April 06, 2008

MEMPERJUANGKAN KE”BERADA”AN WARGA CINA (Peristiwa Pembauran Warga Cina di Indonesia)

Imlek pada awal Februari 1978, perayaan hari besar warga keturunan Cina berlangsung sepi. Barongsai dan liong tidak mungkin diarak keliling kota. Di sekitar kelenteng memang ramai, tapi yang berkumpul hanya mereka penganut Konghucu dan Budha. Selebihnya, kemeriahan berlangsung dalam diam. Mereka, kaum keturunan Cina, tak bisa mengarak barongsai (singa Cina) dan liong (naga) ke jalanan karena dilarang pemerintah. Inilah keputusan yang dikeluarkan pemerintah setelah G30S-PKI 1965 meletus. Imlek pun berlangsung seperti biasa. Tidak ada libur nasional, juga tak ada sambutan meriah seperti hari besar umat lain[1].


A. Sebuah Pengantar

Suasana Imlek 2007 terasa lain, tidak seperti yang dilukiskan oleh TEMPO dia atas. Era 1965-1998, Imlek sempat dilarang dirayakan secara umum di Indonesia. Instruksi Presiden No. 14/1967 yang dikeluarkan Presiden Soeharto menyatakan larangan terhadap segala hal berbau Tionghoa (keturunan Cina), di antaranya Imlek. Baru pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres tersebut. Kemudian, Presiden Megawati Soekarnoputri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 19/2002 tertanggal 9 April 2002 yang menyebutkan Imlek sebagai hari libur nasional. Mulai 2003, Imlek resmi menjadi hari libur nasional[2].

Imlek merupakan salah satu hari besar warga Cina. Boleh tidaknya merayakan Imlek hanyalah sebagaian kecil masalah yang dihadapi warga keturunan Cina di Indonesia. Ada masalah yang begitu besar dibalik sebuah perayaan Imlek, yaitu status keberadaan mereka sebagai warga keturunan di Indonesia. Tentunya, bermula dari perayaan Imlek kita bisa melihat bagaimana keberadaan masyarakat Tionghoa yang (katakanlah) berasimilasi dengan masyarakat Indonesia. Keberadaan warga Tionghoa semenjak pertama kali datang ke wilayah Nusantara hingga perjuangannya mendapatkan pengakuan di wilayah Indonesia merupakan suatu peristiwa budaya yang turut berpengaruh dalam perkembangan budaya indonesia. Maka, tulisan ini hendak membahas mengenai peritiwa tersebut dalam konteks relevansi dan pengaruhnya terhadap pembentukan (budaya) Indonesia.


B. Kronologi Sejarah Masuknya Cina di Indonesia

Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya. Orang Tionghoa di Indonesia terbiasa menyebut diri mereka sebagai Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Sedangkan dalam dialek Mandarin disebut Tangren (Hanzi: 唐人, bahasa Indonesia: Orang Tang). Ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sedangkan Tiongkok Utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人, hanyu pinyin: hanren, bahasa Indonesia: Orang Han).

Bangsa Tionghoa telah ribuan tahun mengunjungi kepulauan Nusantara. Salah satu catatan-catatan tertua ditulis oleh para agamawan Fa Hsien pada abad ke-4 dan terutama I Ching pada abad ke-7. I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sanskerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra. Kemudian dengan berkembangnya negara-negara kerajaan di tanah Jawa mulai abad ke-8, para imigran Tionghoapun mulai berdatangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anak benua India. Dalam prasasti-prasasti ini orang-orang Tionghoa disebut sebagai Cina dan seringkali jika disebut dihubungkan dengan sebuah jabatan bernama Juru Cina atau kepala orang-orang Tionghoa.

Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata zhonghua dalam bahasa mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasty dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina, diduga panggilan ini berasal dari kosa kata "Ching" yaitu nama dari Dinasti Ching yang berkuasa. Orang asal Tiongkok ini yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaannya termasuk bahasanya, maka oleh sekelompok orang Tionghoa di Hindia Belanda pada 1900 mendirikan sekolah dibawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang kalau di lafal Indonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa di Hindia Belanda. Orang-orang Tionghoa di Indonesia berasal dari tenggara Tiongkok. Mereka termasuk suku-suku: Hakka, Hainan, Hokkien, Kantonis, Hokchia, Tiochiu. Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara Tiongkok dapat dimengerti karena dari sejak zaman Dinasti Tang, kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.

Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Tionghoa juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara dan oleh karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya, para pedagang Tionghoa akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang. Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara[3].


C. Permasalahan yang Kemudian Dihadapi

Keberadaan warga Tionghoa tidak serta merta diterima di negeri ini. Nasib baik sungguh tak menyambut mereka. Pada tahun 1970 warga Tionghoa ditumpas habis di daerah Batavia. Lama sesudahnya ketika Indonesia menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 tidak berbicara banyak terhadap kehidupan mereka. Namun keberadaan mereka sedikit demi sedikit turut mewarnai peta perekonomian Indonesia. Namun dalam bidang lain? Pada masa pemerintahan Sukarno muncullah PP-10/1959, dimana tidak mengizinkan warga keturunan Tionghoa berdagang di tingkat kecamatan. Hal itu semata-mata hanyalah karena alasan kecemburuan sosial warga pribumi. Rezim Orde Baru juga menciptakan represi yang tidak masuk akal dengan memberangus aksara Cina, Barongsai, Imlek bahkan Cina. Represi dalam bentuk yang lebih konkret adalah sejenis berkas yang disebut surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Semua keturunan Cina harus memiliki surat sakti berbentuk paspor ini, seolah-olah semua orang yang bukan keturunan Tionghoa otomatis sudah terbukti kewarganegaraannya. Kemudian masuk dalam zaman reformasi yang dimulai dengan peristiwa kerusuhan Mei 1998 seakan-akan kepedihan yang dialami belumlah usai. Era Gus Dur ternyata sedikit memberikan keleluasaan bagi mereka. Dimana barongsai boleh main, Imlek dirayakan secara terbuka, bahkan beberapa perusahaan properti dengan bangga mempromosikan Kampung Cina (Cina Town) di kawasan elite yang dijual mahal.

Permasalahan tak kunjung selesai hingga sekarang. Masih banyak undang-undang dan peraturan yang diskriminatif terhadap mereka. Beberapa permasalahan seputar pembauran, asimilasi, integrasi dll. masih menggantung.


D. Perjumpaan dengan (Budaya) Indonesia

Sejumlah permasalahan tersebut diatas merupakan sebagian imbas dari proses pembauran masyarakat Cina dengan masyarakat Indonesia. Memang, keturunan asing yang paling kuat kedudukannya dalam masyarakat Indonesia antara lain adalah orang Cina. Telah menjadi ciri khas bahwa hampir di semua tempat di Indonesia terdapat WNI keturunan Cina yang telah bermukim secara turun temurun. Dalam kehidupan sehari-hari orang Cina kebanyakan masih tinggal dan bermukim di daerah-daerah tertentu dengan mengelompok, sehingga kurang atau tidak terlibat secara aktif dalam kemasyarakatan, terutama dalam melakukan pembangunan di lingkungan tempat tinggalnya. Tempat tinggal golongan Cina di banyak tempat, selalu bergerombol dalam suatu tempat tersendiri yang disebut “pecinan” (Cina Town) dan memberikan kesan eksklusif.

Terlepas dari pandangan negatif terhadap keberadaan warga Cina di Indonesia. Namun, sungguh terasa menjadi angin segar bagi warga Cina selama berada di wilayah Nusantara ini. Hal itu ditandai dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 6/2000 yang memperbolehkan warga Cina mengekspresikan kebudayaan, termasuk kebebasan menjalankan agama di Indonesia oleh Presiden Abdurrahman Wahid sekaligus dicabut Instruksi Presiden No. 14/1967 yang berisi larangan segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina di Indonesia. Semenjak adanya Surat Keputusan Presiden tersebut keadaan masyarakat Cina terutama dalam bidang budaya mengalami perbaikan. Apalagi semenjak pemerintahan pasca Suharto, pemerintah mulai menjalankan multikulturalisme. Kebijakan asimilasi secara teori telah ditinggalkan, etnis Cina tidak lagi dipaksakan berasimilasi total dengan pribumi. Media massa Tionghoa, organisasi Tionghoa, dan sekolah “bahasa Tionghoa” telah diizinkan. Kendati demikian namun diskriminasi rasial dalam bentuk undang-undang dan peraturan lainnya belum dicabut. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan tonggak-tonggak sejarah bagi keberadaan warga keturunan Cina di Indonesia. Akhirnya, kendati masih banyak hal yang perlu diperjuangkan demi hak asasi mereka namun di kemudian hari sedikit-demi sedikit mereka memperoleh jalan bagi keberlangsungan hidup mereka di negeri ini[4].


E. Pengaruh Keberadaan Warga Cina di Indonesia

Ketika menengok kembali sejarah kedatangan orang-orang Cina di Indonesia, sebenarnya sudah lama terjadi sebelum Belanda datang menjajah tanah air ini, mereka lebih dulu daripada Belanda. Bahkan boleh dikata keberadaan orang-orang Cina di Indonesia telah ada sebelum negara Republik Indonesia berdiri. Oleh karena itu, barangkali mereka sudah menganggap tanah air Indonesia sebagai tumpah darahnya pula. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka yang telah hidup lama di daerah-daerah terpencil, kota-kota kecil banyak berprofesi sebagai pedagang, usaha pabrik dll. melahirkan suatu sikap dari para generasi muda keturunan Cina yang lebih lunak terhadap kebudayaan Indoensia. Mereka yang tinggal di kota-kota besar lebih memiliki sikap progresif, memiliki kesadaran nasionalisme kebangsaan Indonesia.

Salah satu pengaruh dari orang-orang Cina dapat dilihat dalam bidang ekonomi. Orang-orang Cina pendatang lazimnya memiliki etos kerja yang tinggi. Memiliki sikap tekun dalam berusaha. Kelebihan inilah yang mendukung orang Cina memperoleh kemajuan dalam bidang perdagangan dan industri, sehingga sampai sekarang bisnis mereka dapat berkembang pesat dan menjadi pemegang utama dalam kehidupan ekonomi Indonesia. Pusat-pusat institusi bisnis terbesar masih tetap berada di tangan para pengusaha Cina di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang ini[5].


F. Sebuah Kesimpulan

Indonesia adalah masyarakat majemuk yang multikultural, yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok yang berbeda berakulturasi, dengan menghargai pluralisme sebagai keragaman budaya untuk tetap dilestarikan. Kemajemukan tersebut ditandai oleh adanya suku-suku bangsa yang masing-masing mempunyai cara-cara hidup atau kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat suku bangsanya sehingga mencerminkan adanya perbedaan dan pemisahan antara etnik yang satu dengan etnik lainnya, tetapi secara bersama-sama hidup dalam satu wadah masyarakat Indonesia.

Berbagai perbedaan tersebut pada hakekatnya adalah perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh sejarah perkembangan kebudayaan masing-masing. Puncak-puncak kebudayaan tersebut adalah konfigurasi yang masing-masing kebudayaan memperlihatkan adanya pinsip-prinsip kesamaan dan saling penyesuaian satu dengan lainnya sehingga menjadi landasan bagi terciptanya kebudayaan nasional. Selanjutnya, terdapat kebudayaan umum yang bersifat lokal yang dapat dilihat sebagai sebuah wadah untuk mengakomodasi proses pembauran atau asimilasi dan proses akulturasi, yang di antara kebudayaan-kebudayaan itu saling berbeda wilayah atau dikelilingi wilayah kebudayaan umum yang bersifat lokal. Corak kemajemukan masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika itu menjadi lebih kompleks karena adanya sejumlah warga negara atau masyarakat Indonesia yang tergolong sebagai keturunan asing yang hidup di dalam dan menjadi sebagian dari masyarakat Indonesia, yang walaupun relatif kecil jumlahnya, tetapi penting peranan ekonominya[6].

Warga Cina sebagai salah satu warga keturunan asing yang mencoba berbaur dengan masyarakat Indonesia menjadi salah satu contoh peristiwa pembauran budaya. Kendati melewati perjalanan panjang yang berliku namun toh akhirnya sedikit-demi sedikit mereka mampu “berada” dan menunjukkan ke”berada”annya di Indonesia bahkan turut mewarnai kebudayaan Indonesia. Bukan hanya menjadi kendali perekonomian di negeri ini namun keberadaan warga Cina dengan seluruh budaya yang dibawa telah mewarnai keragaman budaya di Indonesia. Nyatanya, Imlek tahun ini tidak lagi diwarnai dengan suasana yang sunyi dan sepi seperti tahun 1978 dulu namun Imlek tahun ini diwarnai dengan kemeriahan bahkan warga non Tionghoapun turut merayakannya[7].


Daftar Pustaka

-, Arsip TEMPO 18 Februari 1978, TEMPO Edisi Khusus 17 Agustus 2004: Etnis Cina di Zaman yang Berubah, 16-22 Agustus 2004.

-, Imlek Sudah Resmi, “Bagaimana Nasib Tionghoa”, www.perspektif-online.com, 14 Februari 2007.

Herlijanto, Johanes, “Multikultural Ciri Khas Imlek di Indonesia”, www.antara.co.id, 16 Februari 2007.

Naveront, Jhon K., Jaringan Masyarakat Cina, Jakarta, Golden Terayon Press, 1994.

Suryadinata, Leo, “Etnis Tionghoa Sejak Reformasi”, TEMPO Edisi Khusus 17 Agustus 2004: Etnis Cina di Zaman yang Berubah, 16-22 Agustus 2004.

Susiyanto, “Solidaritas Sosial Cina Muslim dan Non-Muslim dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya: Studi di Kota Bengkulu”, www.eprints.ac.id, Juni 2006.

Wikipedia, “Tionghoa-Indonesia”, www.wikipedia.org, 2007.


[1] -, Arsip TEMPO 18 Februari 1978, TEMPO Edisi Khusus 17 Agustus 2004: Etnis Cina di Zaman yang Berubah, 16-22 Agustus 2004, 17.

[2] -, Imlek Sudah Resmi, “Bagaimana Nasib Tionghoa”, www.perspektif-online.com, 14 Februari 2007.

[3] Wikipedia, “Tionghoa-Indonesia”, www.wikipedia.org, 2007.

[4] Suryadinata, Leo, “Etnis Tionghoa Sejak Reformasi”, TEMPO Edisi Khusus 17 Agustus 2004: Etnis Cina di Zaman yang Berubah, 39.

[5] Naveront, Jhon K., Jaringan Masyarakat Cina, Jakarta, Golden Terayon Press, 1994, 62-64.

[6] Susiyanto, “Solidaritas Sosial Cina Muslim dan Non-Muslim dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya:

Studi di Kota Bengkulu”, www.eprints.ac.id, Juni 2006.

[7] Herlijanto, Johanes, “Multikultural Ciri Khas Imlek di Indonesia”, www.antara.co.id, 16 Februari 2007.



[get this widget]

0 comments: