April 08, 2008

Menuju Perdamaian Antar Umat Beragama

A. Pengantar

Wacana mengenai pluralisme agama seakan-akan tidak ada habisnya untuk dibahas. Kitapun tidak memungkiri bahwa wacana tersebut semakin hari semakin berkembang. Banyak hal telah dilakukan untuk menanggapi wacana pluralitas agama tersebut, mulai dari diskusi, sarasehan, talk show, doa bersama dll. Keberagaman agama yang ada di Indonesia ini telah memunculkan berbagai dampak, baik dampak-dampak yang positif, seperti tampak dalam kehidupan keseharian masyarakat pada umumnya yang sangat rukun, saling menghormati, saling bekerjasama satu sama lain. Namun kita juga tidak bisa memungkiri munculnya dampak-dampak negatif di sisi lainnya, seperti konflik agama yang terjadi di berbagai daerah, perselisihan yang berlatar belakang agama, munculnya wacana agama mayoritas dan minoritas.

Nah, yang menjadi persoalan adalah pandangan bahwa apakah agama itu memang benar menjadi sumber konflik yang terjadi atau malahan para pemeluknya sendiri? Dalam tulisan ini saya mau mengajak dan menganalisa terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, terutama mengenai pandangan manusia terhadap pluralisme. Mengapa ada paham mengenai pluralisme agama? Bagaimana sikap gereja sendiri berkaitan dengan pluralisme agama tersebut? Bagaiman mewujudkan perdamaian antar umat beragama? Apak dialog masih relevan untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut guna mewujudkan suatu perdamaian antar (umat) agama?


B. Pandangan Mengenai Agama

Wacana mengenai pluralisme agama tidak bisa dilepaskan dari berbagai agama itu sebagai pokok pembicaraan. Berkat agama-agama yang ada, hal ini dihayati oleh banyak orang pula maka pandangan mengenai pluralisme agama itupun muncul. Pluralisme agama dilatarbelakangi oleh situasi dimana lingkungan tempat tinggal seseorang terdapat lebih dari satu macam agama yang dihayati oleh penduduknya. Sayapun tidak memungkiri bahwa saya mengakui adanya wacana pluralisme agama karena saya tinggal dalam masyarakat yang menghayati agama yang berbeda-beda satu sama lainnya. Itulah kenyataan yang ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia sekarang ini. Namun bahayanya ketika pluralisme ini disalah tafsirkan, dalam artian bahwa pluralisme dipahami bukan sebagai suatu keberagaman agama yang dianut oleh banyak orang, namun dipandang sebagai suatu perbedaan agama. Kadangkala pandangan semacam inilah yang menjadi pemicu konflik antar umat beragama di Indonesia.

Marx mengungkapkan bahwa agama adalah candu masyarakat, tetapi sebenarnya agama lebih berbahaya daripada candu. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya. Untuk mengagungkan perasaaan dan pendapat mereka sendiri diatas perasaaan dan pendapat orang lain. Agama dijadikan alat untuk mengklaim diri mereka sebagai pemilik kebenaran tunggal. Fungsi agama telah diubah citranya menjadi alat yang menina-bobokan dengan janji penyelamatan diatas kelaparan dan penderitaan massa. Lembaga agama dan pemimpin agama telah memainkan peranan di luar misi agama sebagai pengemban kasih dan pembela hak kaum tertindas. Agama bukannya mendukung perubahan sosial yang akan membahagiakan lapisan mayoritas, tetapi sebaliknya menjadi alat pelegalisasian kekuasaan pemerintah yang menguntungkan segelintir elite saja. [1]

Konflik antar umat beragam yang masih terjadi di berbagai daerah di Indonesia maupun di berbagi negara lain pafda umumnya seakan membenarkan pandangan Marx tersebut. Meskipun persoalan yang muncul dari konflik antar umat beragama seringkali bercampur aduk antara masalah ekonomi, politik, sosial namun faktor agama seakan memberikan peranan yang amat penting. Salah satu point yang kiranya sering dijadikan perdebatan dalam wilayah agama adalah cara berfikir agama (religion’s way of knowing) yang ditandai dengan klaim kebenaran (truth claim) dan klaim mengenai keselamatan (salvation claim).[2]

Seringkali orang berpandangan bahwa agamanya adalah agama yang paling benar. Agamnya adalah agama yang berasal dari Tuhan. Agamanya adalah satu-satunya agama yang menjanjikan keselamatan, pencerahan maupun pembebasan, sedang agama lain adalah agama yang sesat karena tidak mempunyai jalan keselamatan atau hanya berhubungan dengan agamanya saja. Maka klaim akan mengadili bahwa agamanya adalah agama yang paling benar paling sejati yang berasal dari Tuhan. Disamping itu masih banyak klaim-klaim lain tentang agamanya. Apakah kita juga akan berpandangan seperti itu ?

John Hick seorang teolog gereja Anglikan dalam bukunya yang berjudul The Rainbow of Faith memaparkan bahwa setiap agama besar yang ada di dunia mempunyai beragam perbedaaan namun mempunyai satu kesamaan dalam cara memahami, mengalami dan menanggapai Realitas Asali dalam kehidupan yang mereka sebut dengan Tuhan. Hick mendefinisikan agama sebagai ragam tanggapan manusia terhadap Yang Transenden. Keberagaman agama ini memungkinkan manusia menaggapi Yang Transenden secara berbeda-beda, namun apa yang dituju tetaplah sama yaitu realitas Yang Tertinggi yang disebut dengan Tuhan.[3]

Saya terkesan dengan penggambaran John Hick mengenai agama. Ia melukiskannya sebagai sebuah pelangi. Seumpama kita melihat pelangi yang muncul kita akan terpesona dibuatnya. Hick menggambarkan pelangi itu ada karena pembiasan sinar matahari oleh atmosfer bumi sehingga menghasilkan aneka warna yang gemilang namun menjadi satu kesatuan yang indah. Pelangi itu menjadi indah karena warnanya membentuk menjadi satu kesatuan. Hal ini melambangkan sebagai suatu pembiasan Cahaya Ilahi dari beragam tanggapan manusia. Cahaya Ilahi tersebut dibiaskan dengan beragam cara. John Hick menyimpulkan ragam tanggapan manusia, agama tersebut dalam judul bukunya The Rainbow of Faith.


C. Tantangan Pluralisme Agama

Ketika saya membaca buku yang berjudul The Rainbow of Faith karya John Hick, saya terkesan dengan John Hick yang memaparkan tentang pandangannya mengenai pluralisme agama. John Hick mencantumkan karya Jalaludin Rumi dalam tulisan-tulisannya. Jalaludin Rumi adalah seorang sufi penyair mistik terbesar Persia. Ia lahir pada tahun 1207 dan meninggal pada tahun 1273. Memang kita mengetahui bahwa ia hidup pada abad ke-13 sedang John Hick hidup pada abad ke-20, namun ada titik tolak pandangan yang hampir sama diantara keduanya. Hal ini mungkin dilatar-belakangi oleh situasi pluralisme agama yang sedang berkembang dalam kehidupan mereka masing-masing. Jalaludin Rumi melihat bahwa pluralisme agama sebagai sumber adanya konflik atau perselisihan antar agama yang terjadi. Rumi melihat bahwa perselisihan paham antar umat beragama terjadi karena mereka melihat agamanya masing-masing secara sendiri. Mereka tidak melihat adanya kesatuan yang hakiki pada setiap agama sebagai hasil dari suatu perenungan yang seksama dan menyeluruh karena mereka telah demikian terbelenggu oleh pikiran-pikiran formal dan tradisional. Rumi menegaskan betapa sulitnya mengenal hakikat agama, hanya dari segi formal saja atau satu sudut pandang saja. Rumi melukiskan pandangannya ini dalam sebuah kisah tentang Gajah di Rumah Gelap:

Adalah seekor gajah di rumah yang gelap:

beberapa orang Hindu membawanya untuk dipertunjukkan.

Karena melihat dengan mata tidak mungkin, setiap orang merabanya dengan tangannya.

Tangan yang seorang menyentuh belalainya: ia berkata, “Makhluk ini seperti pipa air.” Yang lain meraba telinganya: baginya gajah tampak seperti kipas.

Yang lain memegang kakinya : ia berkata, “Aku dapati bentuk gajah itu seperti

sebuah tiang.”

Yang lain meletakkan tangannya di punggungnya : ia berkata, ”Sesungguhnya gajah ini menyerupai singgasana.”

Setelah masing-masing memansang lilin di tangannya, perbedaan pun akan lenyap

dari kata-kata mereka.[4]

Rumi menegaskan bahwa selama orang masih berpegang kepada pandangan-pandangan yang sempit tentang hakikat agama, selama masih belum mampu melihatnya secara keseluruhan maka kecenderungannya akan terus berada dalam perselisihan paham agama.

Dalam syairnya yang lain Rumi mengemukakan secar alegoris bahwa pertentangan dan perbedaan diantara agama-agama hanyalah mengenai kulit luarnya dan soal penamaan saja. Tetapi ketika orang-orang telah memahami hakikatnya yang terdalam, perselisihan dan pertentangan itu akan segera berakhir. Hal tersebut dikisahkan Rumi dalam syairnya sebagai berikut:

Empat orang manusia t’lah diberi sekeping uang.

Yang pertama adalah seorang Persia. Dia berkata: “Aku akan belikan uang ini

beberapa buah anggur.”

Yang kedua orang Arab. Dia mengatakan: “Tidak, karena saya inginkan ‘inab.”

Yang ketiga orang Turki. Dia berkata, “Saya tidak mau ‘inab saya ingin uzum.”

Yang keempat orang Yunani. Ia mengatakan, “Saya ingin stafil.”

Karena mereka tidak mengetahui apa yang ada di belakang nama-nama sesuatu, keempat orang itu mulai berkelahi. mereka memperoleh informasi tetapi bukan pengetahuan.

Seorang yang bijak datang ke tempat itu dan mencoba mendamaikan mereka,

seraya berkata, “Aku dapat memenuhi kebutuhan kalian semua, dengan keping uang yang satu dan sama. Jika kalian secara jujur memberi kepercayaan padaku,

mata uang kalian yang satu itu akan menjadi empat; dan empat yang diperselisihkan akan menjadi satu kesatuan.”

Orang yang demikian itu mengetahui bahwa tiap-tiap yang diinginkan dalam bahasanya sendiri adalah benda yang sama, anggur.[5]

Konflik yang mendasarkan pada perbedaan agama merupakan suatu kesalahan cara pandang terhadap satu agama saja. Orang menerima pluralitas sebagai suatu perbedaan yang nampak atau dapat dilihat saja, bukan pada hakikat agama itu sendiri. Keberagaman menurut mereka hanya terjadi apabila kita memandang agama-agama yang ada secara formal, tetapi ketika memandang agama-agama itu secara esensial kebekuan formal itu akan mencair dalam kesatuan hakikatnya. Cara pandang inilah yang dihayati oleh para sufi. Sufi sendiri memiliki sikap yang sangat toleran terhadap agama-agama lain. Mereka memandang bahwa di dalam agama-agama yang berbeda itu terdapat kesatuan hakikat mereka.

Hal tersebut nampak sama dengan pemikiran John Hick. John Hick melihat adanya kelemahan mendasar terhadap cara pandang (religion’s way of knowing) orang-orang dewasa ini terhadap agama-agama lain. Orang memandang agama lain dari sudut pandang agamanya sendiri. Akibatnya kebenaran agama lain tidak ditangkap dengan utuh dan selalu tidak lebih baik daripada agamanya sendiri. Itulah yang terjadi dengan paradigma ekslusivistik maupun inkluvistik atas keragamaan agama. Para pemikir pluralistik ingin melampaui cara berpikir seperti itu, yang menurut mereka hanya berbeda dalam tingkat imperialismenya. John Hick yang memakai dasar filosofis untuk posisi pluralistik, misalnya, melakukan sebuah terobosan baru yang disebutnya sebuah tafsiran religius tetapi tidak konvesional atas agama-agama dalam keragaman bentuknya. Menurut Hick, filosof agama dewasa ini harus memperhitungkan tidak hanya pemikiran dan pengalaman dalam agamanya sendiri, tetapi pada dasarnya pikiran dan pengalaman seluruh umat manusia. Hick mendefinisikan agama sebagai ragam tanggapan manusia terhadap Yang Transenden. Patut dicatat, ada banyak tanggapan terhadap realitas transenden yang tunggal. Akan tetapi persoalannya, bagaimana menjelaskan keragaman jawaban itu? Bagaimana menjelaskan perbedaan kepercayaan, bentuk pengalaman, teologi-ajaran, kitab suci, ritus, tata tertib, etika dan cara hidup, aturan dan organisasi sosial, dan sebagaimana? Bagaimana mempertanggungjawabkan klaim kebenaran yang merupakan dasar berpikir khas agama-agama? Persoalan-persoalan itu dijawab Hick dengan hipotesis pluralistik. Agama-agama besar membentuk persepsi dan konsepsi yang berbeda, dan berkaitan dengan itu respons-respons yang berbeda, terhadap Yang Nyata dari dalam tradisi kehidupan atau peradaban besar yang berbeda-beda; dan dalam setiap tradisi itu terjadi transformasi kehidupan manusia dari keberpusatan pada diri sendiri (self-centredness) menuju keberpusatan pada Yang Nyata (reality-centredness). Maka tradisi-tradisi itu harus diakui sebagai alternatif bagi ruang keselamatan yang di dalamnya, atau jalan keselamatan yang melaluinya, pria dan wanita dapat menemukan keselamatan/pembebasan/pemenuhan terakhir. Jadi, semua agama sebagai totalitas sosio-kultural merupakan jalan yang berbeda dalam mengalami, mencerap dan hidup dalam relasi dengan Yang Ilahi. Melalui relasi itu setiap orang beragama mengalami transformasi kehidupan yang disebut keselamatan atau pembebasan. Dan, yang menyebabkan perbedaan agama-agama, bukan sesuatu yang absolut sifatnya, tetapi hanya faktor-faktor partikular berkaitan dengan sejarah dan kebudayaan tertentu. Dengan itu kita dapat melampaui absolutisme tradisional (dalam bentuk klaim ekslusif maupun inklusif atas keselamatan dan kebenaran). Dalam absolutisme tradisional itu, setiap agama menegaskan kepenuhan keselamatan dan kebenaran dalam dirinya, dan penegasan itu dikembangkan dalam struktur kepercayaan yang hanya mengakomodasi agama lain dengan mensubordinasikannya. Dengan interpretasi pluralistik ini kita dimampukan untuk memahami realitas keragaman agama secara koprehensif dan sesuai dengan fakta-fakta dalam sejarah agama-agama.[6]

Pluralisme agama bukanlah sumber perselisihan antar umat beragama. Pertama kita harus mengubah cara berfikir atau cara pandang kita terhadap keberadaan agama lain. Hendaknya kita dapat menerima bahwa ada agama lain dalam kehidupan masyarakat kita ini. Memandang agama lain secara esensial atau masuk dalam hakikat agama yang terdalam. Atau seperti yang disebutkan oleh John Hick bahwa orang harus memahaminya sebagai suatu proses transformasi kehidupan yakni berpijak dari keberpusatan pada diri sendiri (self –centredness) menuju keberpusatan pada Yang Ilahi (reality-centeredness).

Pada dasarnya semua agama mengakui adanya pluralitas karena kenyataanya memang begitu. Itulah realitas yang mau tidak mau dihadapai oleh agama-agama terutama di bumi Indonesia ini. Agama betul-betul menyadari bahwa ada beragam agama di muka bumi ini. Terhadap kenyataan ini agama harus mengambil sikap untuk berusaha memahami pluralisme ini, Cuma mungkin belum sampai dalam praktek kehidupan atau masih sekedar dalam ajaran normatif saja.


D. Sikap Gereja Menanggapi Pluralisme Agama

Konsili Vatikan II telah menandai sikap keterbukaan gereja terhadap keberadaan agama-agama lain. Melalui dokumen Nostra Aetate (Pada Zaman Kita) gereja menunjukkan sikap peduli terhadap berbagai masalah yang timbul dalam masyarakat dunia pada umumnya yang terjadi pada masa sekarang ini. Gereja mengemukakan pandangannya mengenai hubungan gereja sendiri terhadap agama-agama bukan kristiani, terutama dalam tugasnya untuk mengembangkan kesatuan dan cinta kasih antar manusia, bahkan antar bangsa. Dalam perkembangan hingga sekarang ini konsep dasar tentang gereja telah berubah, begitu pula mengenai pandangan tentang rencana keselamatan Allah. Gereja mulai menghargai agama lain secara positif. Gereja sebagai tanda (sakramen) keselamatan yang universal mempunyai tugas untuk mengembangkan kesatuan dan cinta kasih antar sesama manusia dan antar bangsa.[7]

Secara eksplisit gereja tidak menolak apapun yang dalam agama-agama lain serba benar dan suci. Gereja menerima cara bertindak, cara hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran yang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini oleh gereja. Toh hal itu diakui gereja sebagai terang kebenaran yang menerangi banyak orang juga. Gereja mendorong umatnya untuk saling berdialog dan kerjasama dengan para penganut agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta peri hidup kristiani, mau mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio budaya yang terdapat dalam agama-agama lain.[8]

Gereja juga menekankan pandangannya secar khusus kepada agama Islam atau kaum muslimin. Gereja mengkui bahwa sering terjadi konflik antar umat kristiani dan kaum muslimin. Gereja mendorong untuk melupakan peristiwa yang sudah terjadi. Gereja mendorong untuk melatih diri dengan sikap saling memahami dan secara bersama mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, dan mengembangkan nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan bagi semua orang.[9]


E. Dialog : Menuju Perdamaian (Umat) Agama

Berbagi upaya untuk mewujudkan perdamaian antar (umat) agama terus menerus diusahakan. Hal tersebut dipakai sebagai sarana untuk menjembatani perbedaaan pandangan yang sering muncul berkaitan dengan agama. Menurut Rm. Frans Magnis Suseno dialog antar agama merupakan keharusan dan perlu untuk terus-menerus diusahakan karena hanya dengan cara inilah kerukunan antar pemeluk agama bisa diwujudkan.[10]

Dialog mengandaikan bertemunya pribadi-pribadi yang mempraktekan dan menghayatinya, jadi dialog mengandaikan yang berdialog adalah pribadi-pribadi bukan suatu konstitusi. Dialog antar umat beragama hendaknya bukan soal peristiwa yang lahiriah saja, berupa kongress, konferensi, diskusi dll, tetapi terutama peserta dialog itu secara mendalam hendaklah dirasakan sebagai temu hati antar pribadi.[11]

Temu hati antar pribadi mengandaikan bahwa setiap pribadi berkehendak baik untuk mengembangkan perdamaian dalam agama, karena dengan temu hati akan didasari oleh cinta sebagai insan ciptaan Tuhan yang sama tanpa memperdulikan perbedaan agama diantara mereka. Kadangkala memang tidak bisa dipungkiri bahwa dialog yang terjadi hanya dalam kalangan elite agama saja, namun hal itu tidak bisa dilepaskan dengan peran serta umat yang malahan lebih dapat mengahayati dialog antar umat beragama dalam lingkup akar rumput. Dialog itu malahan nampak sekali terwujud dalam kehidupan keseharian mereka. Jadi konflik agama yang terjadi tidak menutup kemungkinan disebabkan oleh kalangan elite agama saja yang terlalu banyak mempermasalahkan kerukunan antar umat beragama.

F. Penutup

Bagi umat beragama sendiri mungkin perlu memperhatikan bahwa dalam situasi pluralisme agama setiap umat beragama harus betul-betul bersedia hidup bersama dengan damai, supaya mereka dapat mengembangkan sikap toleransi yang positif. Umat agama lain tidak hanya dibiarkan tapi dihargai untuk dapat hidup sesuai dengan ajaran agamanya. Saya kira sikap-sikap seperti ini telah tertanam sejak dahulu sebaginilai-nilai moral yang dijunjung tinggi dalam masyarakat, namun kemungkinannya sering tertutupi oleh gejolak transformasi sosial dan pengaruh kepentingan politik dll.

Kita juga perlu untuk membedakan antara pluralisme dengan kebenaran agama. Sikap pluralis mau menerima secara positif dan hormat kepada agama lain bukan berarti harus mengatakan bahwa semua agama sama. Sikap pluralis berarti kita mampu hidup dengan umat beragama yang berbeda dengan kita. Pluralisme juga memerlukan sikap menerima umat yang berbeda. Memang ada persamaan tapi juga ada perbedaan.


Kepustakaan
  1. Hick, John., The Rainbow of Faith, London: SCM Press LTD, 1995.
  2. Kartanegara, Mulyadhi, R., Renungan Mistik Jalal Ad-Din Rumi, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986.
  3. Hardawiryana, Robert, SJ., Dialog Umat Kristiani dengan Umat Pluri-Agama/-Kepercayaan di Nusantara, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
  4. Ramly, Andi Muawiyah., Peta Pemikiran Karla Marx (Materialisme dialektis dan Materialisme Historis), Yogyakarta: LKiS, 2000.
  5. Nicholson, Reynold A., Jalaludin Rumi Ajaran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
  6. Hardawiryana, Robert, SJ. (penterjemah), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993.
  7. Subanar, Budi, SJ., Deklarasi Nostra Aetate Mengantar pada Teologi Agama-Agama, sebuah diktat Matakuliah Nostra Aetate pada fakultas Teologi Wedabhakti.
  8. Paju Dale, Jehan C., Mencari Kriteria Kebenaran Religius Lintas Agama, sebuah artikel dalam harian KOMPAS Jumat 21 Juni 2002.
  9. Dwi Putrohari, Rovicky., Sebagian Besar Agama Menerima Pluralisme, sebuah artikel dari website: The Virtual Geoscience 8 September 2002.

[1] Muawiyah Ramly, Andi, Peta pemikiran Karl Marx (Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis), Yogyakarta: LKiS, 2000. Hal. 164

[2] Paju Dale, Jehan C , Mencari Kriteria Kebenaran Religius Lintas Agama, Jakarta: STF Driyarkara dalam artikel harian KOMPAS Jumat 21 Juni 2002.

[3] Hick, John, The Rainbow of Faith, London: SCM Press LTD, 1995. Hal 1

[4] Kutipan dari Kartanegara, Mulyadhi, Renungan Mistik Jalal Ad-Din Rumi, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986. Hal 92. kutipan asli ada dalam buku Mathnawi, Vol III, Hal 71-72 karya Jalaludin Rumi.

[5] Ibid. hal 94-95. Kutipan asli ada dalam Idries Shah, The Way of the Sufi, hal 111.

[6] Paju Dale, Jehan C , Mencari Kriteria Kebenaran Religius Lintas Agama.

[7] Hardawiryan, Robert, SJ. (penterjemah), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993. dalam dokumen Nostra Aetate artikel 1

[8] Ibid. dokumen Nostra Aetate artikel 2

[9] Ibid. dokumen Nostra Aetate artikel 3

[10] Dwi Putrohari, Rovicky, Sebagian Agama Menerima Pluralisme, sebuah artikel dalam website: The Virtual Geoscience Professor, Minggu 8 September 2002.

[11] Hardawiryana, Robert, SJ., Dialog Umat Kristiani dengan Umat Pluri-Agama/-Kepercayaan di Nusantara, Yogyakarta: Kanisius, 2001. Hal. 15.



[get this widget]

0 comments: