April 08, 2008

PENGHARGAAN TERHADAP KAUM BURUH PEREMPUAN DI AMERIKA(Transformasi Sistem Ketenagakerjaan di Amerika)

A. PENGANTAR

Permasalahan buruh seakan tiada habisnya. Demonstrasi kaum buruh seringkali terjadi. Permasalahan yang sering timbul biasanya berkaitan dengan adanya tindak ketidakadilan yang mereka terima dari perusahaan tempat mereka bekerja. Permasalahan upah yang tidak sebanding, kekerasan terhadap pekerja lain, pemutusan hubungan kerja sewenang-wenang, pemaksaan kerja yang melebihi waktu yang ditentukan, uang lembur yang tidak dibayar, jatah cuti yang tidak digenapi, undang-undang buruh yang tidak memberikan jaminan kerja dll[1], merupakan permasalahan yang biasanya dihadapi oleh kaum buruh. Semua permasalahan tersebut bukan hanya terjadi di negara kita saja namun juga di berbagai negara di belahan dunia ini termasuk juga para tenaga kerja yang bekerja di luar negeri[2]. Masalah ketenagakerjaan merupakan salah satu sumber keprihatinan Gereja, bahkan merupakan tema utama ensiklik Rerum Novarum dan beberapa ensiklik lain yang diterbitkan oleh Paus selanjutnya seperti, Gaudium et Spes, Laborem Excercens, Solicitudo Rei Socialis dll. Artinya, sejak awal mula keterlibatan sosial Gereja, masalah ini telah digeluti oleh Gereja terutama yang menyangkut urusan kesejahteraan kaum pekerja dan upah yang adil[3]. Keterlibatan Gereja dalam masalah-masalah sosial ini pertama-tama karena Gereja peduli dengan kehidupan mereka yang lemah, maka tujuan keterlibatan ini adalah demi kesejahteraan bersama (bonum commune)[4]. Kesejahteraan bersama adalah suatu kondisi kehidupan sosial yang memungkinkan semua kelompok sosial manapun masing-masing anggotanya untuk mencapai kesempurnaannya sendiri secara lebih penuh dan lebih mudah[5]. Permasalahan mengenai kerja dan buruh dalam wacana umum masuk dalam kajian etika bisnis. Prinsip-prinsip etika sangat diperlukan oleh sebuah perusahaan dan pekerjanya supaya terwujud suatu kesejahteraan bersama atau paling tidak atau sekurang-kurangnya tidak terjadi ketidakadilan dalam hal kerja.

Tulisan ini hendak membahas mengenai ketidakadilan yang dialami kaum buruh yang disebabkan oleh struktur sosial. Diskriminasi kerja, kekerasan dan pelecehan seksual merupakan topik yang hendak diangkat melalui tulisan ini. Fenomena tersebut hendak dianalisa melalui kacamata etika bisnis dan Ajaran Sosial Gereja secara khusus mengenai pemahaman akan struktur dosa, tindakan solidaritas, dan tindakan afirmatif sebagai suatu bentuk transformasi sosial dalam konteks perusahaan. Bolehlah sejenak kita belajar melalui salah satu film yang mengkisahkan tentang ketidakadilan yang dialami kaum buruh perempuan di Amerika dan usahanya memerangi ketidakadilan tersebut.


B. ANALISA FILM NORTH COUNTRY

1. Intisari Cerita North Country

North Country adalah sebuah film yang dirilis pada tanggal 21 Oktober 2005. Film ini disutradarai oleh Niki Caro dan diproduksi oleh Warner Bros Pictures and Participant Productions. Film ini didasarkan pada kisah nyata kasus Jenson v. Eveleth Taconite Co., terinspirasi dari buku Class Action karangan Clara Bingham dan Laura Leedy Gansler. Syuting dilakukan sejak Februari 2005 bertempat di Minnesota bagian utara (termasuk kota Eveleth), Minneapolis, dan New Mexico. Film ini menceritakan perjuangan seorang wanita yang bekerja di tambang, yang mengalami pelecehan seksual dan melancarkan tuntutan class-action (tuntutan hukum oleh seseorang atau sekelompok orang yang memiliki masalah yang sama terhadap orang/lembaga tertentu) terhadap atasannya karena mereka tidak mampu melindungi dirinya dan karyawan wanita lainnya. Tokoh utama film ini adalah Josey Aimes (Charlize Theron), seorang orang tua tunggal dari dua anak yang kembali ke kampung halamannya di Minnesota. Untuk mencukupi kebutuhannya, ia bekerja di tambang (meski sebenarnya ayahnya tidak setuju). Pekerja di tambang tersebut nyaris semuanya laki-laki, dan ternyata nyaris semua pekerja wanita di sana mengalami pelecehan seksual, dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada perlindungan hukum dari perusahaan. Josey pun mengalaminya, karena mantan kekasihnya saat SMU, Bobby Sharp (Jeremy Renner), berusaha dengan segala cara untuk mendekatinya secara seksual, meski Bobby sebenarnya sudah menikah. Josey pun melaporkan hal ini kepada atasannya, yang semula dikira akan membantunya, tapi ternyata mereka tidak bisa (atau tidak mau) melakukan apa-apa. Di lain pihak, kedatangan Josey di kampung halamannya juga dicibir oleh sebagian orang. Mereka membicarakan masa lalu Josey, karena Josey tidak pernah memberi tahu siapakah ayah Sammy (anak pertamanya) sebenarnya. Sementara itu keadaan semakin memburuk. Josey pun mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ia dan pengacaranya, Bill White (Woody Harrleson) bermaksud mengajukan tuntutan kepada perusahaan. Namun ketika ia meminta rekan-rekan kerjanya yang sesama wanita untuk bersaksi melawan perusahaan, mereka semua menolak, karena mereka takut dipecat seperti yang dialami Josey padahal mereka masih membutuhkan pekerjaan. Persoalan semakin bertambah ketika istri Bobby berteriak-teriak di depan umum pada pertandingan hoki anak-anak, meminta agar Josey menjauhi suaminya. Hal ini membuat marah Sammy (Thomas Curtis) yang memutuskan untuk kabur dari rumah. Namun setelah dinasihati oleh Kyle (Sean Bean) ia pun kembali ke rumah. Di pengadilan pun terungkap bahwa ternyata Josey diperkosa oleh guru SMU-nya sampai ia hamil. Dan setelah didesak oleh Bill, Bobby pun mengakui bahwa sesungguhnya ia melihat perkosaan tersebut, namun ia tidak melakukan apa-apa. Pada akhirnya, Josey memperoleh dukungan dari rekan sesama perkerja wanitanya, dimulai dari sahabatnya, Glory (Frances McDormand). Mereka mendapatkan sejumlah uang ganti rugi, dan yang terpenting adanya kebijakan yang melindungi mereka — dan wanita-wanita lain yang akan bekerja di perusahaan tersebut setelah mereka — dari pelecehan seksual[6].


2. Pokok Permasalahan yang Diangkat

Film North Country hendak mengangkat suatu permasalahan yang biasa dihadapi oleh kaum buruh. Salah satu permasalahan yang hendak diangkat oleh film ini adalah masalah pelecehan seksual (sexual harrasment) yang biasa dialami oleh kaum buruh perempuan. Ketidakadilan yang dialami oleh para buruh secara khusus buruh perempuan ini ternyata bukan saja disebabkan oleh usaha-usaha pendekatan seksual dari rekan buruh laki-laki saja, namun lebih dari itu karena dalam sistem kerja di perusahaan tersebut tidak ada jaminan hukum dan keadilan yang dapat melindungi hak-hak kaum buruh perempuan. Perusahaan menempatkan kaum buruh perempuan dalam struktur yang tidak adil, mulai dari pembatasan jumlah buruh yang bekerja di perusahaan sehingga jumlah buruh perempuan lebih sedikit daripada jumlah buruh laki-laki, serikat buruh yang tidak mampu menampung dan menyalurkan segala permasalahan yang sebenarnya secara nyata terjadi dalam kerja, ulah majikan yang bisa secara langsung memberhentikan kaum buruh apabila mengajukan permasalahan yang terjadi karena tidak adanya undang-undang yang menjadi pegangan bersama. Sigkatnya kaum buruh perempuan dalam perusahaan tersebut mengalami ketidakadilan yang terstruktur. Hal ini dapat dilihat dari kacamata Ajaran Sosial Gereja bahwa ketidakadilan yang dialami buruh tersebut disebabkan adanya struktur dosa. Struktur dosa dalam kaitanya dengan masalah ini hanya dapat diatasi dengan adanya solidaritas antara buruh dengan majikan atau perusahaan.


C. STRUKTUR DOSA DALAM KONTEKS PERUSAHAAN

Sebelum kita membicarakan lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk struktur dosa yang biasa terjadi dalam sebuah perusahaan hingga menyebabkan adanya ketidakadilan yang seringkali menimpa kaum buruh, perlulah kita ketahui bersama terlebih dahulu mengenai pengertian struktur dan struktur dosa. Struktur adalah seperangkat lembaga dan praktek yang ditemukan orang telah ada atau yang mereka ciptakan, pada tingkat nasional maupun internasional, dan yang mengarahkan atau mengorganisasikan kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Struktur ini seringkali cenderung konstan dan membeku, sebagai mekanisme yang secara relatif tidak tergantung pada kehendak manusia. Akibatnya struktur ini justru melumpuhkan atau membelokkan perkembangan sosial dan menyebakan ketidakadilan[7]. Dalam terang Ajaran Sosial Gereja praktik ketidakadilan dalam sebuah perusahaan seperti dalam kasus Taconite Eveleth Co. merupakan sebuah tindakan dalam struktur dosa. Menurut Ajaran Sosial Gereja, yang merupakan penegasan dari ajaran paus sebelumnya yang sudah diajarkan dalam Reconciliatio et Paenitentiae, Paus Yohanes Paulus II memaparkan tentang dosa sosial yang dipahami sebagai hasil akumulasi dosa-dosa pribadi. Ia adalah tempat bagi dosa-dosa pribadi mereka yang menyebabkan atau mendukung kejahatan atau mengeksploitasinya, mereka yang sebenarnya mampu menghindarinya, menghilangkannya atau paling tidak membatasi kejahatan-kejahatan sosial tertentu tetapi tidak melakukannya karena malas, atau sikap diam bersama, melalui keterlibatan rahasia atau ketidakpedulian, mereka yang melarikan diri dalam ketidakmungkinan yang disangka benar mengenai perubahan dunia, dan juga mereka yang mengelak dari usaha dan pengorbanan yang dituntut, yang menghasilkan alasan-alasan palsu dalam tingkatan yang lebih tinggi[8]. Lebih lanjut pemahaman mengenai struktur dosa ini ditegaskan kembali oleh Paus dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis. Paus menegaskan bahwa struktur-struktur dosa berakar dalam dosa pribadi, dan karenanya selalu terkait dengan tindakan konkret individu-individu yang memperkenalkan struktur-stuktur tersebut, mengukuhkannya, dan membuatnya sulit dihilangkan. Dosa-dosa dalam masyarakat dan struktur-struktur berdosa yang tersusun ke dalam sistem-sistem yang saling memperkuat satu sama lain, maka mereka menjadi lebih kuat, menyebar, menjadi sumber dosa-dosa lain dan sangat mempengaruhi tindakan masyarakat[9]. Penumpukan dan penyatuan dosa-dosa pribadi ini membangun suatu sistem yang akan menciptakan pengaruh-pengaruh dan halangan-halangan yang jauh melampaui tindakan dan langkah hidup individu.

Berpijak dari film North Country, ada suasana dilematis yang dihadapi kaum perempuan. Kaum perempuan seringkali mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh buruh laki-laki, buruh perempuan seringkali dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya diluar batas kemampuannya. Buruh perempuan tidak mempunyai kekuatan untuk melawan karena mereka adalah kaum minoritas di perusahaan tersebut dan mereka akan selalu berada di pihak korban. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya undang-undang yang dapat melindungi hak-hak mereka dan terlebih lagi quota buruh perempuan lebih sedikit dari pada buruh laki-laki. Forum serikat buruh tidak mampu melindungi hak kaum pekerja perempuan karena tidak mempunyai kekuatan untuk melawan dominasi kebijakan perusahaan dan terlebih keputusan-keputusan yang diambil serikat buruh selalu memojokkan kaum perempuan karena dominasi jumlah pekerja laki-laki. Sikap diantara para buruh perempuan sendiri tidak begitu menampakkan adanya suasana saling mendukung satu sama lain, bahkan ketika salah seorang buruh yaitu Josey, hendak mengangkat permsalahan yang dihadapi kaum pekerja perempuan, dari pihak kaum perempuan sendiri tidak ada yang mendukung usaha baik tersebut. Permasalahan yang terjadi dalam perusahaan Eveleth Taconite Co., memang sungguh sangat kompleks, namun ketika permasalahan-permasalahan seputar ketidakadilan yang dialami pekerja perempuan hendak dilaporkan kepada jajaran pemimpin perusahaan (majikan) ternyata apa yang dialami oleh pekerja perempuan adalah ancaman pemberhentian kerja secara sepihak[10]. Suasana dilematis ini semakin mendapat legitimasinya ketika kaum buruh memang sungguh sangat membutuhkan pekerjaan sebagai buruh tambang sebagai satu-satunya mata pencaharian yang diharapkan mampu mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Ketidakadilan ini akan semakin terus-menerus terjadi seakan menjadi lingkaran dosa yang tiada terputus. Tindakan tidak adil satu orang menyebakan adanya dosa pribadi, dosa satu pribadi menyebabkan dan mempengaruhi timbulnya dosa-dosa lain sehingga muncullah apa yang dinamakan dosa bersama atau dosa sosial yang terus menerus terjadi sehingga pada akhirnya menjadi struktur dosa.


1. Pembedaan Pekerjaan (Job Descrimination)

Setelah kita melihat pemahaman tentang stuktur dosa, dalam pembahasan ini kita akan coba melihat penyebab atau pemicu munculnya dosa sosial dalam sebuah masyarakat secara khusus dalam konteks tulisan ini adalah perusahaan. Perusahaan Eveleth Taconite Co. memberikan quota pekerja buruh perempuan dan laki-laki dengan perbandingan 1:3. Sistem quota jumlah pekerja dalam perusahaan ini secara jelas merupakan sebuah sistem terstruktur yang menjadi pemicu timbulnya permasalahan. Quota jumlah pekerja dapat dipahami sebagai usaha pembedaan pekerjaan (Job Descrimination). Manuel Velasques menjelaskan mengenai pembedaan pekerjaan sebagai suatu bentuk deskriminasi. Menurut Velasques, diskriminasi tenaga kerja berarti membuat keputusan (atau serangkaian keputusan) yang merugikan pegawai (atau calon pegawai) yang merupakan anggota kelompok tertentu karena adanya prasangka yang secara moral tidak dibenarkan terhadap kelompok tersebut. Diskriminasi dalam ketenagakerjaan melibatkan tiga elemen dasar: Pertama, keputusan yang merugikan seorang pegawai atau lebih (atau calon pegawai) karena bukan didasarkan pada kemampuan yang dimiliki, misalnya dalam melaksanakan pekerjaan tertentu, senioritas, atau kualifikasi-kualifikasi yang secara moral dianggap sah lainnya. Kedua, keputusan yang sepenuhnya (atau sebagian) diambil berdasarkan prasangka rasial atau seksual, stereotipe yang salah, atau sikap lain yang secara moral tidak benar terhadap anggota kelompok tertentu dimana pegawai tersebut berasal. Ketiga, keputusan (atau serangkaian keputusan) yang memiliki pengaruh negatif atau merugikan pada kepentingan-kepentingan pegawai, yang mungkin mengakibatkan mereka kehilangan pekerjaan, kesempatan memperoleh kenaikan pangkat, atau gaji lebih baik[11].

Bermula dari adanya mekanisme ketidakadilan berupa pembedaan kerja antara laki-laki dan perempuan akhirnya memicu bentuk-bentuk ketidakadilan lainnya. Perusahaan tambang Eveleth Taconite Co. memunculkan kebijakan akan pembedaan kerja yang didasarkan pada jenis kelamin. Permasalahan ini dapat terjadi dengan mudah karena adanya sistem quota jumlah pekerja perempuan yang tidak sebanding dengan pekerja laki-laki. Pembedan kerja semacam ini sunnguh merupakan kebijakan yang disengaja oleh perusahaan dan akhirnya menjadi mekanisme pembagian kerja. Sifat pembedaan kerja dalam perusahaan tambang menjadi kebijakan yang disengaja dan terinstitusionalisasi dengan sendirinya. Pihak yang akan menjadi korban tentunya adalah pihak perempuan karena mereka masuk dalam kelompok minaritas.

Mekanisme pembedaan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin ini jelas merupakan kebijakan yang tidak etis. Pembedaan pekerjaan dapat diantisipasi dengan menempatkan pekerja bukan didasarkan pada jenis kelamin, ras, agama dll., namun didasarkan pada kompetensi atau pengalaman konkret dari pekerja sendiri[12]. Film North Country memaparkan dengan jelas mengenai pembedaan pekerjaan yang didasarkan pada jenis kelamin. Pihak perempuan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya bukan dalam kapasitasnya sebagai pekerja. Pengaruh senioritas pekerja dan dominasi pekerja laki-laki juga sangat kentara terlihat dalam perusahaan Eveleth Taconite Co. Beberapa pekerja perempuan dipaksa melakukan pekerjaan melebihi apa yang seharusnya menjadi bidang kerja yang menjadi tanggung jawabnya seturut perintah dari kepala bagian yang notabene pasti dipegang oleh pekerja laki-laki yang senior termasuk juga melayani dan menerima pelecehan seksual yang dilakukan oleh pekerja laki-laki[13]. Pekerja perempuan menerima dan melakukan semua perintah itu dengan sebuah keterpaksaan karena tidak adanya mekanisme yang dapat dibangun oleh pekerja perempuan untuk melawan perintah-perintah kepala bagian yang tidak adil.


2. Pelecehan Seksual (Sexual Harrasment)

Bentuk lain pemicu struktur dosa adalah tindakan pelecehan seksual. Kaum perempuan merupakan korban dari salah satu bentuk diskriminasi yang terang-terangan dan koersif yaitu bahwa mereka menghadapi kemungkinan pelecehan seksual. Equal Employment Opportunity Commission mempublikasikan serangkaian pedoman untuk mendefinisikan pelecehan seksual dan menetapkan apa yang menurut mereka sebagai tindakan melanggar hukum. Pedoman tersebut menyatakan: “rayuan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk melakukan hubungan, dan kontak verbal atau fisik lain yang sifatnya seksual merupakan pelecehan seksual apabila: Pertama, sikap tunduk terhadap tidakan teresebut secara eksplisit ataupun implisit dikaitkan dengan situasi atau syarat-syarat kerja seseorang. Kedua, sikap tunduk atau penolakan terhadap tindakan tersebut digunakan sebagai dasar untuk membuat keputusan yang berpengaruh pada individu yang bersangkutan. Ketiga, tindakan tersebut bertujuan mengganggu pelaksanaan pekerjaan seseorang atau menciptakan lingkungan kerja yang diwarnai dengan kekhawatiran, sikap permusuhan, atau penghinaan”. Pedoman tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa pelecehan seksual dilarang dan bahwa pengusaha atau perusahaan bertanggung jawab atas semua tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh para pekerja baik itu yang diketahui ataupun seharusnya diketahui oleh perusahaan dan tidak menjadi masalah apakah tindakan tersebut dilarang oleh perusahaan.

Pedoman ini secara moral dibenarkan karena dimaksudkan untuk mencegah terjadinya situasi yang memungkinkan terjadinya tindakan pelecehan seksual yang disertai ancaman yang berimplikasi pada pekerjaan. Pelecehan seksual terhadap kaum perempuan ini bukan saja menciptakan kerugian psikologis namun juga melanggar kebebasan dan martabatnya sebagai manusia. Tindakan pelecehan ini merupakan penyalahgunaan kekuasaaan yang sangat tidak adil terhadap pekerja. Pedoman ini juga mencakup tindakan-tindakan yang menciptakan lingkungan kerja yang diwarnai dengan kekhawatiran, sikap permusuhan, atau penghinaan. Perusahaan dianggap bersalah apabila menciptakan lingkungan kerja yang memusuhi atau ofensif terhadap perempuan. Dalam kasus Eveleth Taconite Co., perusahaan tersebut secara sengaja menciptakan situasi yang tidak nyaman bagi perempuan, hal ini secara moral dianggap salah. Lingkungan kerja yang tidak baik biasanya diciptakan oleh pihak laki-laki yang lebih berkuasa terhadap pegawai perempuan yang lebih rentan, dan lingkungan semacam ini sangat merugikan kaum pekerja perempuan karena mereka akan cenderung dianggap remeh sehingga sulit bersaing dengan pekerja laki-laki yang lain secara adil. Tindakan-tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pekerja pria secara tidak langsung mendapat legitimasi dari pimpinan karena pihak pimpinan perusahan tidak mengambil tindakan tegas yang membela hak kaum perempuan bahkan malah mengambil keputusan memberhentikan pekerja perempuan secara sepihak[14].

Dari uraian diatas nampak bahwa pemicu terjadinya struktur dosa bisa beraneka ragam. Kebijakan atau keputusan tidak adil yang dibuat perusahaan akan memunculkan suatu permasalahan yang merugikan pekerja. Sistem-sistem terstruktur dari perusahaan yang mengabaikan kebaikan bersama ini akan memudahkan orang bertindak tidak adil dan merugikan pihak lain. Oleh karena itu, pelaku ketidakadilan bukan saja pada individu perseorangan saja namun juga menyangkut jaringan struktural dalam perusahaan. Permasalahan terstruktur ini kiranya tidak dapat dicegah dengan hanya mengambil kebijakan yang menyangkut perseorangan saja atau pelaku konkret ketidakadilan, namun kebijakan yang perlu diambil hendaknya juga memperhatikan sistem yang memungkinkan orang atau perusahaan berbuat tidak adil yaitu dengan cara memperbaiki sistem-sistem perusahaan yang merugikan.


D. SOLIDARITAS SEBAGAI USAHA MELAWAN STRUKTUR DOSA

Akumulasi dosa-dosa pribadi yang membentuk dosa sosial atau struktur dosa merupakan permasalahan yang sangat kompleks. Pertanyaan selanjutnya: kita harus memulai dari mana untuk memutus atau mematahkan lingkaran dosa tersebut. Dalam film North Country diceritakan bahwa perilaku ketidakadilan yang menimpa pekerja perempuan telah sedemikian kompleks dan mengakar sehingga para pekerja perempuan sendiri tidak tahu harus berbuat apa? Ada beberapa pekerja perempuan yang menerima begitu saja perlakuan asusila dari pekerja laki-laki, ada yang bersikap acuh tak acuh kendati dalam dirinya ada konflik batin, ada yang berkehendak melaporkan kepada pimpinan[15] namun ternyata pimpinan perusahaan pun masuk dalam struktur dosa tersebut. Sungguh, para pekerja perempuan mengalami dilema moral. Dilema moral terjadi apabila seseorang tidak mempunyai nilai tawar terhadap pilihan-pilihan yang harus diambil dan diputuskan, dengan kata lain sesorang dihadapkan pada pilihan yang serba tidak menguntungkan dan sama-sama berat.

Josey, salah seorang pekerja perempuan yang mengalami usaha-usaha pelecehan seksual berinisiatif menggugat perusahaan tempat dia bekerja. Tak satupun rekan kerjanya yang memberikan dukungan kepada dia, namun ia tetap berkehendak melaporkan segala kasus ketidakadilan yang telah diterima para pekerja perempuan. Kendati ia sudah berhenti dari pekerjaannya akibat dipecat secara sepihak oleh majikannya namun ia tetap solider dengan situasi kaum buruh perempuan sehingga ia pantang menyerah berusaha menegakkan dan mengembalikan hak-hak para pekerja perempuan. Persidangan-persidangan ia lalui dengan dibantu oleh salah seorang pengacara kenalannya. Ia mengajukan gugatan class-action dengan tuntutan pelecehan seksual, kekerasan fisik dan pembagian jenis pekerjaan yang tidak adil[16]. Akhirnya ia mendapat dukungan dari rekan-rekannya bahkan ada beberapa kaum pekerja laki-laki yang mendukung usahanya.

Dalam konteks Ajaran Sosial Gereja, permasalahan ini sebenarnya hampir mirip dengan permasalahan yang dialami Gereja ketika pertentangan antara blok Barat dan Blok Timur masih terjadi. Dunia yang terbelah menjadi dua blok dengan dasar ideologi masing-masing yang sangat ketat akhirnya memunculkan imperialisme. Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa pertentangan ini berakibat terhadap negara-negara miskin. Bapa Suci mengibaratkannya sebagi nafsu memakan segala-galanya demi keuntungan dan rasa haus kuasa dengan tujuan memaksakan kehendak seseorang atas orang lain[17]. Oleh karena bentuk imperialisme yang mengakar dan sungguh merendahkan martabat manusia yang lemah ini memberikan inspirasi baginya, Paus mengajak untuk mengembangkan konsep solidaritas. Kata ini memiliki getaran istimewa baginya dari istilah solidarność, yang diambil oleh gerakan persatuan dagang Polandia dalam perjuangannya melawan otoritas komunis. Menurut Paus, struktur dosa hanya dapat dikalahkan oleh sikap yang berkebalikan total yaitu suatu komitmen untuk kebaikan sesama dengan suatu kesiapan untuk menyangkal diri demi orang lain daripada memanfaatkannya dan untuk melayaninya daripada menyerangnya demi keuntungan diri. Apa yang dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II di sini adalah sebuah gagasan bahwa solidaritas merupakan lawan bagi dosa struktural. Secara tegas Sollicitudo Rei Socialis memaparkan tentang makna solidaritas. Solidaritas dipahami bukan sebagai perasaan belas kasihan banyak orang, dekat maupun jauh. Sebaliknya, solidaritas ialah tekad yang teguh dan tabah untuk membaktikan diri kepada kesejahteraan umum, artinya kepada kesejahteraan semua orang dan setiap perorangan karena kita ini semua sungguh bertanggung jawab atas semua orang[18]. Dengan prinsip solidaritas ini, manusia bersama dengan sesamanya diharapkan ikut menyumbang kesejahteraan bersama di segala tingkatan. Solidaritas sungguh terselenggara apabila sesama warga saling mengakui sesamanya sebagai pribadi.

Solidaritas dalam konteks film North Country pertama-tama dapat dilihat dari sikap para pekerja perempuan yang mendukung upaya Josey melancarkan gugatan class action kepada Pearson selaku pimpinan perusahaan dan terhadap struktur sistem perusahaan Eveleth Taconite Co yang memicu munculnya ketidakadilan. Akibat dari banyaknya dukungan yang diberikan kepada Josey, akhirnya Josey memenangkan tuntutannya kepada Eveleth Taconite Co. Perusahaan Eveleth Taconite Co. bersedia memberikan uang ganti rugi kepada sejumlah pekerja perempuan yang mengalami tindakan pelecehan seksual. Eveleth Taconite Co. bersedia memperbaiki sistem perusahaan terutama yang berkaitan dengan kaum buruh perempuan dengan memberikan jaminan hukum kepada para pekerja perempuan dari tindakan pelecehan seksual dan tindakan-tindakan lain yang mengarah kepada ketidakadilan yang dialami kaum pekerja perempuan[19].


E. TINDAKAN AFIRMATIF SEBAGAI BENTUK SOLIDARITAS

Lebih lanjut Manuel Velasques mempaparkan mengenai tindakan afirmatif sebagai Salah satu bentuk solidaritas yang ditawarkan dalam kajian etika bisnis. Banyak perusahaan yang melaksanakan program-program tindakan afimatif yang dimaksudkan untuk mencapai distribusi yang lebih representatif dalam perusahaan dengan memberikan preferensi pada kaum perempuan dan kelompok minoritas. Tindakan afirmatif dilakukan oleh perusahaan sebagai usaha menghapus pengaruh-pengaruh masa lalu. Program-program tindakan afirmatif pada saat ini telah ditetapkan sebagai kewajiban bagi semua perusahaan yang menandatangani kontrak dengan pemerintah. Inti program tindakan afirmatif adalah sebuah penyelidikan yang mendetail atas semua klasifikasi besar dalam perusahaan. Tujuan penyelidikan adalah untuk menentukan apakah jumlah pegawai perempuan dan minoritas dalam klasifikasi kerja tertentu, lebih kecil dibandingkan yang diperkirakan dari tingkat ketersediaan kelompok di wilayah tempat tenaga kerja tersebut direkrut.

Tindakan afirmatif ini juga dapat dilihat sebagai suatu bentuk kompensasi yang didasarkan pada prinsip keadilan kompensatif. Keadilan kompensatif memberikan implikasi bahwa seseorang wajib memberikan kompensasi terhadap orang-orang yang dirugikan dengan sengaja. Namun kiranya pernyataan ini perlu dikritisi. Tindakan ganti rugi hendaknya bukan saja dilakukan oleh individu-individu yang melakukan tindakan tidak adil atau yang merugikan para pekerja lainnya, namun hendaknya semua pribadi yang masuk dalam struktur ketidakadilan bertanggung jawab atas terjaminnya keadilan bagi para pekerja yang menjadi korban. Pihak yang mengganti rugi bukan hanya perseorangan namun perusahaan juga dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi bagi para korban karena perusahaan memiliki pengaruh yang besar dan masuk dalam lingkaran struktur ketidakadilan.

Sebagai contoh dalam film North Country, Josey melakukan tuntuntan class action bukan hanya pada para pekerja pria yang melakukan tindakan pelecehan seksual kepada pekerja wanita. Josey juga melancarkan tuntutan kepada pinpinan perusahaan. Secara tidak langsung tuntutan yang dilancarkan oleh Josey dialamatkan kepada perusahaan, mulai dari pimpinan sampai level bawah yaitu para pekerja sendiri.

Tindakan afirmatif mempunyai tujuan supaya terjadi keadilan yang merata, tindakan ini memang secara moral merupakan cara yang sah untuk mencapai tujuan dan tujuan terakhir adalah untuk menetralkan kelemahan kompetitif yang saat ini dimiliki oleh kaum perempuan dan minoritas dalam persaingan dengan pekerja laki-laki. Tujuan dasar dari tindakan afirmatif adalah terciptanya nasyarakat yang lebih adil, masyarakat dimana kesempatan yang dimiliki seseorang tidak dibatasi oleh ras atau jenis kelaminnya[20].

Oleh karena itu, pertimbangan-petimbangan yang perlu diperhatikan oleh perusahaan ketika mengambil keputusan tindakan afirmatif perlu memperhatikan kelompok ras dan jenis kelamin. Hal ini dimaksudkan supaya tidak ada diskriminasi kepada kaum perempuan dan kaum minoritas dalam perusahaan, kendati memang ada jenis-jenis pekerjaan yang hanya dipercayakan hanya kepada laki-laki atau perempuan saja dengan pertimbangan keselamatan. Oleh karena itu, perusahaan juga perlu merancang perekrutan pegawai secara inovatif supaya tidak terjadi dikriminasi namun juga perusahaan tersebut tidak akan terancam kolaps atau mengalami kebangkrutan karena terlalu menekankan dan memprioritaskan perekrutan pagawai dari kalangan kaum perempuan dan minoritas yang belum memiliki kualifikasi seturut standart perusahaan.

Dalam kasus Eveleth Taconite Co., tindakan afirmatif yang bisa ditempuh oleh perusahaan supaya permasalahan mengenai tindakan ketidakadilan dan pelecehan seksual terhadap kaum pekerja perempuan dapat dicegah adalah dengan memberikan ganti rugi dan memperbaiki sistem perusahaan yang tidak adil. Pemberian ganti rugi kepada pihak korban merupakan bentuk kompensasi dari kerugian baik psikis maupun material yang telah diderita oleh pekerja perempuan. Pemberian ganti rugi ini dapat ditempuh oleh perusahaan, namun perusahaan perlu mengambil kebijakan yang tegas terhadap karyawannya yang terbukti benar-benar melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap pekerja perempuan karena tindakan kekerasan dan pelecehan seksual ini termasuk dalam tindakan pidana. Lebih dari itu, perusahaan tidak cukup hanya memberikan ganti rugi terhadap korban. Dosa sosial hanya dapat diantisipasi dengan tindakan bersama dan menyeluruh. Dalam kasus ini, pemberian ganti rugi dan memperkarakan pelaku kriminal tidak sepenuhnya dapat mengatasi permasalahan ketidakadilan yang terjadi dalam perusahaan apabila perusahaan tidak memperbaiki struktur atau sistem kebijakan yang memungkinkan ketikadilan terjadi. Perusahaan perlu melihat dan merombak sistem kerja perusahaannya dan memperbaikinya dengan mendasarkan diri pada prinsip solidaritas. Sistem yang dapat ditempuh perusahaan misalnya dengan menambah jumlah (quota) para pekerja perempuan dan menerapkan tata peraturan atau undang-undang yang melindungi semua pekerja baik perempuan maupun juga laki-laki. Pelecehan dan tindak kekerasan yang biasa terjadi di perusahaan tersebut disebabkan karena struktur yang menempatkan para pekerja pria berada di atas segala-galanya dan pihak perempuan berada dalam situasi korban karena jumlah mereka sedikit dan tidak ada kemampuan atau solidaritas satu sama lain untuk melawan. Penambahan jumlah pekerja perempuan sehingga berimbang dengan pekerja laki-laki memungkinkan para pekerja baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesamaan hak dan kewajiban dan terjaminnya perlindungan hukum bagi semua pekerja.


F. PENUTUP

Membahas kajian moral-tranformasi dalam dunia perusahaan tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip etika secara khusus etika bisnis. Pertobatan dalam pembahasan kasus Jenson v. Eveleth Taconite Co. mengacu pada proses pertobatan moral sosial. Masalah-masalah yang biasa terjadi dalam perusahaan merupakan masalah-masalah yang tidak hanya menyangkut pribadi-pribadi melainkan menyangkut banyak orang dan lembaga perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu tanggung jawab moral tidak dapat seluruhnya diletakan pada individu saja, melainkan juga pada masyarakat sekitar individu dan dalam konteks perusahaan adalah lembaga perusahaan itu sendiri beserta stuktur-struktur yang ada didalamnya. Tindakan-tindakan pekerja yang tidak adil, kasus-kasus yang terjadi dan merugikan dan juga struktur-struktur yang diskriminatif dalam perusahaan hanya dapat dilawan dengan solidaritas. Josey dalam film North Country, merupakan seorang agen perubahan. Ia menawarkan akan adanya suatu nilai solidaritas diantara kaum pekerja tambang. Nilai solidaritas menjadi jalan masuk untuk membongkar situasi atau struktur dosa yang telah terjadi di perusahaan tersebut.

Solidaritas mau menunjuk suatu tindakan yang senantiasa didasarkan pada tujuan demi kesejahteraan semua orang atau rasa tanggung jawab seseorang terhadap orang lain. Konsep solidaritas yang ditawarkan dalam pembahasan ini adalah tindakan afirmatif. Tindakan afirmatif merupakan tindakan yang perlu diusahakan oleh suatu perusahaan demi terciptanya kesejahteraan bersama baik itu antar para pekerja maupun juga dengan majikan. Tindakan afirmatif dalam konteks film North Country merupakan suatu bentuk transformasi sosial. Perusahaan menyadari bahwa terdapat struktur kedosaan dalam perusahaan yang merugikan pekerja perempuan, sebagai langkah transformatifnya perusahaan Eveleth Taconite Co. memberikan ganti rugi atas segala tindakan tidak adil yang telah terjadi kepada para pekerja perempuan dan memperkarakan para pelakunya, namun lebih dari itu Eveleth Taconite Co. akhirnya memperbaiki sistem atau kebijakan-kebijakan yang selama ini tidak mempedulikan nasib para pekerja secara khusus pekerja perempuan dengan menambah jumlah pekerja perempuan dan memberikan jaminan hukum kepada semua pekerjanya. Kemenangan kaum buruh ini diadopsi dalam penyusunan Undang-Undang Pelecehan Seksual (Sexual Harassment Law) di Amerika Serikat. Peristiwa ini memberikan inspirasi bagi perusahaan-perusahaan lain yang mempekerjakan kaum perempuan di perusahaannya.


DAFTAR PUSTAKA

R. Hardawiryana, S.J., (alih bahasa)

1999 Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai Centesimus Annus, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta.

Kate Troy,

2005 From a Hostile Work Environment to a Hostile Courtroom: Heroes, Victims, and Martyrs, Center on Women and Public Policy Case Study Program Humphrey Institute of Public Affairs University of Minnesota, Minnesota.

Koerniatmanto Soetoprawiro,

2003 Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme: Memahami Keterlibatan Sosial Gereja, Kanisius, Yogyakarta.

Paul Valey (ed.),

2007 Cita Masyarakat Abad 21: Visi Gereja Tentang Masa Depan, Kanisius, Yogyakarta.

Soetoprawiro,

2006 Prinsip Keterlibatan Sosial Gereja (Seri Pastoral 390), Pusat Pastoral Yogyakarta, Yogyakarta.

Niki Caro,

2005 North Country, Warner Bros Pictures and Participant Productions, Warner Bros.

Eighth Circuit Court of Appeals,

2007 “Decision in Jenson v Eveleth Taconite Co”.dalam The Real Case Behind "North Country" Lawsuit that inspired a new movie starring Charlize Theron paved the way to better workplaces. http://www.atla.org/Global/global.css, diunduh pada 12 Oktober 2007.

US. 8th Circuit Court of Appeal,

2007 Jenson v. Eveleth Taconite Co., dalam www.findlaw.com/FindLaw for Legal Professionals - Case Law, Federal and State Resources, Forms, and Code.mht/Jenson v. Eveleth Taconite Co. (semacam Berkas Acara Pemeriksaan dalam persidangan kasus Jenson v. Eveleth Taconite Co.) diunduh pada 12 Oktober 2007.

Kusmana, Ganjar, SH.,

2005 “Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Kondisinya di Indonesia dan Cara Mengatasinya”, dalam Informasi Hukum Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, www.nakertrans.go.id, diunduh pada 10 Desember 2007.

Ninuk Mardiana Pambudy,

2007 “Jangan Tunda Perlindungan bagi TKI”, www.kompas.co.id, 17 September 2007, diunduh pada 10 Desember 2007.

-------------,

2007 “Buruh Perusahaan Jepang Berunjuk Rasa: Menolak Penutupan Perusahaan dan PHK”, www.kompas.co.id, 26 Oktober 2007, diunduh pada 10 Desember 2007.

-------------,

2007 Jenson v. Eveleth Taconite Co., Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Jenson_v._Eveleth_Taconite_Co, diunduh pada 12 Oktober 2007.

-------------,

2005 North Country, http://www.wordpress.com/North Country, diunduh pada 12 Oktober 2007.


[1] --, “Buruh Perusahaan Jepang Berunjuk Rasa: Menolak Penutupan Perusahaan dan PHK”, www.kompas.co.id, 26 Oktober 2007, diunduh pada 10 Desember 2007.

[2] Ninuk Mardiana Pambudy, “Jangan Tunda Perlindungan bagi TKI”, www.kompas.co.id, 17 September 2007, diunduh pada 10 Desember 2007.

[3] Koerniatmanto Soetoprawiro, Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme: Memahami Keterlibatan Sosial Gereja, Kanisius, Yogyakarta, 2003, 214.

[4] Mater et Magistra, 66.

[5] Gaudium et Spes, 26.

[6] Intisari cerita North Country disarikan dari VCD North Country, Warner Bros, 2005; Jenson v. Eveleth Taconite Co., Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Jenson_v._Eveleth_Taconite_Co, diunduh pada 12 Oktober 2007; dan http://www.wordpress.com/North Country, diunduh pada 12 Oktober 2007.

[7] Soetoprawiro, Prinsip Keterlibatan Sosial Gereja (Seri Pastoral 390), Pusat Pastoral Yogyakarta, Yogyakarta, 2006, 22.

[8] Clifford Longley, “Struktur-Struktur Dosa dan Pasar Bebas: Paus Yohanes Paulus II Mengenai Kapitalisme”, dalam Paul Valey (ed.), Cita Masyarakat Abad 21: Visi Gereja Tentang Masa Depan, Kanisius, Yogyakarta, 2207, 135-136.

[9] Sollicitudo Rei Socialis, 36.

[10] Kate Troy, From a Hostile Work Environment to a Hostile Courtroom: Heroes, Victims, and Martyrs, Center on Women and Public Policy Case Study Program Humphrey Institute of Public Affairs University of Minnesota, Minnesota, 2005, 5.

[11] Manuel G. Velasques, Etika Bisnis: Konsep dan Kasus – Edisi 5, Andi, Yogyakarta, 2005, 369.

[12] Manuel G. Velasques, Etika Bisnis: Konsep dan Kasus – Edisi 5, 389.

[13] Kate Troy, From a Hostile Work Environment to a Hostile Courtroom: Heroes, Victims, and Martyrs, 4.

[14] Manuel G. Velasques, Etika Bisnis: Konsep dan Kasus – Edisi 5, 390 - 391.

[15] Ganjar Kusmana, SH., “Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Kondisinya di Indonesia dan Cara Mengatasinya”, dalam Informasi Hukum Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, www.nakertrans.go.id, 2005, diunduh pada 10 Desember 2007.

[16] US. 8th Circuit Court of Appeal, Jenson v. Eveleth Taconite Co., dalam www.findlaw.com/FindLaw for Legal Professionals - Case Law, Federal and State Resources, Forms, and Code.mht/Jenson v. Eveleth Taconite Co. (semacam Berkas Acara Pemeriksaan dalam persidangan kasus Jenson v. Eveleth Taconite Co.) diunduh pada 12 Oktober 2007.

[17] Sollicitudo Rei Socialis, 37.

[18] Sollicitudo Rei Socialis, 38

[19] Eighth Circuit Court of Appeals, “Decision in Jenson v Eveleth Taconite Co”.dalam The Real Case Behind "North Country" Lawsuit that inspired a new movie starring Charlize Theron paved the way to better workplaces. http://www.atla.org/Global/global.css, diunduh pada 12 Oktober 2007.

[20] Manuel G. Velasques, Etika Bisnis: Konsep dan Kasus – Edisi 5, 399-400.



[get this widget]

0 comments: