pada cara pengelolaan barang publik yang sifatnya global maka penanganannya pasti tidak mudah. Permasalahan publik global yang hendak diangkat adalah pemanasan global. Banyak negara terancam bahaya pemanasan global, sebut saja Bangladesh dan kepulauan Maladewa dll. dengan berbagai penelitian yang sudah dilakukan ternyata negara-negara ini mendapat ancaman serius apabila terus-menerus terjadi pemanasan global. Sayangnya, kedua negara tersebut menderita ancaman pemanasan global yang disebabkan oleh negara lain diluar dirinya. Mereka hanya mendapatkan akibatnya saja. Fenomena-fenomena semacam ini menggugah negara-negara di dunia untuk menangani permasalahan pemanasan global secara serius. Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim sudah ditandatangani pada tahun 1992 guna menyusun sebuah prosedur untuk perjanjian yang membatasi emisi. Pertemuan-pertemuan tersebu mencapai puncaknya pada saat diadakan di Kyoto pada tahun 1997. Pokok yang hendak dibahas dalam pertemuan ini adalah kesepakatan untuk mengurangi emisi gas-gas rumah kaca secara adil dan efisien, mengurangi pengeluaran ekonomi dengan membagi beban secara merata di semua negara di dunia. Seruan yang dilangsungkan adalah dengan mengharuskan negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas-gas tersebut. Ironisnya, Amerika Serikat sebagai salah satu negara maju yang menghasilkan emisi gas paling besar justru tidak mau menandatangani perjanjian tersebut. Amerika Serikat menghasilkan hampir 25% dari seluruh gas rumah kaca. Amerika Serikat juga tidak mau membayar beban biaya emisi gas sebagai penerapan kebijakan lingkungan hidup dengan alasan ketidakmampuan ekonomi. Penolakan protokol Kyoto oleh Amerika Serikat menunjukkan bahwa perlu dibutuhkan beberapa cara untuk menekan negara-negara di dunia agar mau ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan hidup. Hal lain yang pantas dicatat adalah hubungan antara WTO dan Amerika Serikat. WTO senantiasa mendukung apa yang dibuat oleh Amerika Serikat khususnya dalam hal kebijakan-kebijakan perdagangan seperti pemberlakuan sanksi perdagangan bagi suatu negara yang melanggar peraturan. Namun, dalam hal ini apabila yang bersalah adalah Amerika Serikat sendiri ternyata WTO juga tidak serta-merta memberikan peringatan.

Pada bagian akhir bab ini, Stiglitz memberikan beberapa usulan untuk mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer dengan cara yang paling efektif. Perhatian utama difokuskan pada pengurangan emisi padahal ada cara lain yang bisa dilakukan yaitu dengan memindahkan karbondioksida dari atmosfer dan meyimpannya. Mekanisme seperti ini biasanya dilakukan oleh pohon-pohon, oleh karena itu penanaman pohon atau pelestarian hutan sangat dianjurkan dalam usaha ini. Prakarsa ini ternyata mendapat respon positif justru dari negara-negara berkembang.

Protokol Kyoto merupakan sebuah pendekatan alami terhadap pemanasan global. Emisi yang berlebih menjadi pokok permasalahan yang diangkat. Namun, ternyata tidak mudah untuk mencapai kebijakan global yang bisa ditaati oleh semua negara di dunia. Amerika Serikat mangkir dari keputusan pertemuan ini dengan alasan ketidakadilan dan tidak kuat membayar biaya pengurangan emisi. Padahal Amerika Serikat merupakan penghasil emisi paling besar di dunia. Konsep protokol Kyoto sebenarnya sangat simpel yaitu membuat setiap orang membayar apa yang telah mereka lakukan dalam hal ini mereka membayar untuk polusi yang mereka ciptakan. Maka setiap negara di dunia perlu membayar pajak emisi karbon. Masalah lebih lanjut yang muncul adalah penentuan jumlah pembayaran yang adil bagi setiap negara. Negara-negara berkembang seharusnya tidak dipaksa memikul beban ekonomi untuk mengurangi polusi, karena sangat tidak adil memaksa negara-negara berkembang membayar kesalahan yang dilakukan oleh negara maju. Padahal negara-negara berkembang sendiri juga sedang berusaha untuk berkembang dan keluar dari kemiskinan. Ketegasan dalam pemberlakuan kebijakan ini memang perlu dilakukan terutama kepada Amerika Serikat selalu mangkir dari peraturan ini oleh karena itu sanksi perdagangan perlu diterapkan. Begitupula kalau melihat hasil pertemuan Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali pada bulan Desember tahun kemarin, Amerika Serikat juga masih mangkir dari tanggung jawab lingkungan ini. Peran PBB sebagai lembaga dunia menjadi sangat penting dan perlu bertindak netral disini. Memang, perlu adanya suatu kesadaran kepentingan moral yang sangat mendesak untuk bergabung dengan seluruh negara di dunia dalam menyelesaikan masalah pemanasan global ini.

Sumber:

Joseph Stiglitz, Making Globalization Work : Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil, Mizan, Bandung, 2007.



[get this widget]