April 06, 2008

ARAH PASTORAL GEREJA YANG MEMBERDAYAKAN DAN MEMBEBASKAN (Kerangka Aplikasi Teologi Feminis dalam Reksa Pastoral Gereja)

 

A. PENGANTAR

Tulisan ini berpijak dari pengalaman konkret penulis sendiri ketika menjalani Tahun Orientasi Pastoral di salah satu paroki di wilayah Klaten dan juga dari peristiwa-peristiwa yang dilihat oleh penulis di beberapa paroki di Keuskupan Agung Semarang, baik itu ketika live in, tugas asistensi, maupun kunjungan pastoral umat. Berbicara mengenai kaum perempuan dalam kehidupan menggereja tidak bisa dilepaskan bagaimana keberpihakan reksa pastoral Gereja kepada kaum perempuan. Dalam kehidupan menggereja seringkali kita jumpai bagaimana seorang ibu, atau katakanlah seorang mbak-mbak terlibat dalam pelayanan Gereja, baik itu dalam kepengurusan Dewan Paroki, dalam pelayanan karitatif paroki, dalam ibadat maupun perayaan liturgi. Ada mbak-mbak yang menjadi pendamping PIA atau Misdinar, ada yang sungguh terlibat aktif dalam kegiatan Mudika bahkan sampai menjadi Ketua Mudika, ada ibu-ibu yang berperan aktif dalam kepengurusan Dewan Paroki bukan sekedar mendominasi kepengurusan sebagai pengurus ibu-ibu Paroki namun menempati jajaran tinggi sebagai Wakil Dewan Paroki, ada yang menjadi Prodiakones maupun petugas liturgi lainnya. Kaum perempuan terlibat seturut dengan kemampuan dan kerelaannya masing-masing. Satu sama lain saling melengkapi menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan menggereja.

Pertanyaan selanjutnya yang muncul dalam diri penulis selanjutnya adalah: apakah ini sungguh keterbukaan yang diperbuat Gereja demi semakin menghargai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan? Dengan kata lain, apakah Teologi Feminis menjadi dasar pertimbangan dn pengambilan kebijakan dalam keterbukaan Gereja? Apakah memang suasana seperti yang dialami oleh penulis tersebut juga dapat ditemui di paroki-paroki lain? Apakah memang Gereja benar-benar sudah membuka pintu lebar-lebar bagi kaum perempuan? Tulisan ini hendak membahas bagaimana Gereja seharusnya bersikap terhadap keterlibatan kaum perempuan dalam hidup reksa pastoral gereja. Penulis hendak memberikan sedikit wacana berkaitan dengan kerangka aplikasi teologi feminis dalam reksa pastoral menggereja. Tentunya, tulisan ini tidak bisa dilepaskan dari munculnya berbagai macam keprihatinan yang seringkali ditemui oleh penulis berkaitan dengan keterlibatan perempuan dalam Gereja. Dari keprihatinan tersebut tentunya dapat diambil suatu sikap bijak yang perlu ditempuh Gereja, demi semakin terbukanya kesempatan bagi kaum perempuan dalam hidup menggereja. Pada akhir tulisan pebnulis juga memberikan sedikit wacana mengenai beberapa hal yang perlu disikapi dan ditindaklanjuti oleh Gereja demi semakin terwujudnya kesetaraan bagi kaum perempuan dalam Gereja.

B. PEREMPUAN DALAM GEREJA KATOLIK

Fenomena yang sering terjadi di paroki

Dapat kita lihat dalam situasi konkret kehidupan menggereja di sebuah paroki bahwa ada paroki yang sudah menerima kehadiran Putri Altar, prodiakon perempuan, Ketua Lingkungan atau Ketua Stasi yang perempuan, bahkan Wakil Dewan Paroki perempuan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa masih ada beberapa paroki yang masih “meminggirkan” perempuan dalam gerak kehidupan menggereja. Saya sendiri juga merasakan peminggiran kaum perempuan dalam Gereja. Fenomena ini dapat dilihat dari (mungkin juga dapat melalui metode penelitian) berapa prosentase kaum perempuan yang dipercaya mengemban tugas dalam Dewan Paroki, berapa prosentase kaum perempuan yang dipercaya menjadi pemimpin dalam pelayanan-pelayanan gerejani. Apakah Gereja menerapkan sistem quota dalam pelayanan-pelayana gerejani? Kadang saya menyayangkan apabila dalam sebuah kepanitiaan hari besar Gereja atau yang lain, kaum perempuan selalu dikaitkan atau diberi tugas dalam tugas-tugas “di balik layar” entah itu menjadi tim kerja konsumsi, tim kerja kebersihan dll, bukannya saya menilai rendah tugas tersebut, tetapi pola pikir ini lama kelamaan menyebabkan kaum perempuan identik dengan tugas-tugas di balik layar. Bukankah sebenarnya kalau kita lihat lebih cermat lagi, banyak kaum perempuan yang memiliki kemampuan memimpin, mengorganisir sebuah kepanitiaan dalam Gereja bahkan lebih baik dari kaum laki-laki. Saya yakin apabila kaum perempuan diberi kepercayaan maka mereka mampu untuk menjalankan tugas kepercayaan tersebut. Ilustrasi sederhana ini mungkin hanya sebagian kecil dari jaringan pola pemikiran global Gereja yang menyudutkan posisi kaum perempuan dalam kehidupan menggereja.

Dasar keterlibatan dalam hidup menggereja

Keterlibatan kaum peremuan dalam Gereja tidak bisa dilepaskan dari semangat atau spiritualitas yang hendak dibangun oleh Gereja sendiri. Keterlibatan ini tentunya mencakup semua orang bukan hanya laki-laki saja atau perempuan saja. Allah mengehendaki keselamatan dapat dirasakan oleh setiap orang[1] karena kasih dan kebaikan-Nya, dengan mengundang manusia ke dalam persekutuan dengan Diri-Nya[2]. Oleh karena itu umat beriman dipanggil untuk terlibat dalam keselamatan yang bersumber pada persekutuan Allah Tritunggal, yaitu melalui Kristus menuju Bapa dalam Roh Kudus[3]. Seluruh umat Allah mengemban tugas perutusan Gereja untuk mewartakan dan menghadirkan persekutuan hidup ilahi di tengah umat manusia. Umat Allah yang dimaksud disini adalah seluruh umat beriman kristiani[4] tanpa ada pembedaan antara laki-laki maupun perempuan. Keterlibatan itu terbuka bagi siapa saja, terutama untuk bekerjasama dengan siapapun yang berkehendak baik. Segala bentuk kepengurusan dalam Gereja menjadi tanda dan sarana keterlibatan seluruh umat dalam melaksanakan panggilan dan tugas perustusan umat Allah.

Sejenak kita akan sedikit melihat bagaimana sikap Gereja terhadap keterlibatan kaum perempuan. Sebagai contoh, dalam Pedoman Dasar Dewan Paroki Keuskupan Agung Semarang disebutkan mengenai kriteria keanggotaan Dewan Paroki. Anggota dewan Paroki adalah orang Katolik yang: 1) Aktif dalam lingkungan atau kelompok kategorial. 2) Bersemangat hidup menggereja dengan bersedia melayani umat. 3) mempunyai nama baik di tengah umat dan masyarakatnya. 4) Diterima oleh umat. 5) Mempunyai kemampuan bekerjasama dan bermusyawarah. 6) Rajin mengikuti Perayaan Ekaristi atau ibadat Hari Minggu[5]. Dari beberapa uraian di atas nampak jelas bagaimana sikap Gereja terhadap keterlibatan kaum perempuan. Gereja sungguh sangat menampakkan keterbukaannya terhadap kaum perempuan. Memang, dari teks diatas tidak secara eksplisit mengatakan “kaum perempuan” namun lebih menunjuk pada seluruh umat beriman. Kiranya istilah umat beriman ini mencakup umat beriman laki-laki dan perempuan juga. Dalam pernyataan tersebut tidak terkandung adanya suatu persyaratan yang hanya memperbolehkan laki-laki saja atau perempuan saja. Semua umat memperoleh kesempatan yang sama dalam tugas pelayanan Gereja. Melihat situasi konkret di lapangan, mengapa masih saja ada sikap diskriminatif terhadap kaum perempuan. Salah satu contoh konkret di salah satu paroki di wilayah Jakarta, pernah ada pengumuman bagi umat untuk terlibat dalam Prodiakon paroki. Pengumuman itu memang terbuka bagi siapa saja, baik bapak-bapak maupun ibu-ibu. Ada bapak-bapak yang mendaftar, ada pula empat ibu-ibu yang turut mendaftar karena selama ini paroki tersebut belum pernah memberi kesempatan bagi perempuan untuk turut terlibat dalam Prodiakon paroki. Segala persyaratan telah dipenuhi. Bahkan, para calon prodiakon tersebut sudah menyelesaikan kursus persiapan prodiakon. Namun menjelang pelantikan prodiakon, keempat ibu tersebut tidak pernah sampai ke altar. Keempat ibu tersebut ditolak untuk menjadi prodiakon, entah apa yang menjadi alasan mendasar dari paroki tersebut. Tidak ada penjelasan pasti dari pihak paroki berkaitan dengan penolakan tersebut, yang jelas bahwa kendati mereka secara administratif telah dinyatakan diterima toh akhirnya kerelaan mereka untuk terlibat ditolak oleh paroki[6]. Ini adalah sebuah contoh kecil bagaimana Gereja bersikap terhadap keterlibatan perempuan. Entah mengapa, ada paroki yang dengan lebar-lebar membuka pintu terhadap kaum perempuan, tetapi mengapa di paroki lain mereka masih menutup pintu bagi kaum permpuan. Bukankah dasar keterlibatan umat beriman adalah sama! Semua demi terwujudnya keselamatan bagi semua orang, semua demi keberlangsungan hidup menggereja sebagai tanda dan sarana kehadiran Allah di dunia. Apakah ada yang salah, mengapa sikap deskriminatif masih senantiasa terjadi dalam Gereja? Kiranya ini masih menjadi permenungan panjang kita bersama?

C. MENUJU GEREJA YANG SADAR PEREMPUAN

Permasalahan mengenai hirarki

Masalah hirarki menjadi masalah serius yang harus dihadapi kaum perempuan secara khusus kaum feminis dalam Gereja Katolik. Perbincangan-perbincangan mengenai peran perempuan dalam Gereja masih terus menerus berlangsung bahkan sampai terjadi perdebatan-perdebatan yang tak kalah serunya. Permasalahan yang dihadapi kaum feminis berkaitan dengan hirarki, biasanya dikaitkan dengan adanya struktur kekuasaan dalam Gereja Katolik, masalah hirarki merupakan masalah yang problematis. Kaum feminis berjuang untuk mendapatkan pengakuan sebagai anggota Gereja yang sama dengan laki-laki, disisi lain kaum feminis sendiri secara tidak langsung menolak hirarki, namun bukan berarti peniadaan institusi yang menjalankan fungsi. Kaum feminis berkehendak hirarki memberikan kebebasan bagi setiap orang artinya baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menjalankan fungsi pelayanan sesuai dengan keinginan dan kemampuannya[7].

Di dalam surat Gembala KWI 2004 disadari kesalahan tradisi masyarakat dan Gerejawi yang telah melukai kesetaraan martabat perempuan dan laki-laki. “Kita merupakan bagian dari tradisi masyarakat dan gerejawi yang telah ikut melukai kesetaraan martabat yang mendatangkan penderitaan bagi kaum perempuan. Kita semua, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kecenderungan untuk tidak mau melihat bahwa ada masalah dalam relasi kita. Kita seringkali dengan tidak sengaja ikut memupuk sikap paternalistis yang memperkuat dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan dan menguatkan kecenderungan perempuan menerimanya begitu saja”[8].

Bermula dari sikap membangun kesadaran

Apa yang perlu dilakukan adalah penyadaran dan kesadaran. Dengan kesadaran ini kelak diharapkan bahwa semakin banyak kaum perempuan yang mengalami kebebasan. Kebebasan dalam mengaktualkan dirinya, bukan sekedar show of life, namun sungguh kaum perempuan merasa diberi kesempatan penuh untuk turut serta membangun gerak Gereja melalui berbagai macam bentuk pelayanan yang bisa dilakukannya. Kesadaran macam apa yang perlu dimiliki dan dibangun bersama? Kesdaran (yang oleh para feminis) disebut sebagai kesadaran perempuan. Kesadaran ini berasal dari pengalaman bahwa penyebab mereka menjadi korban adalah karena mereka perempuan. Kesadaran bahwa menjadi laki-laki lebih menguntungkan. Kesadaran ini dipicu oleh suatu pemahaman bahwa ketertindasan perempuan bukan hanya disebabkan oleh dominasi laki-laki saja atau katakanlah dalam konteks Gereja bukan karena beberapa Gereja menutup pintu bagi keterlibatan perempuan. Kesadaran ini dipicu karena kaum perempuan terbelenggu oleh sebuah sistem atau struktur yang sudah membudaya atau melembaga sehingga menjadi lingkaran struktur yang tidak adil dan bias gender. Sistem atau struktur ketidakadilan ini sungguh sulit dipatahkan apabila hanya melemparkan tuduhan kepada laki-laki sebagai individu perseorangan saja namun perlu membongkar sistem dan memperbaikinya.

Ketertindasan perempuan dalam struktur dosa

Kalau boleh saya berandai-andai, saya akan mencoba melihat permasalahan ketertindasan yang dihadapi kaum perempuan melalui kacamata Ajaran Sosial Gereja dan Etika Sosial. Dalam Ajaran Sosial Gereja terdapat suatu rumusan mengenai struktur dosa. Struktur adalah seperangkat lembaga dan praktek yang ditemukan orang telah ada atau yang mereka ciptakan, pada tingkat nasional maupun internasional, dan yang mengarahkan atau mengorganisasikan kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Struktur ini seringkali cenderung konstan dan membeku, sebagai mekanisme yang secara relatif tidak tergantung pada kehendak manusia. Akibatnya struktur ini justru melumpuhkan atau membelokkan perkembangan sosial dan menyebakan ketidakadilan[9].

Menurut Ajaran Sosial Gereja, yang merupakan penegasan dari ajaran paus sebelumnya yang sudah diajarkan dalam Reconciliatio et Paenitentiae, Paus Yohanes Paulus II memaparkan tentang dosa sosial yang dipahami sebagai hasil akumulasi dosa-dosa pribadi. Ia adalah tempat bagi dosa-dosa pribadi mereka yang menyebabkan atau mendukung kejahatan atau mengeksploitasinya, mereka yang sebenarnya mampu menghindarinya, menghilangkannya atau paling tidak membatasi kejahatan-kejahatan sosial tertentu tetapi tidak melakukannya karena malas, atau sikap diam bersama, melalui keterlibatan rahasia atau ketidakpedulian, mereka yang melarikan diri dalam ketidakmungkinan yang disangka benar mengenai perubahan dunia, dan juga mereka yang mengelak dari usaha dan pengorbanan yang dituntut, yang menghasilkan alasan-alasan palsu dalam tingkatan yang lebih tinggi[10]. Lebih lanjut pemahaman mengenai struktur dosa ini ditegaskan kembali oleh Paus dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis. Paus menegaskan bahwa struktur-struktur dosa berakar dalam dosa pribadi, dan karenanya selalu terkait dengan tindakan konkret individu-individu yang memperkenalkan struktur-stuktur tersebut, mengukuhkannya, dan membuatnya sulit dihilangkan. Dosa-dosa dalam masyarakat dan struktur-struktur berdosa yang tersusun ke dalam sistem-sistem yang saling memperkuat satu sama lain, maka mereka menjadi lebih kuat, menyebar, menjadi sumber dosa-dosa lain dan sangat mempengaruhi tindakan masyarakat[11]. Penumpukan dan penyatuan dosa-dosa pribadi ini membangun suatu sistem yang akan menciptakan pengaruh-pengaruh dan halangan-halangan yang jauh melampaui tindakan dan langkah hidup individu.

Mengembangkan sikap solider

Jadi permasalahan yang dihadapi kaum perempuan bukan sekedar karena adanya dominasi kaum laki-laki, namun dominasi kaum laki-laki tersebut memicu terjadinya dosa yang lain sehingga dosa-dosa individu tersebut terakumulasi dan membentuk struktur dosa ketidakadilan bagi perempuan. Lebih lanjut dalam Sollicitudo Rei Socialis, dipaparkan mengenai suatu bentuk atau mekanisme mematahkan ligkaran kedosaan adalah dengan prinsip solidaritas. Kata ini memiliki getaran istimewa baginya dari istilah solidarność, yang diambil oleh gerakan persatuan dagang Polandia dalam perjuangannya melawan otoritas komunis. Menurut Paus, struktur dosa hanya dapat dikalahkan oleh sikap yang berkebalikan total yaitu suatu komitmen untuk kebaikan sesama dengan suat kesiapan untuk menyangkal diri demi orang lain daripada memanfaatkannya dan untuk melayaninya daripada menyerangnya demi keuntungan diri. Apa yang dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II, di sini adalah sebuah gagasan bahwa solidaritas merupakan lawan bagi dosa struktural. Secara tegas Sollicitudo Rei Socialis memaparkan tentang makna solidaritas. Solidaritas dipahami bukan sebagai perasaan belas kasihan banyak orang, dekat maupun jauh. Sebaliknya, solidaritas ialah tekad yang teguh dan tabah untuk membaktikan diri kepada kesejahteraan umum, artinya kepada kesejahteraan semua orang dan setiap perorangan karena kita ini semua sungguh bertanggung jawab atas semua orang[12]. Dengan prinsip solidaritas ini, manusia bersama dengan sesamanya diharapkan ikut menyumbang keejahteraan bersama di segala tingkatan. Solidaritas sungguh terselenggara apabila sesama warga saling mengakui sesamanya sebagai pribadi. Nah, menjadi permenungan selanjutnya, bagaimana prinsip solidaritas ini hendak dikembangakan dalam kehidupan Gereja sehingga tercipta kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan dalam Gereja?

Kesempatan untuk terlibat sebagai bentuk solidaritas

Kesadaran akan adanya kesalahan dalam relasi perempuan dan laki-laki tersebut merupakan langkah awal untuk membangun kesetaraan martabat perempuan dan laki-laki. Karena itu, perlu dikembangkan pola penggembalaan yang mengikutsertakan secara sadar seluruh kaum beriman, baik perempuan dan laki-laki, mulai dari pengambilan keputusan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya. Tak seorang pun, baik perempuan maupun laki-laki dapat mengatakan bahwa “itu urusan mereka dan aku hanya ikut saja!” Oleh karena itu, seluruh umat hendaknya dilibatkan melalui wakil-wakilnya, perempuan dan laki-laki, dalam mengambil keputusan-keputusan penting dalam berpastoral. Dan keputusan-keputusan tersebut dilaksanakan bersama-sama pula.

Usaha melibatkan perempuan dan laki-laki dapat dimulai dengan mengubah pola pikir yang biasa terjadi dalam budaya patriarki yang feodalistik, bahwa perempuan itu “kanca wingking”. Pada zaman sekarang sudah banyak pula perempuan-perempuan yang berpendidikan tinggi, mampu bekerja secara profesional, berdedikasi secara tulus. Melibatkan perempuan dan laki-laki dapat mengubah wajah Gereja yang maskulin, menjadi Gereja yang ber-keadilan gender.

D. ARAH PASTORAL YANG MEMBERDAYAKAN DAN MEMBEBASKAN

Salah satu hal yang menarik dari ARDAS KAS 2006-2010 adalah kata-kata:

Untuk mendukung upaya tersebut, umat Allah Keuskupan Agung Semarang mengembangkan pola penggembalaan yang mencerdaskan umat beriman, melibatkan perempuan dan laki-laki, memberdayakan paguyuban-paguyuban pengharapan, memajukan kerjasama dengan semua yang berkehendak baik, serta melestarikan keutuhan ciptaan[13].

Secara khusus kata-kata yang menarik bagi penulis adalah dengan melibatkan perempuan dan laki-laki. Pertanyaan sedikit nakal dalam diri penulis adalah mengapa kata perempuan didahulukan dari pada laki-laki? Saya merasa ada peristiwa panjang yang melatarbelakangi penempatan kata “perempuan” tersebut. Kalau coba saya bandingkan dengan teks Arah Dasar KAS sebelumnya yaitu ARDAS KAS 2001-2005[14], keberpihakan Gereja terhadap keterlibatan kaum perempuan belum dinampakkan dalam teks tersebut. Sungguh disadari bahwa usaha Gereja untuk secara eksplisit mengajak kaum perempuan untuk terlibat dalam gerak kehidupan Gereja semakin dinampakkan. Paling tidak dalam bayangan saya, gereja mulai semakin peduli dengan keberadaan kaum perempuan. Gereja mengajak kaum perempuan untuk sungguh-sungguh terlibat dalam gerak pastoral Gereja melalui segala kemampuan yang dimilki demi semakin berkembangnya reksa pastoral Gereja. Hal ini menjadi angin segar bagi kaum perempuan, paling tidak ada pintu yang dibuka semakin lebar bagi kaum perempuan untuk terlibat dalam kehidupan Gereja. Masalahnya bentuk keterlibatan yang macam apa yang diharapkan oleh Gereja? Ini masih menjadi permenungan kita bersama.

Bergerak mulai dari level bawah

Sebuah gambaran menarik ketika kita melihat level bawah gerak Gereja. Suatu gambaran Gereja yang hidup, Gereja yang memancarkan wajah Kristus bagi sesama, wajah Kristus yang kelihatan dalam kehidupan keseharian umat beriman. Sebut saja ketika ada pertemuan-pertemuan umat misalnya latihan koor, misa atau ibadat di lingkungan, pendalaman APP, Adven, doa rosario, ziarah dll. dihadiri kebanyakan oleh ibu-ibu. Gambaran semacam ini merupakan gambaran keterlibatan kaum perempuan dalam hidup menggereja. Namun kiranya pandangan ini juga perlu dikritisi. Semoga ibu-ibu yang rajin mengikuti kegiatan-kegiatan di lingkungan sungguh-sungguh didasari akan semangat untuk mengikuti Yesus bukan sebagai kompensasi karena tidak mendapat tempat dalam level tinggi Gereja. Sejauh yang saya lihat dalam kehdupan menggereja, keaktivan kaum perempuan tidak diragukan lagi dalam acara-acara liturgis di lingkungan-lingkungan. Fenomena aktif kaum perempuan ini bisa menjadi titik pijak bagaimana keterlibatan kaum perempuan itu sungguh-sunguh dihargai mulai dari tingkat lingkungan dan diharapkan sikap penghargaan ini sampai pada wilayah Gereja semesta.

Jika dalam tingkatan level bawah saja sudah ada suatu bentuk penghargaan akan kesetaraan kaum perempuan dengan memberikan kebebasan untuk terlibat dalam kehidupan menggereja, sebenarnya ini menjadi modal dan momentum bagi kaum perempuan untuk bersuara. Kendati bentuk-bentuk solidaritas yang diusahakan dalam lingkup yang kecil-kecil, namun saya percaya bahwa ini juga memberikan pengaruh bagi orang lain untuk semakin terbuka dan tidak diskriminatif. Saya terkesan dengan khotbah Mgr. Suharyo, dalam kesempatan salah satu perayaan ekaristi di seminari. Dalam khotbahnya, Mgr. Suharyo mencoba menanggapi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh umat beriman dewasa ini dan juga dihadapi oleh Gereja yang tiada kunjung henti. Permasalahan tersebut bukan hanya menyangkut individu saja namun sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sangat kompleks. Mgr. Haryo menantang semua umat beriman untuk terlibat aktif turut memecahkan permasalahan tersebut mulai dari apa yang bisa dilakukan dalam kehidupan konkret setiap hari. Memang sebagai umat beriman tidak bisa memecahkan permasalahan yang sangat kompleks tersebut seluruhnya. Lebih lanjut Mgr. Haryo mengaharapkan umat untuk tidak terlalu mengutuk dan mempersalahkan permasalahan-permasalahan tersebut, namun terlibat dalam lingkup kecil yang bisa dilakukan menjadi suatu keutamaan yang baik untuk dilakukan. Sebagai penutup khotbahnya, Mgr. Haryo memberikan ilustrasi: lebih baik menyalakan satu lilin daripada mengutuk kegelapan. Jika setiap orang menyalakan satu lilin maka akan banyak lilin yang menyala dan apa yang terjadi yaitu adanya terang yang mengalahkan kegelapan itu.

E. PENUTUP

Gereja dipanggil mewartakan harapan akan keadilan di tengah dunia yang ditandai oleh berbagai praktik ketidakadilan, khususnya dalam bidang penghormatan terhadap martabat mansuia secara khusus kepada kaum perempuan. Harapan ini bukanlah harapan kosong, tetapi didasarkan pada janji Allah bahwa “Ia yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai akhirnya pada hari Kristus Yesus” (Flp 1:6).

Keselamatan merupakan hak setiap orang beriman. Wajah keselamatan yang dianugerahkan Allah juga dapat dirasakan melalui usaha Gereja dalam pelayanan sakramen-sakramen, namun perlu diingat juga bahwa struktur hirarkis dalam Gereja sangat potensial menjadi penyebab tindakan diskriminatif. Oleh karena itu perubahan sikap, perilaku, dan hukum serta ajaran dalam Gereja Katolik perlu dilakukan sehingga dapat memberikan rasa aman bagi semua makhluk di dunia. Kenyataan bahwa perempuan menjadi anggota komunitas yang disebut Gereja telah memunculkan suatu gambaran tertentu di dalam benak perempuan mengenai Gereja. Perjumpaan Gereja dengan perempuan sebenarnya menjadi kesempatan bagi Gereja untuk memeriksa kembali seluruh komitmennya secara khusus yang menyangkut sikapnya kepada kaum perempuan. Hal ini menjadi tantangan bagi Gereja dan bagi kaum perempuan sendiri[15].

Melihat kembali reksa pastoral Gereja yang membebaskan dan memberdayakan sebagai cita-cita Gereja, perlulah diperhatikan mengenai suatu permasalahan diskriminasi dalam Gereja juga masuk dalam struktur yang sudah mengakar ratusan tahun. Struktur diskriniatif terbut hanya bisa dipatahkan dengan semangat solidaritas. Sikap solidaritas yang kiranya baik untuk dilakukan dan diperjuangkan oleh Gereja antara lain dari pihak Gereja sendiri adalah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi kaum perempuan untuk terlibat dalam reksa pastoral Gereja seturut dengan kemampuan dan kesanggupannya. Sikap diskriminatif ini dapat dipatahkan apabila ada solidaritas dari Gereja dan antar umat beriman dengan sikap penghargaan akan hak kaum perempuan. Sikap solider ini akan menampakkan adanya penghargaan kebebasan bagi kaum perempuan dengan melibatkan kaum perempuan dalam Gereja. Banyak kaum perempuan yang memiliki kemampuan pribadi. Sumbangan kaum perempuan dalam bidang-bidang kehidupan secara khusus dalam kehidupan menggereja harus senantiasa diakui dan dihargai.

Gereja selalu mengandaikan akan adanya sosok pemimpin. Kadangkala pemimpin Gereja sendiri masuk dalam struktur-struktur dosa yang membuat ketidakadilan menimpa kaum perempuan. Oleh karena itu, semangat solidaritas ini juga senantiasa perlu diusahakan oleh para pemimpin Gereja secara terus menerus. Gereja membutuhkan sosok pemimpin yang peka akan situasi yang dihadapi oleh kaum perempuan. Disinilah salah satu letak teologi feminis mendapatkan perannya. Teologi feminis menjadi salah satu dasar pola kepemimpinan yang perlu diusahakan oleh pemimpin Gereja. Gereja membutuhkan pola kepemimpinan yang mau mendengarkan suara perempuan, sikap dasar yang pantas dijunjung adalah kerendahan hati. Kerendahan hati membawa pada suatu sikap menerima dan menghargai semua orang, sikap ini tidak lagi memandang apakah itu laki-laki atau perempuan, namun sikap yang mengutamakan yang lemah dalam konteks tulisan ini adalah kaum perempuan sebagai minoritas. Semua ini dilakukan dan diusahakan terus menerus demi terwujudnya kesetaraan sejati antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat dan Gereja. Perempuan dan laki-laki sama-sama diharapkan menyumbangkan kemampuannya untuk pelayanan Gereja. Kesetaraan sejati antara perempuan dan laki-laki tidak hanya berhenti pada kata-kata tetapi harus terbukti dalam perbuatan. Tugas dan kewajiban pewartaan Injil adalah tugas laki-laki dan perempuan. Perbedaan tersebut harus ditanggapi secara wajar bukan malah secara diskriminatif. Keanekaragaman yang ada dalam Gereja dapat menjadi usaha untuk saling mengisi dan melengkapi demi terciptanya suatu keadilan.

Bagi semua umat beriman, perlulah juga mulai membangun kesadaran akan perempuan. Kesadaran akan perempuan ini akan menjadi semangat dasar yang senantiasa diusahakan dalam kehidupan. Kesadaran akan kesetaraan antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan. Kesadaran ini akan membawa kepada kehidupan yang saling menghargai satu sama lain sebagai ciptaan Allah yang sederajat. Sikap ini menuntun orang untuk mengutamakan atau menempatkan prioritas utama bagi kaum minoritas. Semoga semakin banyak orang bersikap solider dengan kaum perempuan sehingga kaum perempuan semakin merasa nyaman untuk terlibat dalam reksa pastoral Gereja. Semoga semakin banyak orang menyalakan lilin-lilin, sehingga yang terjadi bukan lagi kegelapan namun terang yang bercahaya mengalahkan kegelapan.

DAFTAR PUSTAKA

Alkitab Deuterokanonika, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2000.

Konsili Vatikan II,

1993 Dokumen Konsili Vatikan II (diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, S.J.), Obor, Jakarta.

R. Hardawiryana, S.J., (alih bahasa)

1999 Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai Centesimus Annus, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta.

Konferensi Waligereja Indonesia,

2005 Surat Gembala tentang “Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki sebagai Citra Allah”, Konferensi Waligereja Indonesia, Jakarta.

Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang,

2006 Nota Pastoral Tentang Arah Dasar Umat Allah Kesukupan Agung Semarang 2006-2010, Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang, Muntilan.

Keuskupan Agung Semarang,

2004 Pedoman Dasar Dewan Paroki Keuskupan Agung Semarang 2004 Dan Penjelasannya, Keuskupan Agung Semarang.

Iswanti,

2006 Seri Pastoral 380: Kesadaran Diri yang Perempuan, Pusat Pastoral Yogyakarta, Yogyakarta.

Iswanti,

2003 Kodrat yang Bergerak: Gambar, Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Gereja Katolik, Kanisius, Yogyakarta.

Koerniatmanto Soetoprawiro,

2003 Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme: Memahami Keterlibatan Sosial Gereja, Kanisius, Yogyakarta.

Nicola Slee,

2003 Faith and Feminism: An Introducion to Christian Feminist Theology, Darton-Longman-Todd Ltd, London.

Paul Valey (ed.),

2007 Cita Masyarakat Abad 21: Visi Gereja Tentang Masa Depan, Kanisius, Yogyakarta.

Soetoprawiro,

2006 Prinsip Keterlibatan Sosial Gereja (Seri Pastoral 390), Pusat Pastoral Yogyakarta, Yogyakarta.


[1] I Tim 2:4

[2] Dei Verbum, 2.

[3] Ef 2:18

[4] Lumen Gentium, 30.

[5] Keuskupan Agung Semarang, Pedoman Dasar Dewan Paroki Keuskupan Agung Semarang 2004 Dan Penjelasannya, Keuskupan Agung Semarang, 2004, 33.

[6] Iswanti, Seri Pastoral 380: Kesadaran Diri yang Perempuan, Pusat Pastoral Yogyakarta, Yogyakarta, 2006, 32.

[7] Iswanti, Kodrat yang Bergerak: Gambar, Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Gereja Katolik, Kanisius, Yogyakarta, 2003, 143.

[8] Konferensi Waligereja Indonesia, Surat Gembala tentang “Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki sebagai Citra Allah”, 2005.

[9] Soetoprawiro, Prinsip Keterlibatan Sosial Gereja (Seri Pastoral 390), Pusat Pastoral Yogyakarta, Yogyakarta, 2006, 22.

[10] Clifford Longley, “Struktur-Struktur Dosa dan Pasar Bebas: Paus Yohanes Paulus II Mengenai Kapitalisme”, dalam Paul Valey (ed.), Cita Masyarakat Abad 21: Visi Gereja Tentang Masa Depan, Kanisius, Yogyakarta, 2207, 135-136.

[11] Sollicitudo Rei Socialis, 36.

[12] Sollicitudo Rei Socialis, 38.

[13] Arah Dasar Umat Allah Kesukupan Agung Semarang 2006-2010.

[14] Untuk mencapai cita-cita tersebut diperlukan tata penggembalaan yang mengikut sertakan, mengembangkan dan memberdayakan seluruh umat, dan kerjasama dengan siapa pun yang berkehendak baik. (teks ARDAS 2001-2005, par. 3)

[15] Nicola Slee, Faith and Feminism: An Introducion to Christian Feminist Theology, Darton-Longman-Todd Ltd, London, 2003, 113.



[get this widget]

0 comments: