September 23, 2008

BURUH PEREMPUAN YANG TERPINGGIRKAN

BURUH PEREMPUAN YANG TERPINGGIRKAN

A. PENGANTAR
Permasalahan buruh seakan tiada habisnya. Demonstrasi kaum buruh seringkali terjadi. Permasalahan yang sering timbul biasanya berkaitan dengan adanya tindak ketidakadilan yang mereka terima dari perusahaan tempat mereka bekerja. Permasalahan upah yang tidak sebanding, kekerasan terhadap pekerja lain, pemutusan hubungan kerja sewenang-wenang, pemaksaan kerja yang melebihi waktu yang ditentukan, uang lembur yang tidak dibayar, jatah cuti yang tidak digenapi, undang-undang buruh yang tidak memberikan jaminan kerja dll , merupakan permasalahan yang biasanya dihadapi oleh kaum buruh. Masalah ketenagakerjaan merupakan salah satu sumber keprihatinan Gereja, bahkan merupakan tema utama ensiklik Rerum Novarum dan beberapa ensiklik lain yang diterbitkan oleh Paus selanjutnya seperti, Gaudium et Spes, Laborem Excercens, Solicitudo Rei Socialis dll. Artinya, sejak awal mula keterlibatan sosial Gereja, masalah ini telah digeluti oleh Gereja terutama yang menyangkut urusan kesejahteraan kaum pekerja dan upah yang adil . Keterlibatan Gereja dalam masalah-masalah sosial ini pertama-tama karena Gereja peduli dengan kehidupan mereka yang lemah, maka tujuan keterlibatan ini adalah demi kesejahteraan bersama (bonum commune) . Kesejahteraan bersama adalah suatu kondisi kehidupan sosial yang memungkinkan semua kelompok sosial manapun masing-masing anggotanya untuk mencapai kesempurnaannya sendiri secara lebih penuh dan lebih mudah . Permasalahan mengenai kerja dan buruh dalam wacana umum masuk dalam kajian etika bisnis. Prinsip-prinsip etika sangat diperlukan oleh sebuah perusahaan dan pekerjanya supaya terwujud suatu kesejahteraan bersama atau paling tidak atau sekurang-kurangnya tidak terjadi ketidakadilan dalam hal kerja. Tulisan ini hendak membahas mengenai ketidakadilan yang dialami kaum buruh yang disebabkan oleh struktur sosial. Diskriminasi kerja, kekerasan dan pelecehan seksual merupakan topik yang hendak diangkat melalui tulisan ini.

B. POKOK PERMASALAHAN YANG DIANGKAT
Perusahaan kadangkala menempatkan kaum buruh perempuan dalam struktur yang tidak adil, mulai dari pembatasan jumlah buruh yang bekerja di perusahaan sehingga jumlah buruh perempuan lebih sedikit daripada jumlah buruh laki-laki, serikat buruh yang tidak mampu menampung dan menyalurkan segala permasalahan yang sebenarnya secara nyata terjadi dalam kerja, ulah majikan yang bisa secara langsung memberhentikan kaum buruh apabila mengajukan permasalahan yang terjadi karena tidak adanya undang-undang yang menjadi pegangan bersama. Sigkatnya kaum buruh perempuan dalam perusahaan tersebut mengalami ketidakadilan yang terstruktur. Hal ini dapat dilihat dari kacamata Ajaran Sosial Gereja bahwa ketidakadilan yang dialami buruh tersebut disebabkan adanya struktur dosa. Struktur dosa dalam kaitanya dengan masalah ini hanya dapat diatasi dengan adanya solidaritas antara buruh dengan majikan atau perusahaan.

C. STRUKTUR DOSA DALAM KONTEKS PERUSAHAAN
Struktur adalah seperangkat lembaga dan praktek yang ditemukan orang telah ada atau yang mereka ciptakan, pada tingkat nasional maupun internasional, dan yang mengarahkan atau mengorganisasikan kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Struktur ini seringkali cenderung konstan dan membeku, sebagai mekanisme yang secara relatif tidak tergantung pada kehendak manusia. Akibatnya struktur ini justru melumpuhkan atau membelokkan perkembangan sosial dan menyebakan ketidakadilan . Menurut Ajaran Sosial Gereja, yang merupakan penegasan dari ajaran paus sebelumnya yang sudah diajarkan dalam Reconciliatio et Paenitentiae, Paus Yohanes Paulus II memaparkan tentang dosa sosial yang dipahami sebagai hasil akumulasi dosa-dosa pribadi. Ia adalah tempat bagi dosa-dosa pribadi mereka yang menyebabkan atau mendukung kejahatan atau mengeksploitasinya, mereka yang sebenarnya mampu menghindarinya, menghilangkannya atau paling tidak membatasi kejahatan-kejahatan sosial tertentu tetapi tidak melakukannya karena malas, atau sikap diam bersama, melalui keterlibatan rahasia atau ketidakpedulian, mereka yang melarikan diri dalam ketidakmungkinan yang disangka benar mengenai perubahan dunia, dan juga mereka yang mengelak dari usaha dan pengorbanan yang dituntut, yang menghasilkan alasan-alasan palsu dalam tingkatan yang lebih tinggi . Lebih lanjut pemahaman mengenai struktur dosa ini ditegaskan kembali oleh Paus dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis. Paus menegaskan bahwa struktur-struktur dosa berakar dalam dosa pribadi, dan karenanya selalu terkait dengan tindakan konkret individu-individu yang memperkenalkan struktur-stuktur tersebut, mengukuhkannya, dan membuatnya sulit dihilangkan. Dosa-dosa dalam masyarakat dan struktur-struktur berdosa yang tersusun ke dalam sistem-sistem yang saling memperkuat satu sama lain, maka mereka menjadi lebih kuat, menyebar, menjadi sumber dosa-dosa lain dan sangat mempengaruhi tindakan masyarakat . Penumpukan dan penyatuan dosa-dosa pribadi ini membangun suatu sistem yang akan menciptakan pengaruh-pengaruh dan halangan-halangan yang jauh melampaui tindakan dan langkah hidup individu.
Ada suasana dilematis yang dihadapi kaum perempuan. Kaum perempuan seringkali mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh buruh laki-laki, buruh perempuan seringkali dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya diluar batas kemampuannya. Buruh perempuan tidak mempunyai kekuatan untuk melawan karena mereka adalah kaum minoritas di perusahaan tersebut dan mereka akan selalu berada di pihak korban. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya undang-undang yang dapat melindungi hak-hak mereka dan terlebih lagi quota buruh perempuan lebih sedikit dari pada buruh laki-laki. Forum serikat buruh tidak mampu melindungi hak kaum pekerja perempuan karena tidak mempunyai kekuatan untuk melawan dominasi kebijakan perusahaan dan terlebih keputusan-keputusan yang diambil serikat buruh selalu memojokkan kaum perempuan karena dominasi jumlah pekerja laki-laki. Suasana dilematis ini semakin mendapat legitimasinya ketika kaum buruh memang sungguh sangat membutuhkan pekerjaan sebagai buruh tambang sebagai satu-satunya mata pencaharian yang diharapkan mampu mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Ketidakadilan ini akan semakin terus-menerus terjadi seakan menjadi lingkaran dosa yang tiada terputus. Tindakan tidak adil satu orang menyebakan adanya dosa pribadi, dosa satu pribadi menyebabkan dan mempengaruhi timbulnya dosa-dosa lain sehingga muncullah apa yang dinamakan dosa bersama atau dosa sosial yang terus menerus terjadi sehingga pada akhirnya menjadi struktur dosa.

1. Pembedaan Pekerjaan (Job Descrimination)
Manuel Velasques menjelaskan mengenai pembedaan pekerjaan sebagai suatu bentuk deskriminasi. Menurut Velasques, diskriminasi tenaga kerja berarti membuat keputusan (atau serangkaian keputusan) yang merugikan pegawai (atau calon pegawai) yang merupakan anggota kelompok tertentu karena adanya prasangka yang secara moral tidak dibenarkan terhadap kelompok tersebut. Diskriminasi dalam ketenagakerjaan melibatkan tiga elemen dasar: Pertama, keputusan yang merugikan seorang pegawai atau lebih (atau calon pegawai) karena bukan didasarkan pada kemampuan yang dimiliki, misalnya dalam melaksanakan pekerjaan tertentu, senioritas, atau kualifikasi-kualifikasi yang secara moral dianggap sah lainnya. Kedua, keputusan yang sepenuhnya (atau sebagian) diambil berdasarkan prasangka rasial atau seksual, stereotipe yang salah, atau sikap lain yang secara moral tidak benar terhadap anggota kelompok tertentu dimana pegawai tersebut berasal. Ketiga, keputusan (atau serangkaian keputusan) yang memiliki pengaruh negatif atau merugikan pada kepentingan-kepentingan pegawai, yang mungkin mengakibatkan mereka kehilangan pekerjaan, kesempatan memperoleh kenaikan pangkat, atau gaji lebih baik .
Bermula dari adanya mekanisme ketidakadilan berupa pembedaan kerja antara laki-laki dan perempuan akhirnya memicu bentuk-bentuk ketidakadilan lainnya. Permasalahan ini dapat terjadi dengan mudah karena adanya sistem quota jumlah pekerja perempuan yang tidak sebanding dengan pekerja laki-laki. Pembedan kerja semacam ini sunnguh merupakan kebijakan yang disengaja oleh perusahaan dan akhirnya menjadi mekanisme pembagian kerja. Sifat pembedaan kerja dalam perusahaan tambang menjadi kebijakan yang disengaja dan terinstitusionalisasi dengan sendirinya. Pihak yang akan menjadi korban tentunya adalah pihak perempuan karena mereka masuk dalam kelompok minaritas.
Mekanisme pembedaan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin ini jelas merupakan kebijakan yang tidak etis. Pembedaan pekerjaan dapat diantisipasi dengan menempatkan pekerja bukan didasarkan pada jenis kelamin, ras, agama dll., namun didasarkan pada kompetensi atau pengalaman konkret dari pekerja sendiri .

2. Pelecehan Seksual (Sexual Harrasment)
Bentuk lain pemicu struktur dosa adalah tindakan pelecehan seksual. Kaum perempuan merupakan korban dari salah satu bentuk diskriminasi yang terang-terangan dan koersif yaitu bahwa mereka menghadapi kemungkinan pelecehan seksual. Equal Employment Opportunity Commission mempublikasikan serangkaian pedoman untuk mendefinisikan pelecehan seksual dan menetapkan apa yang menurut mereka sebagai tindakan melanggar hukum. Pedoman tersebut menyatakan: “rayuan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk melakukan hubungan, dan kontak verbal atau fisik lain yang sifatnya seksual merupakan pelecehan seksual apabila: Pertama, sikap tunduk terhadap tidakan teresebut secara eksplisit ataupun implisit dikaitkan dengan situasi atau syarat-syarat kerja seseorang. Kedua, sikap tunduk atau penolakan terhadap tindakan tersebut digunakan sebagai dasar untuk membuat keputusan yang berpengaruh pada individu yang bersangkutan. Ketiga, tindakan tersebut bertujuan mengganggu pelaksanaan pekerjaan seseorang atau menciptakan lingkungan kerja yang diwarnai dengan kekhawatiran, sikap permusuhan, atau penghinaan”. Pedoman tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa pelecehan seksual dilarang dan bahwa pengusaha atau perusahaan bertanggung jawab atas semua tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh para pekerja baik itu yang diketahui ataupun seharusnya diketahui oleh perusahaan dan tidak menjadi masalah apakah tindakan tersebut dilarang oleh perusahaan.
Pedoman ini secara moral dibenarkan karena dimaksudkan untuk mencegah terjadinya situasi yang memungkinkan terjadinya tindakan pelecehan seksual yang disertai ancaman yang berimplikasi pada pekerjaan. Pelecehan seksual terhadap kaum perempuan ini bukan saja menciptakan kerugian psikologis namun juga melanggar kebebasan dan martabatnya sebagai manusia. Tindakan pelecehan ini merupakan penyalahgunaan kekuasaaan yang sangat tidak adil terhadap pekerja. Pedoman ini juga mencakup tindakan-tindakan yang menciptakan lingkungan kerja yang diwarnai dengan kekhawatiran, sikap permusuhan, atau penghinaan. Perusahaan dianggap bersalah apabila menciptakan lingkungan kerja yang memusuhi atau ofensif terhadap perempuan.
Dari uraian diatas nampak bahwa pemicu terjadinya struktur dosa bisa beraneka ragam. Kebijakan atau keputusan tidak adil yang dibuat perusahaan akan memunculkan suatu permasalahan yang merugikan pekerja. Sistem-sistem terstruktur dari perusahaan yang mengabaikan kebaikan bersama ini akan memudahkan orang bertindak tidak adil dan merugikan pihak lain. Oleh karena itu, pelaku ketidakadilan bukan saja pada individu perseorangan saja namun juga menyangkut jaringan struktural dalam perusahaan. Permasalahan terstruktur ini kiranya tidak dapat dicegah dengan hanya mengambil kebijakan yang menyangkut perseorangan saja atau pelaku konkret ketidakadilan, namun kebijakan yang perlu diambil hendaknya juga memperhatikan sistem yang memungkinkan orang atau perusahaan berbuat tidak adil yaitu dengan cara memperbaiki sistem-sistem perusahaan yang merugikan.

D. SOLIDARITAS SEBAGAI USAHA MELAWAN STRUKTUR DOSA
Akumulasi dosa-dosa pribadi yang membentuk dosa sosial atau struktur dosa merupakan permasalahan yang sangat kompleks. Pertanyaan selanjutnya: kita harus memulai dari mana untuk memutus atau mematahkan lingkaran dosa tersebut. Ada beberapa pekerja perempuan yang menerima begitu saja perlakuan asusila dari pekerja laki-laki, ada yang bersikap acuh tak acuh kendati dalam dirinya ada konflik batin, ada yang berkehendak melaporkan kepada pimpinan namun ternyata pimpinan perusahaan pun masuk dalam struktur dosa tersebut. Sungguh, para pekerja perempuan mengalami dilema moral. Dilema moral terjadi apabila seseorang tidak mempunyai nilai tawar terhadap pilihan-pilihan yang harus diambil dan diputuskan, dengan kata lain sesorang dihadapkan pada pilihan yang serba tidak menguntungkan dan sama-sama berat.
Dalam konteks Ajaran Sosial Gereja, permasalahan ini sebenarnya hampir mirip dengan permasalahan yang dialami Gereja ketika pertentangan antara blok Barat dan Blok Timur masih terjadi. Dunia yang terbelah menjadi dua blok dengan dasar ideologi masing-masing yang sangat ketat akhirnya memunculkan imperialisme. Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa pertentangan ini berakibat terhadap negara-negara miskin. Bapa Suci mengibaratkannya sebagi nafsu memakan segala-galanya demi keuntungan dan rasa haus kuasa dengan tujuan memaksakan kehendak seseorang atas orang lain . Oleh karena bentuk imperialisme yang mengakar dan sungguh merendahkan martabat manusia yang lemah ini memberikan inspirasi baginya, Paus mengajak untuk mengembangkan konsep solidaritas. Kata ini memiliki getaran istimewa baginya dari istilah solidarność, yang diambil oleh gerakan persatuan dagang Polandia dalam perjuangannya melawan otoritas komunis. Menurut Paus, struktur dosa hanya dapat dikalahkan oleh sikap yang berkebalikan total yaitu suatu komitmen untuk kebaikan sesama dengan suatu kesiapan untuk menyangkal diri demi orang lain daripada memanfaatkannya dan untuk melayaninya daripada menyerangnya demi keuntungan diri. Apa yang dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II di sini adalah sebuah gagasan bahwa solidaritas merupakan lawan bagi dosa struktural. Secara tegas Sollicitudo Rei Socialis memaparkan tentang makna solidaritas. Solidaritas dipahami bukan sebagai perasaan belas kasihan banyak orang, dekat maupun jauh. Sebaliknya, solidaritas ialah tekad yang teguh dan tabah untuk membaktikan diri kepada kesejahteraan umum, artinya kepada kesejahteraan semua orang dan setiap perorangan karena kita ini semua sungguh bertanggung jawab atas semua orang . Dengan prinsip solidaritas ini, manusia bersama dengan sesamanya diharapkan ikut menyumbang kesejahteraan bersama di segala tingkatan. Solidaritas sungguh terselenggara apabila sesama warga saling mengakui sesamanya sebagai pribadi.

E. TINDAKAN AFIRMATIF SEBAGAI BENTUK SOLIDARITAS
Lebih lanjut Manuel Velasques mempaparkan mengenai tindakan afirmatif sebagai Salah satu bentuk solidaritas yang ditawarkan dalam kajian etika bisnis. Banyak perusahaan yang melaksanakan program-program tindakan afimatif yang dimaksudkan untuk mencapai distribusi yang lebih representatif dalam perusahaan dengan memberikan preferensi pada kaum perempuan dan kelompok minoritas. Tindakan afirmatif dilakukan oleh perusahaan sebagai usaha menghapus pengaruh-pengaruh masa lalu. Program-program tindakan afirmatif pada saat ini telah ditetapkan sebagai kewajiban bagi semua perusahaan yang menandatangani kontrak dengan pemerintah. Inti program tindakan afirmatif adalah sebuah penyelidikan yang mendetail atas semua klasifikasi besar dalam perusahaan. Tujuan penyelidikan adalah untuk menentukan apakah jumlah pegawai perempuan dan minoritas dalam klasifikasi kerja tertentu, lebih kecil dibandingkan yang diperkirakan dari tingkat ketersediaan kelompok di wilayah tempat tenaga kerja tersebut direkrut.
Tindakan afirmatif ini juga dapat dilihat sebagai suatu bentuk kompensasi yang didasarkan pada prinsip keadilan kompensatif. Keadilan kompensatif memberikan implikasi bahwa seseorang wajib memberikan kompensasi terhadap orang-orang yang dirugikan dengan sengaja. Namun kiranya pernyataan ini perlu dikritisi. Tindakan ganti rugi hendaknya bukan saja dilakukan oleh individu-individu yang melakukan tindakan tidak adil atau yang merugikan para pekerja lainnya, namun hendaknya semua pribadi yang masuk dalam struktur ketidakadilan bertanggung jawab atas terjaminnya keadilan bagi para pekerja yang menjadi korban. Pihak yang mengganti rugi bukan hanya perseorangan namun perusahaan juga dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi bagi para korban karena perusahaan memiliki pengaruh yang besar dan masuk dalam lingkaran struktur ketidakadilan.
Tindakan afirmatif mempunyai tujuan supaya terjadi keadilan yang merata, tindakan ini memang secara moral merupakan cara yang sah untuk mencapai tujuan dan tujuan terakhir adalah untuk menetralkan kelemahan kompetitif yang saat ini dimiliki oleh kaum perempuan dan minoritas dalam persaingan dengan pekerja laki-laki. Tujuan dasar dari tindakan afirmatif adalah terciptanya nasyarakat yang lebih adil, masyarakat dimana kesempatan yang dimiliki seseorang tidak dibatasi oleh ras atau jenis kelaminnya .
Oleh karena itu, pertimbangan-petimbangan yang perlu diperhatikan oleh perusahaan ketika mengambil keputusan tindakan afirmatif perlu memperhatikan kelompok ras dan jenis kelamin. Hal ini dimaksudkan supaya tidak ada diskriminasi kepada kaum perempuan dan kaum minoritas dalam perusahaan, kendati memang ada jenis-jenis pekerjaan yang hanya dipercayakan hanya kepada laki-laki atau perempuan saja dengan pertimbangan keselamatan. Oleh karena itu, perusahaan juga perlu merancang perekrutan pegawai secara inovatif supaya tidak terjadi dikriminasi namun juga perusahaan tersebut tidak akan terancam kolaps atau mengalami kebangkrutan karena terlalu menekankan dan memprioritaskan perekrutan pagawai dari kalangan kaum perempuan dan minoritas yang belum memiliki kualifikasi seturut standart perusahaan.

F. PENUTUP
Membahas kajian moral-tranformasi dalam dunia perusahaan tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip etika secara khusus etika bisnis. Masalah-masalah yang biasa terjadi dalam perusahaan merupakan masalah-masalah yang tidak hanya menyangkut pribadi-pribadi melainkan menyangkut banyak orang dan lembaga perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu tanggung jawab moral tidak dapat seluruhnya diletakan pada individu saja, melainkan juga pada masyarakat sekitar individu dan dalam konteks perusahaan adalah lembaga perusahaan itu sendiri beserta stuktur-struktur yang ada didalamnya. Tindakan-tindakan pekerja yang tidak adil, kasus-kasus yang terjadi dan merugikan dan juga struktur-struktur yang diskriminatif dalam perusahaan hanya dapat dilawan dengan solidaritas. Nilai solidaritas menjadi jalan masuk untuk membongkar situasi atau struktur dosa yang telah terjadi di perusahaan tersebut.
Solidaritas mau menunjuk suatu tindakan yang senantiasa didasarkan pada tujuan demi kesejahteraan semua orang atau rasa tanggung jawab seseorang terhadap orang lain. Konsep solidaritas yang ditawarkan dalam pembahasan ini adalah tindakan afirmatif. Tindakan afirmatif merupakan tindakan yang perlu diusahakan oleh suatu perusahaan demi terciptanya kesejahteraan bersama baik itu antar para pekerja maupun juga dengan majikan.


DAFTAR PUSTAKA
R. Hardawiryana, S.J., (alih bahasa)
1999 Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai Centesimus Annus, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta.

Kate Troy,
2005 From a Hostile Work Environment to a Hostile Courtroom: Heroes, Victims, and Martyrs, Center on Women and Public Policy Case Study Program Humphrey Institute of Public Affairs University of Minnesota, Minnesota.

Koerniatmanto Soetoprawiro,
2003 Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme: Memahami Keterlibatan Sosial Gereja, Kanisius, Yogyakarta.

Paul Valey (ed.),
2007 Cita Masyarakat Abad 21: Visi Gereja Tentang Masa Depan, Kanisius, Yogyakarta.

Soetoprawiro,
2006 Prinsip Keterlibatan Sosial Gereja (Seri Pastoral 390), Pusat Pastoral Yogyakarta, Yogyakarta.

Kusmana, Ganjar, SH.,
2005 “Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Kondisinya di Indonesia dan Cara Mengatasinya”, dalam Informasi Hukum Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, www.nakertrans.go.id, diunduh pada 10 Desember 2007.

Ninuk Mardiana Pambudy,
2007 “Jangan Tunda Perlindungan bagi TKI”, www.kompas.co.id, 17 September 2007, diunduh pada 10 Desember 2007.

-------------,
2007 “Buruh Perusahaan Jepang Berunjuk Rasa: Menolak Penutupan Perusahaan dan PHK”, www.kompas.co.id, 26 Oktober 2007, diunduh pada 10 Desember 2007.

[get this widget]

0 comments: