Juni 02, 2008

GLOBALISASI DAN LINGKUNGAN HIDUP


Stiglitz dalam bukunya Globalization Work : Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil, salah satunya memaparkan mengenai dampak globalisasi bagi lingkungan hidup. Globalisasi ternyata belum menangani secara memuaskan masalah lingkungan hidup global. Tesis dasar yang diajukan oleh Stiglitz adalah bahwa manusia dapat mengambil kekuatan ekonomi dari globalisasi yang sejauh ini telah menghancurkan lingkungan hidup dan membuatnya bekerja untuk melindungi lingkungan hidup. Stiglitz pertama hendak memaparkan mengenai tegangan hak milik bersama. Problem mendasar dari hak milik bersama adalah adanya tragedi berkaitan dengan hak milik bersama. Tragedi ini terjadi karena adanya dua sikap dalam pengelolaan hak milik bersama baik itu secara privatisasi maupun campur tangan pemerintah terhadap barang-barang bersama. Permasalahan ini adalah dilema mendasar dari manajemen barang milik bersama karena berdasarkan sejarah, baik pengelolaan privat maupun publik tidak bisa terus menerus menghasilkan efisiensi dan keadilan. Suatu negara mungkin dapat menerapkan kebijakan bagi barang publik dalam negaranya namun apabila negara-negara dihadapkan pada cara pengelolaan barang publik yang sifatnya global maka penanganannya pasti tidak mudah. Permasalahan publik global yang hendak diangkat adalah pemanasan global. Banyak negara terancam bahaya pemanasan global, sebut saja Bangladesh dan kepulauan Maladewa dll. dengan berbagai penelitian yang sudah dilakukan ternyata negara-negara ini mendapat ancaman serius apabila terus-menerus terjadi pemanasan global. Sayangnya, kedua negara tersebut menderita ancaman pemanasan global yang disebabkan oleh negara lain diluar dirinya. Mereka hanya mendapatkan akibatnya saja. Fenomena-fenomena semacam ini menggugah negara-negara di dunia untuk menangani permasalahan pemanasan global secara serius. Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim sudah ditandatangani pada tahun 1992 guna menyusun sebuah prosedur untuk perjanjian yang membatasi emisi. Pertemuan-pertemuan tersebu mencapai puncaknya pada saat diadakan di Kyoto pada tahun 1997. Pokok yang hendak dibahas dalam pertemuan ini adalah kesepakatan untuk mengurangi emisi gas-gas rumah kaca secara adil dan efisien, mengurangi pengeluaran ekonomi dengan membagi beban secara merata di semua negara di dunia. Seruan yang dilangsungkan adalah dengan mengharuskan negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas-gas tersebut. Ironisnya, Amerika Serikat sebagai salah satu negara maju yang menghasilkan emisi gas paling besar justru tidak mau menandatangani perjanjian tersebut. Amerika Serikat menghasilkan hampir 25% dari seluruh gas rumah kaca. Amerika Serikat juga tidak mau membayar beban biaya emisi gas sebagai penerapan kebijakan lingkungan hidup dengan alasan ketidakmampuan ekonomi. Penolakan protokol Kyoto oleh Amerika Serikat menunjukkan bahwa perlu dibutuhkan beberapa cara untuk menekan negara-negara di dunia agar mau ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan hidup. Hal lain yang pantas dicatat adalah hubungan antara WTO dan Amerika Serikat. WTO senantiasa mendukung apa yang dibuat oleh Amerika Serikat khususnya dalam hal kebijakan-kebijakan perdagangan seperti pemberlakuan sanksi perdagangan bagi suatu negara yang melanggar peraturan. Namun, dalam hal ini apabila yang bersalah adalah Amerika Serikat sendiri ternyata WTO juga tidak serta-merta memberikan peringatan.

Pada bagian akhir bab ini, Stiglitz memberikan beberapa usulan untuk mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer dengan cara yang paling efektif. Perhatian utama difokuskan pada pengurangan emisi padahal ada cara lain yang bisa dilakukan yaitu dengan memindahkan karbondioksida dari atmosfer dan meyimpannya. Mekanisme seperti ini biasanya dilakukan oleh pohon-pohon, oleh karena itu penanaman pohon atau pelestarian hutan sangat dianjurkan dalam usaha ini. Prakarsa ini ternyata mendapat respon positif justru dari negara-negara berkembang.

Protokol Kyoto merupakan sebuah pendekatan alami terhadap pemanasan global. Emisi yang berlebih menjadi pokok permasalahan yang diangkat. Namun, ternyata tidak mudah untuk mencapai kebijakan global yang bisa ditaati oleh semua negara di dunia. Amerika Serikat mangkir dari keputusan pertemuan ini dengan alasan ketidakadilan dan tidak kuat membayar biaya pengurangan emisi. Padahal Amerika Serikat merupakan penghasil emisi paling besar di dunia. Konsep protokol Kyoto sebenarnya sangat simpel yaitu membuat setiap orang membayar apa yang telah mereka lakukan dalam hal ini mereka membayar untuk polusi yang mereka ciptakan. Maka setiap negara di dunia perlu membayar pajak emisi karbon. Masalah lebih lanjut yang muncul adalah penentuan jumlah pembayaran yang adil bagi setiap negara. Negara-negara berkembang seharusnya tidak dipaksa memikul beban ekonomi untuk mengurangi polusi, karena sangat tidak adil memaksa negara-negara berkembang membayar kesalahan yang dilakukan oleh negara maju. Padahal negara-negara berkembang sendiri juga sedang berusaha untuk berkembang dan keluar dari kemiskinan. Ketegasan dalam pemberlakuan kebijakan ini memang perlu dilakukan terutama kepada Amerika Serikat selalu mangkir dari peraturan ini oleh karena itu sanksi perdagangan perlu diterapkan. Begitupula kalau melihat hasil pertemuan Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali pada bulan Desember tahun kemarin, Amerika Serikat juga masih mangkir dari tanggung jawab lingkungan ini. Peran PBB sebagai lembaga dunia menjadi sangat penting dan perlu bertindak netral disini. Memang, perlu adanya suatu kesadaran kepentingan moral yang sangat mendesak untuk bergabung dengan seluruh negara di dunia dalam menyelesaikan masalah pemanasan global ini.

Sumber:

Joseph Stiglitz, Making Globalization Work : Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil, Mizan, Bandung, 2007.



[get this widget]

0 comments: