Juni 06, 2008

TIPU DAYA WTO DALAM PERJANJIAN PERTANIAN

Bagaimana WTO mengelabui sektor pertanian negara berkembang melalui Agreement on Agriculture (AoA)? Artikel “Jerat dan Tipu Daya WTO dalam AoA” karangan Khudori memaparkan tentang berbagai macam kebijakan AoA ternyata merupakan agenda tersembunyi negara-negara maju guna semakin memuluskan usaha mereka menguasai pasar internasional secara khusus pasar pertanian internasional. Terbukti bahwa kampanye negara-negara maju sponsor utama WTO bahwa perdagangan bebas akan menciptakan efisiensi, mengurangi kelaparan, dapat memberantas kemiskinan, dan menciptakan kemakmuran bersama antara negara maju dan berkembang hanyalah janji kosong. Kebijaksanaan AoA buatan WTO dan juga Non Trade Concern dan Special and Different Treatment yang dimaksudkan untuk menciptakan lapangan permainan (level playing of field) yang sama antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang ternyata telah diskenario terlebih dahulu sehingga level playing of field tersebut tidak pernah bisa terjadi. Bagaimana mau mewujudkan fair trade kalau semua peraturan sudah diskenario secara rahasia sehingga semuanya menguntungkan negara maju?

Semua itu merupakan pilihan yang dilematis bagi negara-negara berkembang. Mereka menerima WTO karena tidak memiliki pilihan kebijakan selain menjadi negara donor IMF dan Bank Dunia karena situasi perekonomian negara-negara berkembang sedang kacau, namun ketika sudah berada dalam cengkeraman badan pengutang tersebut, negara berkembang dengan “terpaksa” menyetujui sistem perdagangan seperti yang tertuang dalam Walden Bello. Apabila negara–negara berkembang tidak memberikan persetujuan pada perjanjian tersebut maka akan didepak dari arena perdagangan dunia.

Bagaimana peraturan AoA menjerat negara berkembang? Dalam AoA tertuang berbagai kebijakan yang timpang dan bias. Begitupula dalam implementasi aturan-aturan WTO terdapat banyak persoalan yang muncul, seperti dalam penentuan harga produk pertanian. Pada bagian lain ada kemungkinan dilakukannya praktik-praktik penentuan tarif secara curang (dirty tariffication). Negara-negara maju mengonversi kebijakan restriksi non tarifnya dengan tarif yang tinggi, sehingga penurunan tarif yang diwajibkan oleh WTO kemudian menjadi kurang berarti dalam meliberalisasi pasar mereka. Persoalan yang tidak kalah krusial dan paling menonjol dalam perdagangan internasional di sektor pertanian adalah subsidi ekspor (Export Subsidy). Dalam perjanjian AoA disebutkan bahwa apabila penghapusan segala bentuk subsidi ekspor mulai dilaksanakan sehingga produk pertanian dari negara berkembang dengan mudah memasuki pasara pertanian negara maju. Namun kenyataannya tidaklah demikian karena negara maju masih tetap memberlakukan subsidi yang tinggi serta hambatan dalam bentuk proteksi secara luas.

Dampak yang harus dirasakan oleh negara berkembang adalah kehancuran pertanian domestik. Pertanian negara maju didukung produksi pertanian yang cukup efisien dan juga diperkuat dengan infrastruktur pemasaran dan perdagangan yang cukup baik dan efisien yang dapat menghemat biaya ekspor. Pada khirnya keterbukaan import akan mengancam sektor pertanian negara berkembang. Para petani gurem dengan pola pertanian tradisional tentunya akan kalah bersaing dengan pola pertanian negara maju.

Agenda utama perjanjian internasional Agreement on Agriculture (AoA) ini tidak lain adalah keharusan bagi negara-negara berkembang untuk mengurangi subsidi dan mengurangi hambatan-hambatan perdagangan pertanian. Alih-alih sebagai tujuan AoA adalah liberalisasi perdagangan produk-produk pertanian dengan alasan untuk menanggulangi kekurangan pangan. Namun, alasan itu hanya menjadi kedok negara-negara maju saja yang ingin mengusai pasar produk pertanian di negara-negara berkembang yang notabene jumlah penduduknya besar dan tingkat konsumsinya tinggi terutama untuk pangan. Akhirnya, terbukti bahwa perjanjian sebagaimana tertuang dalam AoA hanyalah janji-janji kosong belaka. Segala macam aturan permainan yang dibuat oleh WTO beserta dua saudaranya IMF dan World Bank jauh dari upaya memberantas kelaparan, kemiskinan, dan mengangkat kedaulatan ekonomi petani-petani kecil, liberalisasi pertanian justru semakin menciptakan suatu sistem pangan global yang terstruktur secara sepihak yaitu pihak negara-negara maju. Disatu sisi, sistem tersebut hanya melayani pelbagai kepentingan para penguasa (terutama penguasa kapital) semata, dan pada sisi yang lain, fungsi ini berjalan seraya terjadi penindasan dan penghisapan terhadap barisan petani-petani miskin negara berkembang di seluruh dunia.

Sumber:

Khudori, Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap Kejahatan Industri Pangan, Resist Book, 2004.



[get this widget]

0 comments: