April 08, 2008

MANUSIA SEBAGAI CITRA DAN REKAN SEKERJA ALLAH ( Pandangan Kristiani Tentang Manusia )

 

A. PENGANTAR

Hampir setiap hari, dapat kita saksikan melalui media massa, aneka macam keprihatinan menyangkut persoalan-persoalan kemanusiaan. Masih hangat dalam ingatan kita beberapa waktu lalu, ratusan biksu tewas secara sangat menyedihkan saat memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia dalam demonstrasi damai menentang kekerasan dan militerisasi kekuasaan Junta di Myanmar[1]. Hampir menjadi berita langganan dalam media massa, penganiayaan para tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia di Malaysia, suatu gambaran tragedi kemanusiaan[2]. Fenomena bunuh diri merebak karena persoalan ekonomi yang semakin mencekik. Kasus-kasus aborsi tak kunjung menyusut[3]. Kekerasaan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk, semakin marak terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Alampun semakin tidak bersahabat dengan manusia, saat manusia ‘main kuasa’ terhadap alam serta ‘ngawur’ dalam pengembangan teknologi dan pembangunan. Kasus semburan lumpur Lapindo, banjir di Jakarta yang rutin terjadi setiap musim penghujan, menjadi bukti ketidakbijaksanaan manusia dalam memperlakukan alam di sekitarnya[4]. Persoalan paling parah dan menjadi keprihatinan dunia adalah Global Warming. Pemanasan Global bukan hanya masalah suhu udara yang semakin panas, namun sudah menjadi masalah kemanusiaan global. Human Development Report (HDR) 2007 Dana Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP) dalam presentasi di laporannya menyebutkan bahwa ‘pertempuran melawan perubahan iklim merupakan bagian dari perjuangan melawan kemanusiaan’[5]. Aneka macam keprihatinan ini menunjukkan adanya ‘tragedi kemanusiaan’ yang luar biasa, yakni persoalan-persoalan kemanusiaan menyangkut relasi manusia dirinya sendiri, dengan sesamanya, dengan alam semesta, dan dengan Allah Sang Pencipta yang telah menempatkan manusia secitra denganNya[6]. ‘Tragedi Kemanusiaan’ yang terwujud dalam aneka macam bentuk keprihatinan ini, mengajak kita sebagai umat manusia untuk berpikir dan berefleksi kembali mengenai siapakah manusia, khususnya dalam relasinya dengan diri sendiri, sesama, alam semesta dan Allah Sang Pencipta. Tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran mengenai jati diri manusia dari sudut pandang kristiani. Dengan pemahaman yang benar mengenai hakekat manusia, kita diharapkan semakin mampu menghayati kemanusiaan kita sebagai makhluk yang bermartabat dan sekaligus sebagai makhluk ciptaan istimewa yang dipanggil menjadi ‘wakil’ Allah di dunia ini. Untuk mempermudah kita dalam memahami tulisan ini, sistematika penulisan dibuat demikian. Bagian pertama merupakan penjelasan mengenai siapakah manusia menurut cara pandang kristiani. Pada bagian ini, ada lima pokok gagasan yang hendak diuraikan, yakni: (1) manusia sebagai mahkluk yang otonom sekaligus memiliki ketergantungan, (2) manusia sebagai kesatuan jiwa dan badan, (3) manusia sebagai makhluk rohani sekaligus jasmani, (4) manusia sebagai makhluk individual sekaligus sosial, serta (5) manusia makhluk yang hidup dan sekaligus mengalami kematian. Sedangkan, bagian kedua adalah catatan akhir yang berisi refleksi penulis (kelompok) mengenai jati diri manusia dalam kaitannya dengan aneka macam ‘tragedi kemanusiaan’ yang terjadi dalam kehidupan manusia dewasa ini.

B. PANDANGAN KRISTIANI TENTANG MANUSIA

Dalam pandangan kristiani, manusia dipahami sebagai citra Allah yang menjadi partner (rekan kerja) Allah. Kitab Kejadian menyebutkan bahwa manusia diciptakan secitra dengan Allah (Kej 1:26-27). Dengan alasan bahwa manusia berkuasa atas ciptaan lain, maka manusia menampakkan dan menampilkan citra Penciptanya. Sifat alami manusia tidak dapat berdiri sendiri namun hanya berarti dalam relasinya dengan Allah. Manusia ditempatkan dalam ciptaan yang secitra dengan Allah, sebagai citra Allah manusia menghadirkan Penciptanya di dunia[7].

Keunikan kodrat manusia, antara lain terletak pada akal budi yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan dan menentukan diri sendiri. Kemampuan ini tidak ditemukan dalam makhluk hidup yang lain, seperti hewan dan tumbuhan. Individualitas dan rasionalitas menjadikan manusia menjadi makhluk berpribadi. Dalam dimensi rohani diri manusia, rasionalitas adalah unsur hakiki yang menentukan manusia sebagai pribadi. Sebagai pribadi, keberadaan manusia terkait dengan dunia di luar dirinya, kepribadian seseorang (manusia) ditemukan dalam tubuh, budi, kemampuan berkeputusan dan menentukan diri sendiri.

Pribadi manusia tidak hanya menunjuk dimensi rohani manusia saja, tetapi juga berhubungan dengan keberadaan manusia secara menyeluruh. Pribadi menunjuk manusia sebagai roh yang berdaging. Tubuh dan jiwa manusia adalah suatu kesatuan. Sifat yang paling bermakna dari pribadi manusia adalah menjadi subyek, yaitu sumber interior keputusan bebas. Sebagai pribadi, manusia menjadi tuan atas semua tindakan dan perwujudan dirinya. Pribadi manusia berperan menata kembali dalam dirinya suatu pusat kegiatan manusia dengan menguasai diri dan seluruh kegiatan hidupnya. Sebagai subyek moral, manusia adalah subyek hal dan kewajiban sebab manusia adalah pemegang hak dan kewajiban. Sebagai pemegang hak, manusia mampu melakukan sesuatu bagi pribadinya atau bagi orang lain. Hak-hak yang terletak dalam pribadi manusia merupakan perpanjangan diri manusia. Hak-hak itu dipandang sebagai ruang yang menjamin otonomi manusia; hak-hak itu memungkinkan manusia untuk mengambil keputusan dan mengendalikan hidupnya[8].

Disamping makhluk berakal budi dan makhluk rohani, manusia adalah makhluk dinamis yang hidup, bertumbuh, dan berkembang dalam dinamika sejarah, menyejarah dan manusia adalah sejarah itu sendiri. Manusia yang berkeutamaan termasuk buah sejarah dan hidup menyejarah. Sejarah pribadi manusia ikut membentuk watak kepribadian. Dimensi sejarawi manusia merupakan bagian dari realitas objektif. Moralitas objektif dipandang sebagai kenyataan yang tak terlepas dari konteks sejarah. Kesejarahan manusia merentang di antara keberadaan manusia kini dan proses sedang menjadi. Dalam kesejarahan ini tercakup dimensi manusia yang sedang berkembang sehingga manusia selalu dalam keadaan menjadi. Inilah letak dinamika hidup manusia, senantiasa dinamis terutama akal budinya. Panggilan sejarah adalah panggilan Tuhan kepada manusia dan keberadaan manusia merupakan keberadaaan dari dan bagi Tuhan. Sejarah manusia ini menjadi tempat pembentukan dan pengembangan diri. Pengalaman manusia adalah jembatan masa lampau dengan keberadaan keadaan sekarang dan masa depan. Keberadaaan moral dan religius manusia selalu berada dalam konteks sejarah. Kesejarahan manusia ini mambantu manusia dalam mengambil keputusan dan bertindak secara moral. Unsur-unsur kesejarahan ini membantu manusia untuk memberikan penilaian secara lebih utuh dan menyeluruh. Berikut ini, secara lebih jelas dan sistematis akan diuraikan mengenai siapakah manusia, khususnya menyangkut hakekat manusia sebagai pribadi yang otonom dan sekaligus memiliki ketergantungan; kesatuan jiwa-badan, rohani-jasmani; makhluk individual sekaligus sosial; serta makhluk yang mengalami hidup dan sekaligus dapat mati.

B.1. Manusia: Otonomi-Ketergantungan

Gaudium et Spes 36 menyebutkan pengertian otonomi sebagai barang-barang yang diciptakan dan masyarakat yang mempunyai hukum-hukum dan nilai-nilai sendiri. Otonomi atau kedaulatan sebenarnya istilah politik. Istilah ini kemudian dipakai dalam arti yang lebih luas dan diterapkan pada segala bidang kehidupan dunia. Otonomi dunia dan otonomi manusia tidak bertentangan dengan kemahakuasaan Allah dan ketaatan mutlak terhadapNya. Pandangan tentang otonomi manusia menempatkan manusia tidak pada segala-galanya, dengan kata lain segala sesuatu tidak tergantung pada Allah dan bahwa manusia dapat saja menggunakannya dengan mengindahkan Pencipta. Antara ketergantungan pada Pencipta dan otonomi tidak ada pertentangan, sebab Allah menciptakan dunia dan nilai-nilai dunia yang sedikit harus dikenal, dimanfaatkan dan makin diatur oleh manusia. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang total dan radikal terbedakan dari Allah dan dengan demikian diberi hidup yang berdiri sendiri di dunia. Manusia ditempatkan oleh Tuhan di dunia ini agar mengatur dan mengembangkan dunia menurut pengertian dan tanggungjawabnya sendiri. Itulah otonomi manusia di dalam dunia yang otonom.

Bagi orang beriman, tidak ada alasan untuk melarikan diri dari dunia jika ingin berjumpa dengan Allah. Justru dalam jerih payah untuk mengenal, mengolah dan memelihara dunia demi kehidupan yang penuh, manusia secara nyata ikut berusaha bersama Allah Pencipta. Dalam kerjanya sehari-hari manusia hanya mengusahakan nilai-nilai terbatas. Juga nilai kedaulatan pribadi atau nilai kemerdekaan negara, nilai harga diri atau nilai kehormatan tidak boleh dimutlakkan seakan-akan untuk nilai terbatas seperti itu segala sesuatu boleh dikorbankan. Otonomi adalah anugerah dan sekaligus juga panggilan serta tugas pengutusan dari Allah. Dalam otonomi di hadapan Allah, moralitas manusia mengalami perkembangan sejati, dan pelaksanaan hidup serta pengaturan dunia menjadi tanggungan manusia dalam kesadaran dan kebebasan. Manusia tidak dapat tidak melaksanakan hidupnya dan mengatur dunia, maka manusia wajib melaksanakan hidupnya dan mengatur dunia sedapat mungkin. Itulah tanggung jawab manusia[9].

Pemahaman mengenai otonomi dan ketergantungan ini juga mau ditempatkan pada diri manusia dalam relasinya dengan sesamanya. Manusia adalah makhluk yang otonom. Manusia itu unik, khas, punya kebebasan untuk dirinya sendiri. Plato menyebutkan bahwa manusia bertanggungjawab pada dirinya sendiri. Individualitas lebih ditekankan, sebab menurutnya sosialitas manusia hanyalah gejala contingent (sementara) dan hakekat manusia adalah jiwa yang mencapai kesempurnaannya bila kembali pada asal atau sumbernya di dunia ideal. Descartes dalam konsepnya yang terkenal “cogito ergo sum” menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya adalah individu yang tertutup pada dirinya sendiri dan terisolir dari yang lain. Individu dapat mencapai kesadarannya sendiri. Kemudian Sartre menekankan eksistensi manusia bertolak dari kenyataan “ada untuk dirinya”. Namun demikian, disadari bahwa manusia hanya dapat mewujudkan dirinya sebagai manusia atau mengaktualisasikan dirinya dalam hubungan dengan sesama. Dimensi mengenai keberadaan manusia berada bersama dengan sesamanya ini hendak menunjuk dimensi sosial dan dimensi intersubyektif manusia. Manusia tidak muncul begitu saja di dunia, sebab pada hakikatnya ia memiliki ketergantungan dengan yang lain. Tidak mungkin manusia sendirian dalam mendidik diri, memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang pokok, merealisasikan cita-citanya dan sebagainya. Maka secara wajar manusia selalu ditemukan dalam kelompok, mula-mula kelompok kecil: keluarga, klan, suku, lambat laun dalam kelompok yang lebih besar: desa, kota, negara. Manusia hanya dapat menyempurnakan diri dalam kesatuan dengan yang lain dan ia bertanggungjawab terhadap yang lain. Pandangan ini misalnya sangat ditekankan oleh Gabriel Marcel. Marcel melihat bahwa ada keterbukaan dalam diri manusia, yakni hasratnya untuk berkomunikasi dengan yang lain. Kata yang sering digunakan “keberadaan bersama” (co-etre). Dalam hubungan dengan yang lain, terdapat kuasa diatas saya, yang mengatur, yang mengarahkan. Kuasa itu adalah cinta. Jauh sebelumnya, Aristoteles juga sudah menekankan bahwa manusia secara hakiki tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, mau tidak mau manusia harus hidup dalam kebersamaan dengan yang lain. Manusia pada hakekatnya selalu berada dalam otonomi dan korelasi (ketergantungan). Manusia adalah otonom karena pada hakekatnya manusia adalah unik, khas dan tak tergantikan oleh yang lain dan memiliki kebebasan untuk dirinya sendiri. Sekaligus manusia juga memiliki ketergantungan (korelasi) dengan yang lain. Manusia tidak serta merta ada begitu saja, melainkan ada karena yang lain. Manusia hidup berada di antara dan bersama dengan yang lain[10].

B.2. Manusia: Jiwa-Badan

Badan dapat dimengerti baik sebagai titik tolak dari pengalaman emosional, kehendak, dan budi maupun juga sebagai bagian dari dunia yang merupakan bidang utama bagi ekspresi pribadi manusia. Badan manusia merupakan keseluruhan kompleks dengan bagian-bagian yang masing-masing mempunyai tingkat kompleksitas dan tata susunan yang berbeda-beda. Badan juga berfungsi sebagai bidang ekspresi manusia. Sedangkan, jiwa manusia adalah kesatuan kompleks dari kegiatan-kegiatan mental, dari yang paling rendah ke yang bersifat intelekual. Namun masing-masing taraf kegiatan mental mempunyai tujuan atau cita-citanya sendiri. Cita-cita dari berbagai macam bagian manusia yang berlainan taraf itu dikoordinasikan dalam jenjang atau hirarki tertentu, sehingga cita-cita dari anggota yang lebih rendah merupakan spesifikasi dari dan sekaligus penopang bagi cita-cita dari bagian yang lebih tinggi. Dengan demikian, ada pembagian tugas yang rapi sehingga cita-cita bagian tertinggi meresapi seluruh bagian-bagain lain yang lebih rendah sehingga terjadi suatu kesatuan yang sinkron di dalam pembentukan diri manusia sebagai satu subjek pengalaman yang utuh. Karena bagian yang tertinggi mengatur bagian-bagian lain, cita-cita bersama dari seluruh organisme manusia ditentukan oleh bagian tertinggi. Maka seluruh kegiatan manusia diatur oleh suatu cita-cita atau keinginan tertentu. Dengan demikian badan manusia secara keseluruhan merupakan bidang ekspresi manusia yang ditentukan oleh jiwanya. Misalnya, kemarahan menimbulkan reaksi badani yang mungkin diekspresikan di dalam bahasa atau warna wajah, atau tindak kekerasan.

Pembedaaan antara badan dan jiwa bukanlah pembedaan yang menyebabkan mereka dapat dipisahkan satu dari yang lain. Manusia hanyalah satu. Kalau dipandang dari segi ekspresi maka aspek badan manusialah yang dijadikan pusat perhatian. Sedangkan kalau dilihat kesatuan kepribadian yang merupakan keutuhan yang tak terbagi-bagi maka aspek jiwa yang dijadikan pusat perhatian. Badan tidak bisa dipisahkan dari jiwanya[11]. Jiwa meliputi segala sesuatu yang khas manusiawi. Manusia memiliki hati dan budi. Semua yang bersangkutan degan hati atau budi termasuk bidang jiwa. Karena itu, bidang jiwa tersebut mencakup segala sesuatu yang menjamin atau mengusahakan kebebasan manusia, pendidikan, kebudayaan, hidup bersama baik dalam keluarga maupun masyarakat umum, struktur-struktur sosial politik, tata hukum, tata susila serta budi pekerti: juga pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa semua itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia.

Dalam semua hal yang disebut di atas, manusia mewujudkan dirinya dalam kebersamaan dengan sesamanya. Ia dituntut bertanggungjawab dan tanggungjawab itu meliputi pemikiran dan perencanaan, perhatian dan pengawasan, inisiatif pribadi dan usaha bersama, keterbukaan bagi perjumpaan dengan yang lain, keberanian mengambil resiko, kerelaan menghargai hak-hak sesama manusia dan semangat berkorban untuk kesejahteraan bersama. Jelas, hal-hal ini penuh dengan tantangan dan tuntutan bagi hati nurani manusia, perjuangan dan ketegangan, tetapi juga kepuasan dan kedamaian hati. Manusia terus-menerus berkonfrontasi dengan misteri hatinya sendiri dan dituntut supaya berani menggali tahap-tahap kehidupan yang paling dalam. Tetapi justru berhadapan dengan misteri hatinya, manusia menyadari bahwa seluruh hidupnya melampaui yang manusiawi dengan tak terhingga. Berhadapan dengan misteri hatinya, manusia mulai menyentuh dimensi kehidupan yang lebih dalam lagi, dan yang tidak terjangkau oleh usaha dan kegiatan manusia sendiri. Manusia mulai menyadari dimensi kehidupan yang lebih unggul atau transenden, yang mengatasi tata kehidupan yang dapat dialami langsung. Manusia mulai menyentuh bidang roh[12].

B.3. Manusia: Rohani-Jasmani

Manusia adalah makhluk rohani. Selain menyangkut hidup spiritual (agama), rohani juga berhubungan dengan daya-daya psikis manusia alamiah yang berakar dalam jiwa manusia sebagai makhluk yang bertransendensi. Sebagai makhluk yang bertransendensi, manusia mampu keluar dari diri sendiri dan mampu menangkap hal-hal dunia sebagai realitas di luar batinnya. Hal ini terjadi berkat intensionalitas yang merupakan sifat khas kesadaran manusia. Manusia disebut sebagai makhluk yang bertransendensi karena ia mampu menjangkau yang transendental[13]. Dengan pengertian transendentalnya, manusia mampu melampaui lingkungan hidupnya. Manusia sadar bahwa segala lingkungan hidupnya terbatas, dan bahwa semuanya yang ada merupakan bahan kesadaran. Oleh karena manusia adalah makhluk rohani, ia mampu mengembangkan suatu dunia ideal dan transendental, yang membedakannya dari makhluk hidup yang lain. Selain cerminan dunia real, yakni dunia sebagai kenyataan-situasi hidup, dunia ideal menjadi landasan bagi suatu pengertian yang lebih tinggi, yakni tentang suatu dunia dengan nilai-nilai ideal. Nilai-nilai yang menjadi bagian dunia ideal manusia mendapat perwujudannya dari dua sumber. Sumber pertama adalah cara manusia mengerti dunia, yakni secara universal dan transendental. Apa yang dialami manusia sebagai kenyataan atau peristiwa konkret di dunia ini, dimengerti olehnya sebagai universal dan transendental. Misalnya, kasihan dimengerti sebagai suatu sikap hati yang dapat merangkum segala yang ada. Sumber yang kedua, perwujudan nilai-nilai ialah hati nurani manusia. Dalam menangkap kenyataan atau peristiwa tertentu, manusia sadar bahwa apa yang ditangkap itu bukan hanya bertalian dengan kesadaran, melainkan juga dengan hidup, yakni dengan cara mengaturnya. Kebaikan dimengerti sebagai suatu yang memberikan arah kepada hidup dan menjadi tujuan hidup. Hal ini berarti bahwa kebaikan ditangkap manusia sebagai nilai. Nilai dianggap bersifat normatif bagi perkembangan hidup manusia, bagi hubungannya dengan barang, orang lain, dan dengan Tuhan.

Sebagai makhluk rohani, manusia tidak hanya memiliki kemampuan kesadaran transendental tentang dunia sebagai realitas di luar kesadaran, melainkan juga kesadaran transendental tentang nilai-nilai yang melebihi eksistensi individual manusia, yakni transendensi manusia ke arah Allah. Transendensi manusia ke arah Allah bukan pertama-tama merupakan suatu transendensi dalam wujud manusia sendiri, melainkan transendensi yang ada hubungannya dengan apa yang dituju. Apa yang dituju adalah sesuatu yang sama sekali melebihi wujud manusia, yakni Allah[14]. Inilah yang membedakan manusia dengan ciptaan lain, yakni sebagai ciptaan Allah, manusia diberi anugerah kemampuan untuk mengadakan hubungan balik dengan Allah. Hubungan ini terjadi di dalam hati manusia karena di dalam diri manusia yang terdalam itu Allah hadir (GS 16). Ia menerangi seluruh keberadaan manusia. Kehadiran dan penerangan inilah yang membuat manusia ada dan beraktivitas. Sejak penciptaannya, manusia dimungkinkan untuk mengimani Allah sebagai pencipta karena ia telah berpartisipasi pada inteligensia Allah dan bahwa sejak awal pula manusia berada di dalam rahmat Allah sendiri yang memungkinkan ia mengambil bagian dalam kehidupan ilahi Allah sendiri[15]. Dalam pengertian inilah, manusia juga disebut sebagai makhluk yang religius. Dalam dirinya sendiri tertanam suatu kesadaran bahwa di luar dirinya ada sesuatu yang ‘lebih’ dari dirinya; ada yang menciptakan. Pencipta dalam pandangan iman kristiani adalah Allah sendiri. Ia menciptakan manusia menurut gambaranNya (Kej 1:27). Pada hal inilah tergantung seluruh martabat manusia. Manusia menjadi ‘wakil’ Tuhan di dunia ini dan karena itu ia ‘menguasai’ alam raya. Ia menghadirkan Allah sendiri di dalam karya penciptaan (Kej 1:28). Manusia dari dirinya sendiri mampu mengenal segala sesuatu karena adanya ‘cap’ Allah yang melekat padanya. Dengan demikian, penciptaan manusia berarti suatu tindakan Allah untuk ‘menanam saham’ pada manusia yang dikonkretkan di dalam usaha manusia mengelola dan mengembangkan alam semesta karya cipta Allah. Penanaman saham ini oleh Bernhard Haring disebut sebagai pelimpahan tanggungjawab karena menurutnya manusia menjadi semakin serupa dengan gambaran Allah jika ia mampu ‘bertanggungjawab’ mengatur segalanya di hadapan Allah[16]. Penjelasan ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai relasi khusus dengan Allah karena manusia berasal dari Allah dan diarahkan untuk hidup di dalam dan kembali kepada Allah[17].

Hidup rohani (religius) ini khas bagi manusia, akan tetapi juga berhubungan dengan hidup jasmani manusia. Hidup rohani dan perkembangannya mempengaruhi hidup jasmani dan perkembangannya. Sebaliknya, hidup jasmani dan perkembangannya berpengaruh terhadap hidup rohani manusia. Hidup jasmani menyangkut kebertubuhan manusia. Karena kebertubuhannya, manusia juga disebut sebagai makhluk badani (homo somaticus). Beberapa tokoh biologi modern seperti Gehlen, Portman, Luckmann, memberi penjelasan mengenai sifat tubuh manusia yang khas dan istimewa bila dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain. Pertama, tubuh manusia amat kompleks, baik dari unsur-unsur konstitutif (pembentuknya), seperti: sistem saraf, peredaran darah, dll, maupun penempatan dan hubungan antara unsur-unsur itu. Semuanya ini memperlihatkan keistimewaan manusia. Kedua, tubuh manusia mengalami “strukturasi”. Sementara binatang lahir sudah dengan tubuh yang sempurna (jadi), manusia lahir masih dalam fase “strukturasi” (berproses membentuk sampai mampu berdikari). Ketiga, tubuh manusia tidak terspesialisasi. Manusia selama hidupnya terus berproses mengembangkan (mengaktualkan) berbagai macam kemampuan (potensi). Keempat, tubuh manusia bisa beradaptasi (adaptable). Justru karena tubuh manusia tidak terspesialisasi, manusia lebih mampu berkembang-menyesuaikan diri dengan lingkungan daripada binatang. Manusia lebih terbuka terhadap banyak kemungkinan terkait dengan lingkungan di sekitarnya. Kelima, tubuh manusia berdiri tegak (vertikal). Posisi vertikal merupakan kekhasan manusia. Posisi tegak manusia ini juga mempunyai aspek simbolis, mengarah pada yang di atas, kebangkitan, keselamatan, keterbukaan, transendensi, dll.

Dimensi tubuh selalu hadir dalam sepak terjang manusia; tak ada satu pun kegiatan manusia yang tidak memerlukan komponen tubuh. Struktur ketubuhan manusia melayani berbagai macam fungsi yang dibutuhkan dalam kegiatan manusia. Tubuh manusia dapat dimengerti dalam hubungannya dengan dunia (luar) dan partisipasinya dengan jiwa atau keakuan. Dengan tubuhnya, “aku” menyatakan diri, mengungkapkan diri dan berhubungan dengan dunia luar. Ada beberapa fungsi tubuh yang menunjukkan hakekat manusia secara khas. Pertama, salah satu fungsi pokok ketubuhan adalah ‘menduniakan’ manusia, membuat manusia pengada di dunia. Tubuh menempatkan manusia dalam situasi spatio temporal (ruang dan waktu). Berkat tubuhnya, manusia membuat hal-hal lain di sekitarnya menjadi lingkungannya. Kedua, tubuh manusia juga memerankan fungsi sosial. Berkat tubuhnya, manusia hadir di hadapan orang lain, menjadi makhluk sosial. Ketiga, tubuh juga mempunyai fungsi epistemologis. Dengan tubuhnya, manusia mampu untuk mengetahui, memahami, memeriksa, serta menganalisa alam sekitar dan objek-objek lain. Hal ini secara konkret terjadi lewat penggunaan alat-alat indera tubuh. Keempat, tubuh juga berfungsi ekonomis (kepemilikan dan penguasaan). Dengan tubuhnya, manusia ‘memiliki’ dunia. Dengan kata lain, semua yang disebut ‘milikku’ terjadi karena secara sempit atau luas mengadakan kontak dengan tubuhku. Barang-barang (milik) yang dikuasai manusia menjadi semacam perluasan (ekstension) dari tubuhnya, khususnya alat-alat (cangkul, kaca mata, dll). Kelima, tubuh mempunyai fungsi asketis (perohanian). Aristoteles dan Thomas Aquinas berpendapat bahwa tubuh merupakan bagian konstitutif dari manusia yang utuh, dalam rangka keunggulan dan kesempurnaannya atau kegagalan dan kejatuhannya. Kerena tubuh begitu erat dengan kebiasaan-kebiasaan yang bisa menjadi ukuran keutamaan maupun kejelekan manusia, peranan tubuh dalam membina keutamaan dan untuk menghancurkan keburukan sangat kentara. Kebiasaan yang membawa manusia pada nafsu-nafsu, seperti nafsu makan, seks, dan kesenangan-kesenangan fisik lainnya dapat dikendalikan lewat pengendalian tubuh.

Kebertubuhan merupakan komponen yang hakiki dari keberadaan manusia. Seluruh tindakan manusia mewujud dalam tindakan ragawi, tidak ada tindakan jiwani (rohani) semata. Dengan demikian, kebertubuhan merupakan bagian integral dari manusia. Namun demikian, manusia lebih dari sekedar tubuhnya. Ada sesuatu yang membuatnya melampaui batas-batas yang ditentukan oleh tubuhnya. Manusia mampu mengatasi batas-batas kebertubuhannya. Dan juga, yang menentukan hekekat manusia bukanlah semata-mata tubuhnya, sebab dengan kehilangan banyak bagian dari tubuhnya, manusia tidak berkurang martabatnya. Kendati cacat, kakinya putus, dll, dia tetap disebut sebagai manusia. Dengan demikian tubuh (jasmani) manusia merupakan suatu sistem yang kompleks, tetapi menjadi bagian dari kesatuan substansial yang tak terpisahkan dari jiwa (rohani) nya. Badan manusia boleh dikata merupakan bagian luar dari keakuan saya, yang menjadi peralatan natural, untuk mengungkapkan keakuan saya (eksteriorisasi), menyesuaikan diri dengan dunia saya (adaptasi), mendapatkan nafkahnya untuk kelangsungan identitas saya (integritas). Tubuh (jasmani), menghadirkan pribadi manusia yang terus-menerus berkembang. Maka, tidak mengherankan apabila iman kristiani mengajarkan kebangkitan badan karena begitu erat hubungannya dengan kerohanian manusia[18].

Dari uraian ini, kiranya jelas bahwa manusia merupakan kesatuan dari jasmani dan rohani. Jasmani dan rohani merupakan dua hal yang berbeda namun merupakan satu kesatuan yang membentuk pribadi manusia. Hal ini diibaratkan dengan istilah ‘kata’ dan ‘artinya’. Jasmani dan rohani hanyalah dua aspek dari manusia yang sama. Manusia berada di dalam satu kesatuan yang total. Begitu juga dalam setiap tindakannya, tindakan manusia bersifat jasmani dan rohani yang menggambarkan satu kesatuan yang total dari manusia yang sama.

B.4. Manusia: Individu-Sosial

Manusia adalah seorang pribadi yang utuh. Ia adalah sebuah realitas yang personal. Unsur-unsur pembentuk saling berintegrasi dan tidak menimbulkan chaos pada dirinya. Unsur-unsur itu bersatu dan berhubungan satu dengan yang lain untuk membentuk suatu struktur tertentu dan suatu fungsi tertentu. Keberadaan manusia yang intelektual, sensitif, afektif, dan biologis menyandang gelar yang disebut “Persona”. “Persona” menunjukkan bahwa manusia adalah seorang individu yang tidak ada duanya. Ia unik sebagai makhluk hidup. Ia berbeda dari yang lain. Struktur dan fungsinya yang tertutup untuk dirinya sendiri, membuat manusia itu menemukan dan memperkembangkan dirinya sendiri. Di sisi lain, individualitas inilah yang mengatur seluruh struktur dan fungsi dirinya. Ia menjadi manusia yang bebas menentukan dirinya sendiri. Sebagai pribadi ‘persona’, manusia mampu untuk merefleksikan dirinya sendiri[19]. Ia mempunyai kemampuan yang memungkinkan ia mampu melihat dirinya sendiri. Ia juga sekaligus mampu melihat kedalaman dirinya dan mendengarkan ‘suara’ di dalam dirinya sendiri. Inilah yang membuat manusia sebagai pribadi yang sulit ‘diukur’ dan sebagai pribadi yang dapat ‘lari’ dari segala bentuk penguasaan.

Dengan bahasa yang lain, Guardini menyebutkan bahwa manusia adalah pribadi yang utuh dan integral, spiritual dan kreatif… selalu dan dimana saja ia berada, ia menjadi dirinya sendiri dan tahu menempatkan dirinya sendiri. Ia menjadi makhluk yang sangat natural (dalam arti benar-benar sempurna); ia menjadi dirinya sendiri (saya menjadi semakin saya); dan tidak pernah menjadi orang lain. Namun pada saat yang sama, ia dapat mengkomunikasikan dirinya kepada yang lain. Manusia terbuka kepada dunia luar di luar dirinya. Gaudium et Spes melihat keterbukaan terhadap sesama ini sebagai unsur hakiki yang ada di dalam diri setiap orang. “Rukun hidup mereka merupakan bentuk pertama persekutuan antar pribadi. Sebab dari kodratnya yang terdalam manusia bersifat sosial; dan tanpa berhubungan dengan sesama ia tidak dapat hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannya” (GS 22). Keberadaannya menjadi nampak karena keterbukaannya terhadap yang lain. Ia adalah individu karena kebersamaannya dengan orang lain. Sebaliknya di dalam kebersamaannya dengan orang lain, ia menjadi seorang pribadi yang individual. Maka, manusia adalah makhluk individual sekaligus makhluk sosial.

Aristoteles menyebut manusia sebagai makhluk sosial (animale politico). Manusia hidup bersama dengan orang lain dalam polis (kota-publik). Polis adalah simbol dari kebersamaan yang menuntut partisipasi dari setiap anggotanya. Sebagai individu, manusia dalam kebersamaannya dengan yang lain, mengembangkan diri dan menjalankan segala kegiatan organisasi secara bersama. Para skolastik mendukung pendapat Aristoteles. Menurut St. Thomas Aquinas, kebersaman hidup adalah syarat mutlak bagi sebuah komunitas manusia karena di dalamnya orang menunjukkan identitas dirinya yang otonom, memahami dirinya justru dalam kebersamaan dengan yang lain. Semua tingkah laku manusia, seperti: melihat, mendengar, menyentuh, dsb, dilakukan dengan melibatkan sesama dan mengarah kepada sesama. Kehidupan bersama merupakan ciri utama dari seorang manusia yang terbuka terhadap sesama. Kehidupan itu merupakan jaringan-jaringan relasi yang terjadi di mana orang hidup saling berdampingan.

Manusia membutuhkan manusia yang lain. Hubungan mereka adalah hubungan yang intersubyektif. “Saya” membentuk diri saya sebagai “saya” karena adanya “engkau”. Demikian pula, “engkau” menjadi engkau karena adanya “saya”. Saya dan engkau menjadi “kita” untuk bertemu dan berkomunikasi dengan “kamu”. Dunia saya bukan hanya “umwelt” (dunia sekitar) saja, melainkan juga “mit Welt” (dunia bersama) atau “mitsein” (ada bersama). Gaudium et Spes artikel 25 menegaskan kembali pendapat St. Thomas mengenai kebersamaan hidup sebagai nilai mutlak dari seorang manusia. “Dari sifat sosial manusia nampaklah bahwa pertumbuhan pribadi manusia dan perkembangan masyarakat sendiri saling tergantung. Sebab asas, subyek dan tujuan semua lembaga sosial ialah dan memang seharusnyalah pribadi manusia; berdasarkan kodratnya ia sungguh-sungguh memerlukan hidup kemasyarakatan. Maka karena bagi manusia hidup kemasyarakatan itu bukanlah suatu tambahan melulu, oleh karena itu melalui pergaulan dengan sesama, dengan saling berjasa, melalui dialog dengan sesama saudara, manusia berkembang dalam segala bakat-pembawaannya dan mampu menanggapi panggilannya”.

Sebagai individu dan sekaligus sosial, manusia mempunyai beberapa unsur dasariah sebagaimana yang dikemukakan oleh Marciano Vidal[20]. Manurut Vidal, manusia adalah makhluk yang: (1) inafferrabilita, uncatchable, incomprehensible. Manusia adalah pribadi yang melampaui segala macam obyektivitas terhadap dirinya. Ia adalah sebuah realitas yang tidak bisa digambarkan secara obyektif karena ia mempunyai kemungkinan-kemungkinan “surprise”; (2) Infinitezza (Infinity). Manusia adalah realitas yang kreatif. Ia dapat menciptakan sesuatu. Manusia tidak ‘mati’ karena ia dapat melahirkan karya-karya penciptaannya; (3) Inaccesibilita (Inaccessible). Manusia adalah pribadi yang tidak dapat dimasuki atau dicapai secara sempurna. Ia adalah ens absconditum, dapat ‘melarikan dirinya‘ sehingga sulit dicapai; (4) Innumerabilita (innumerable). Manusia adalah makhluk yang mempunyai nama dan dapat diberi nama. Setiap orang mempunyai nama yang menjadi identitas dirinya. Masyarakat bukanlah kumpulan jumlah tertentu dari orang-orang melainkan suatu kebersamaan dari individu-individu yang masing-masing otonom namun saling berinteraksi; (5) Non suscettibilita di quantificazione (Non susceptibilities of quantity). Sebagai pribadi, tidak ada seorang manusiapun ‘yang lebih’ atau ‘yang kurang’ dari yang lain. Ia memberikan dirinya dari kedalamannya kepada yang lain apa adanya dan menyelami kedalaman orang lain di dalam dirinya; (6) Non esteriorita (Non outwardness). Manusia adalah makhluk yang dalam dirinya sendiri mempunyai hubungan dengan orang lain. Dalam hubungannya itu, ia memberikan dirinya berdasarkan kedalaman hatinya. Ia tidak memberi diri hanya bagian luarnya saja. Ia memberi diri dalam keintiman dengan yang lain; (7) Non probabilita (Non probability). Eksistensi manusia sebagai seorang persona, tidak dapat diterka dengan mudah. Kita hanya dapat melihat dirinya tanpa bisa melihat kedalaman pribadinya; (8) Non indifferenza (Non indifference). Seorang manusia tidak pernah boleh dipandang sebelah mata atau diacuhkan begitu saja. Dia adalah makhluk hidup yang harus mendapat penghargaan dan perhatian dari sesamanya.

B.5. Manusia: Hidup-Mati

Manusia adalah makhluk hidup (Homo Vivens). Sebagai makhluk hidup, manusia memiliki ciri khas yang mirip dengan makhluk hidup lainnya (tumbuhan dan binatang), yakni adanya otonomi dari dalam, gerakan dari dalam (motus ab intrinseco), sehingga kehidupannya dapat dipertahankan terus, tanpa memerlukan intervensi dari luar. Makhluk hidup mempunyai kegiatan imanen yang otonom. Berbeda dengan mesin yang memerlukan intervensi dari luar dirinya, makhluk hidup melakukan kegiatan secara intrinsik dari dalam dirinya sendiri. Sebagaimana makhluk hidup lainnya, manusia mengalami empat kegiatan yang menjadi ciri khas dari makhluk hidup: (1) Asimilasi: makhluk hidup mempunyai kemampuan untuk berkembang dan mengembangkan diri dengan cara mengambil unsur dari luar dan mengolahnya, kemudian dijadikan bagian dirinya (makan dan mencerna); (2) memperbaiki dan memulihkan luka-lukanya; (3) mereproduksi/ melipatgandakan diri untuk melanjutkan keturunan; (4) beradaptasi dan readaptasi terus menerus dengan sesuatu di luar dirinya. Lalu apa yang membedakan manusia dengan makhluk hidup yang lainnya?

Makhluk hidup adalah sesuatu yang secara esensial berkecenderungan mempertahankan dan mengembangkan dirinya. Selain mempunyai kecenderungan bergerak untuk melangsungkan hidupnya, membela dirinya serta melanjutkan keturunan, makhluk hidup juga berkecenderungan untuk menyempurnakan dirinya sendiri (otoperfektif). Kecenderungan untuk menyempurnakan diri (otoperfektif) paling nampak dalam hidup manusia. Dalam kegiatannya, manusia tidak hanya mempertahankan hidupnya secara biologis, atau sekedar memperkembangkan keturunannya, melainkan juga mengangkat dan memperluas perspektifnya. Maka dalam hidup manusia ada cita-cita, aspirasi, dan masa depan. Ada kemajuan-kemajuan dan peningkatan hidup. Pendekatan ilmiah (kimia, biologi, psikologi) masih terasa sempit untuk bisa menilai kenyataan manusia. Manusia lebih dari sekedar organisme yang hidup dan merasakan. Dari pengalaman hidup manusia, dapat ditimba fenomena mengenai cinta, penderitaan, perjuangan, harapan dan lain sebagainya, yang tidak bisa diterangkan secara biologis-psikologis semata.

Secara umum bisa dikatakan bahwa setiap organisme mempunyai jiwa yang menjadi prinsip integritas atau pemersatu dan koordinasi seluruh kegiatannya. Filsafat membedakan ”jiwa” menurut ciri dari masing-masing tataran. Masing-masing jiwa dalam ketiga level hidup ini, bertindak secara berlainan, menurut konstitusinya masing-masing. Pertama, jiwa vegeter bertindak dengan kualitas raganya. Artinya kegiatan jiwa vegeter, praktis identik dengan kegiatan fisiknya. Kedua, jiwa sensitif bertindak mengatasi kualitas raganya, tetapi masih terikat oleh kegiatan atau proses fisik-kimiawi dari raganya. Artinya, kegiatannya masih dipengaruhi oleh apa-apa yang terjadi pada raga, tetapi ada gejala lain, yang muncul di luar kualitas ragawinya. Ketiga, jiwa rohani bertindak mengatasi dan tidak terikat pada kenyataan jasmani (ragawi) dan perasaan-perasaan. Artinya, jiwa ini bisa bertindak di luar dorongan proses-proses fisik kimiawi mau pun instinktualnya. Kegiatan jiwa rohani bersifat mandiri dan bebas dari kegiatan fisik-kimiawi maupun perasaan instinktualnya, seperti tampak pada hasil-hasilnya, yang berupa pemikiran, rancangan, argumentasi, cita-cita yang bersifat menetap. Sebagai makhluk berjiwa rohani, hidup manusia mencakup dan mengintegrasikan level-level di bawahnya. Hidup manusia dengan prinsip kesatuan rohaninya mencakup juga kegiatan jiwa sensitif dan jiwa vegeter[21].

Untuk dapat menjalankan kehidupan yang menyempurnakan diri, selain melakukan kegiatan intrinsik atau imanen, manusia juga melakukan kegiatan transitif. Kegiatan imanen merupakan kegiatan yang efeknya berlaku dalam diri makhluk itu, untuk mempertahankan dirinya, melawan ancaman dari luar, menyesuaikan diri dengan luar dan untuk mengembangkan diri dan melestarikan keturunannya. Sedangkan kegiatan transitif adalah kegiatan merubah benda-benda atau hal-hal di luar dirinya, yang menghasilkan hal-hal baru, yang berguna dan mendukung tujuan kelangsungan hidupnya, dan pada akhirnya juga untuk penyempurnaan diri manusia juga.

Untuk melangsungkan kegiatan-kegiatannya, makhluk hidup sebagai organisme harus dimengerti sebagai satu kesatuan yang utuh (individu). Kesatuan ini disebut kesatuan substansial yang memampukan makhluk hidup mempertahankan identitas dirinya dalam perubahan-perubahan yang dialaminya karena pengaruh lingkungan selama ia masih hidup. Kesatuan dan keutuhan ini tampak jelas dalam diri manusia, khususnya karena peran jiwa rohaninya. Ia tidak berkurang kualitasnya sebagai manusia, kendati fisiknya ditimpa kehancuran. Martabatnya masih tetap, berkat keutuhan rohaninya. Kesatuan substansial pada manusia ini juga mempunyai ciri kesadaran yang memampukan dia hadir pada dirinya. Pada manusia, kesadaran ini begitu kuatnya sehingga memunculkan subyektivitas, yang bisa mengatakan “aku” sebagai pelaku yang bertanggungjawab (“mengaku”). Dengan kata lain, kesatuan substansial adalah kesatuan kompleks dari suatu kualitas badan dan jiwa. Kesatuan ini bukan sekedar gumpalan materi dengan bagian-bagiannya. Meskipun bagian-bagian itu bergerak dan mengadakan aktivitas, namun tak pernah bisa dilepaskan dari keseluruhan proyek yang satu, utuh, dan terstruktur.

Hidup adalah syarat sine qua non (syarat mutlak) untuk mewujudkan dan mengembangkan seluruh potensi, aspirasi, dan mimpi-mimpi seorang manusia. Hidup adalah syarat dasar untuk memperkembangkan diri menjadi individu dan pribadi sehingga menjadi dewasa. Oleh karena itu, hak untuk hidup adalah hak pertama dari semua hak asasi manusia. Maka penghormatan terhadap hak hidup adalah kondisi dasar supaya manusia bisa berfungsi dengan semestinya. Masing-masing hidup manusia mempunyai nilai yang tak terhingga, lepas dari penampilannya secara eksternal, sehingga hidup manusia harus dihargai dan dipandang sebagai yang terpenting dari antara yang lainnya. Inilah nilai intrinsik manusia. Manusia bernilai (bermartarbat) bukan karena diberi nilai oleh orang lain atau sebuah instansi, tetapi manusia itu bermartabat kerena dia adalah manusia[22]. Nilai intrinsik yang menyatu dengan diri manusia yang hidup itu adalah unik dalam arti tiada duanya. Keunikan dan kekhususan manusia ini menjadi dasar mengapa setiap manusia harus melindungi hidup manusia yang lainnya.

Di samping hak yang paling dasar dan menjadikan manusia bernilai intrinsik (martabat), hidup manusia adalah suci karena berasal/ dianugerahkan oleh Allah. Nilai kesucian hidup manusia ini mengandung implikasi dalam banyak hal. Oleh karena yang menciptakan hidup manusia adalah Allah, maka yang mempunyai hidup manusia adalah Allah sendiri. Manusia bukanlah pemilik absolut kehidupannya, ia hanyalah sekedar penjaga dan administrator yang mengatur dan menjaga hidupnya. Maka manusia tidak berhak untuk mengambil hidup orang lain (membunuh) ataupun mengambil hidupnya sendiri (bunuh diri). Semua macam pembunuhan kapan pun juga, atau di dalam tahap perkembangan manusia mana pun juga, entah dalam awal atau akhir kehidupannya adalah pelanggaran berat terhadap kesucian hidup manusia. Namun demikian, hidup manusia yang suci itu tidak selamanya selalu dipandang sebagai yang absolut, yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam kondisi tertentu, hidup duniawi manusia bisa dikurbankan[23]. Yohanes Paulus II menegaskan mengenai hal ini dalam Evangelium Vitae,”Tentu saja, hidup badaniah manusia di dunia ini bukanlah kebaikan yang absolut bagi orang beriman, khususnya bila keadaan menuntut umat beriman untuk menyerahkan nyawanya demi kebaikan yang lebih besar dan lebih mulia” ( EV. 47)

Manusia sebagai makhluk yang hidup, pasti akan mengalami peristiwa yang namanya kematian. Kematian merupakan kenyataan yang pasti dan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Meskipun kematian bersifat imanen dan natural bagi manusia, tidak berarti bahwa kematian merupakan gejala yang bisa difahami dan diterangkan dengan gamblang. Kapankah manusia dapat dikatakan mati? Cukup lama diandaikan bahwa saat kematian dapat ditetapkan dengan mudah. Ketika semua tanda kehidupan tidak ada lagi, terutama ketika jantung berhenti berdenyut dan pernafasan tidak ada lagi, orang yang bersangkutan dinyatakan mati. Kedokteran modern telah mengembangkan cara-cara yang lebih baik untuk menentukan saat kematian, antara lain dengan merekam kegiatan otak dengan alat yang disebut ‘electroencephalogram’ (EEG). Kematian biologis adalah saat di mana sekurang-kurangnya otak sudah kehilangan fungsinya secara permanen dan tidak dapat dihidupkan kembali (batang otaknya sudah tidak lagi berfungsi). Kematian bilogis bersifat definitif: kehilangan fungsi-fungsi vital dan rusaknya semua organ dan jaringan yang tidak dapat direparasi lagi. Elisabeth Kubler-Ross, M.d., dalam bukunya yang berjudul On Death and Dying (1970), menguraikan tahap-tahap (proses) kematian manusia. Tahap pertama: menyangkal dan menyendiri. Reaksi pertama dari mereka yang menyadari bahwa penyakitnya akan membawa kematian adalah shock (keterkejutan) yang memunculkan mekanisme penolakan. Tahap kedua: marah. Jika tahap pertama yang berupa penyangkalan tidak dapat dipertahankan lagi, biasanya diganti dengan perasaan marah dan berontak. Tahap ketiga: tawar menawar. Reaksi berikutnya setelah penyangkalan dan marah adalah menawar untuk memperoleh atau menghindari sesuatu (kematian). Tawar menawar ini dilakukan dengan Tuhan, bersedia melakukan sesuatu sebagai ganti kesembuhan yang diharapkan. Tahap keempat: depresi. Tahap depresi ini penuh dengan rasa kesedihan, terpukul, tak berdaya. Manusia yang berada di ambang kematian membutuhkan kesempatan untuk mengungkapkan dan mengolah depresi ini. Tahap kelima: penerimaan (menyerah dan pasrah). Setelah melampau empat tahap itu, akhirnya manusia yang berada di ambang kematian mampu menerima keadaannya, “Aku sudah tidak bisa melawan lagi”. Sikap menyerah dan pasrah ini kerapkali disertai dengan harapan akan kebahagiaan dalam kehidupan abadi setelah kehidupan di dunia ini[24]. Kendati secara biologis dan psikologis, proses dan saat-saat kematian dapat diuraikan secara cukup jelas. Namun demikian, masih banyak pertanyaan yang muncul menyangkut kematian manusia ini. Bagaimana hubungan jiwa dan badan yang membentuk struktur manusia ketika manusia mengalami kematian? Apakah kematian berarti putusnya hubungan secara definitif antara jiwa dan badan? Apakah jiwa manusia bersifat kekal? Adakah kehidupan ‘baru’ setelah kematian?

Kematian masih tetap bersifat misterius yang sarat dengan berbagai muatan, sehingga menimbulkan macam-macam sikap dan interpretasi. Bagi manusia, kematian tetaplah merupakan pengalaman yang nyata meskipun tidak langsung dialami secara personal. Sartre menggambarkan kematian sebagai tragedi bagi manusia. Manusia tidak tahu kapan saatnya tiba, dan tidak bisa memperhitungkan dalam suasana bagaimana ia akan menjumpainya. Rasanya, kematian selalu mengintai di setiap sudut kehidupan, siap menerkam di saat lengah dan tidak menduganya. Namun, benarkah kematian begitu hitam, sehingga manusia tidak bisa berbuat apa pun kecuali menerimanya dengan hati hancur dan semangat patah? Heidegger membantu untuk mencari makna yang positif mengenai kematian. Memang benar bahwa kematian datang secara tiba-tiba dan tidak terduga, tetapi manusia harus sadar sejak semula bahwa memang demikianlah kenyataan manusia dan memang begitulah kematian. Manusia harus mampu dengan hati yang lebih terbuka dan ringan menghadapi peristiwa yang tidak dapat dihindari ini. Heidegger cukup realistis, memandang kehidupan sebagai persiapan dari saat ke saat menuju kematian yang datangnya mendadak. Namun, tidak realistis kalau beranggapan bahwa manusia selalu bisa mempersiapkan diri secara matang dan penuh perhitungan menghadapi kematian[25]. Berhadapan dengan kematian, setidaknya ada dua sikap/ pandangan yang muncul dalam diri manusia. Pertama, rasa takut yang muncul dari dalam diri manusia saat menghadapi kematian yang mau tidak mau pasti akan dialaminya, namun masih misteri akan waktu dan bagaimana terjadinya. Kedua, pengharapan dari dalam diri manusia saat menghadapi kematian karena keyakinan (iman) bahwa kematian bukanlah akhir dari segala-galanya, melainkan ada kehidupan baru (kehidupan abadi) yang dinantikan dan dirindukan setelah kematian[26].

Jaspers menekankan “iman filosofis”, yaitu kesediaan merangkul misteri, yang didasarkan pada keyakinannya bahwa eksistensi manusia berasal dari yang lain, sehingga di dalam kematian pun manusia bisa mengandalkan kepada yang lain yang bersifat transenden ini. Jika Tuhan tidak pernah masuk di dalam perhitungannya untuk membuat keputusan di dalam kehidupan sehari-hari, kehadiran Tuhan di saat kematiannya juga akan merupakan kesulitan untuk dirasakan. Kalau barang-barang duniawi dan kehidupan nikmat merupakan hal yang paling utama selama hidup ini, maka pada saat kematian pun ia juga lebih merasakan kehilangan besar-besaran dan hidupnya terasa berakhir di dalam absurditas mutlak. Jika manusia memiliki keyakinan bahwa Allah merangkum di dalam diriNya semua yang pernah ada, dengan pengandaian bahwa setiap peristiwa tidak bisa lepas dari pengamatan Allah, maka kematian pribadipun juga tidak pernah lepas dari hadiratNya.

Kematian memang menunjukkan kenyataan akan keterbatasan hidup manusia. Hidup manusia mempunyai awal dan akhir. Segala sesuatu yang manusia lakukan bersifat terbatas dan fana, namun bukan berarti tanpa arti. Dalam hidup manusia di dunia ini, hidup rahmat yang abadi sudah dimulai. Kematian merupakan penyelesaian ‘pengembaraan’ manusia (Ibr 11:13; 1Ptr 1:1; 2:11). Namun demikian, bagi umat beriman kristiani, kematian bukanlah akhir dari pribadi manusia. Umat beriman kristiani percaya bahwa jika manusia ‘mati dalam Kristus’ (Tes 4:16), ia ikut dibangkitkan bersama Kristus. “Tidak ada seorangpun datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6). Yesus sudah “meninggalkan dunia dan pergi kepada Bapa” (Yoh 16:28). Ia berjanji bahwa “akan datang kembali dan membawa kamu ke tempatKu, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada (Yoh 14:3). Sebagaimana Kristus bangkit dari maut, begitu juga kitapun sesudah kehidupan di dunia ini berakhir, kita akan menerima kebahagiaan dari Allah (kebangkitan). Kebangkitan adalah rahmat, anugerah dari Allah. Dengan kematian, dialami suatu perubahan dalam hubungan antara jiwa dan badan, dan perubahan itulah yang disebut kebangkitan, sebab dalam hidup sekarang jiwa ditentukan oleh badan (khususnya dalam perbatasan ruang dan waktu). Dalam kebangkitan, hal ini dibalik: badan ditentukan oleh jiwa yang dipenuhi oleh Roh. Dengan kebangkitan, diciptakan waktu dan tempat yang baru: “surga yang baru dan dunia yang baru” (Why 21:2). Maksudnya, dunia materiil ini diangkat seluruhnya ke dalam dunia Roh. Materi tidak lagi berarti hidup sementara dan fana. Dalam kebangkitan, tubuh mencapai kebakaan, menjadi penampakan kesatuan dengan Allah[27].

C. CATATAN AKHIR (REFLEKSI) KELOMPOK

Pertanyaan ‘siapakah manusia’ kiranya relevan untuk direfleksikan di tengah merebaknya persoalan-persoalan kemanusiaan dewasa ini. Kemajuan teknologi dan kepentingan pembangunan (ekonomi), kerap kali menempatkan manusia pada nilai yang jauh lebih rendah daripada profit (keuntungan materiil). Tak jarang, manusia hanya dipandang sebagai alat produksi semata. Nafsu terhadap milik membuat orang lupa[28]. Lupa diri inilah yang dapat menjadi awal tindak kekerasan, baik dalam rumah tangga maupun dalam kehidupan bersama di tengah masyarakat. Keinginan harta benda dapat mendorong orang untuk merampok, bahkan membunuh korban. Seorang anak tega membunuh bapaknya sendiri karena keinginannya untuk memperoleh sepeda motor tidak terpenuhi. Tidak hanya manusia yang menjadi korban kekerasan, tetapi juga bumi langit dengan segala isinya. Rusaknya lingkungan hidup yang mengancam kelangsungan hidup manusia zaman sekarang dan generasi mendatang, merupakan akibat tindakan manusia yang rakus, ingin mengusai seluruh bumi. Maka tidak mengherankan, jika sekarang manusia tidak lagi menjadi homo socius bagi yang lain, melainkan menjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain) [29].

Persoalan-persoalan kemanusiaan dewasa ini menantang kita umat manusia untuk kembali menata ruang tata-nilai moral yang didasarkan pada martabat pribadi manusia, sebagai makhluk ciptaan yang secitra dengan Allah. Memahami ‘siapakah manusia’, kiranya tidak cukup hanya dengan pendekatan biologis, psikologis, maupun filosofis. Manusia adalah pribadi yang kompleks yang terbuka untuk dipahami dari berbagai sudut pandang. Dari penjelasan mengenai antropologi kristiani di atas, ada tiga hal yang kiranya perlu ditegaskan kembali di sini sebagai catatan akhir (kesimpulan). Pertama, Manusia merupakan kesatuan total. Manusia terformat dari dua realitas: badan-jiwa, materi-roh, jasmani-rohani. Gereja dalam Gaudium et Spes artikel 12-14, merefleksikan (memahami) dua realitas ini dalam satu kesatuan yang erat. Badan dipahami sebagai materi yang memberi forma dan bentuk kepada jiwa dalam kebersamaan untuk membentuk kesatuan manusia. Jiwa dipahami sebagai daya, intensi atau gaya yang mewujud di dalam materi. Badan-jiwa, jasmani-rohani, materi-roh, hanyalah dua aspek dari manusia yang sama. Manusia berada di dalam satu kesatuan yang total. Demikian juga, di dalam setiap tindakannya, tindakan manusia merupakan tindakan bersama dari badan-jiwa, jasmani-rohani, materi-roh. Sebagai kesatuan total antara jasmani dan rohani, badan dan jiwa, diharapkan manusia semakin mampu memandang dan memahami dirinya dan sesamanya (manusia yang lain) sebagai pribadi bermartabat yang patut dihormati dan dihargai (GS. 27).

Kedua, Manusia adalah pribadi yang utuh. Istilah pribadi mengungkapkan keseluruhan-keutuhan manusia karena merangkum ada-nya (kenyataan otologis: rasional-emosional, individual-sosial, material-spiritual, unik-universal) dan meng-ada-nya (kenyataan fenomenologis: historis-dinamis). Pribadi menunjukkan manusia sebagai kesatuan dari berbagai dimensi yang secara dinamis hidup dan memaknai hidupnya dalam kebersamaan dengan sesama dan alam semesta di jagat raya ini. Pribadi (persona) menunjukkan bahwa manusia adalah pribadi yang utuh. Unsur-unsur pembentuknya saling berintegrasi membentuk suatu struktur dan suatu fungsi tertentu. Sebagai pribadi, manusia adalah seorang individu tiada duanya-unik sebagai makhluk hidup dan sekaligus juga berarti ‘personeita’, yakni seorang pribadi yang mampu untuk merefleksikan dirinya sendiri. Ia mampu melihat kedalaman dirinya dan mendengarkan ‘suara’ di dalam dirinya sendiri. Pribadi menyatukan dimensi individual-sosial dalam dinamika rasional-emosional. Manusia ada di dalam diri, untuk diri dan untuk serta bersama yang lain. Dari kodratnya yang terdalam, manusia bersifat sosial, dan tanpa berhubungan dengan sesamanya, ia tidak dapat hidup/ mengembangkan bakat dan seluruh potensi yang ada dalam dirinya. Pribadi manusia semakin kaya dan bermakna karena ditopang oleh dimensi emosional-afektif (tarikan oleh obyek yang mendorong seorang pribadi untuk bertindak sesuai tujuan). Sebagai pribadi yang utuh, manusia dituntut bijaksana dalam bertindak karena mau tidak mau tindakannya tidak hanya berdampak bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi sesama dan alam semesta di sekitarnya. Tindakannya menyangkut relasinya dengan diri sendiri, sesama, dan lingkungan di sekitarnya (GS. 31).

Ketiga, Manusia adalah makhluk religius. Sebagai makhluk ciptaan Allah, manusia mempuanyai kemampuan untuk masuk di dalam relasi dengan Allah. Hubungan (relasi) manusia dengan Allah ini terjadi di dalam hati manusia karena di dalam diri manusia yang terdalam itu, Allah hadir (GS 16). Ia menerangi seluruh keberadaan manusia. Sebagai makhluk religius, manusia menyadari bahwa di luar dirinya ada sesuatu yang lebih dari dirinya; ada yang menciptakannya, yakni Allah sendiri. Allah menciptakan manusia menurut gambaranNya (Kej 1:27). Pada hal inilah tergantung seluruh martabat manusia. Manusia menjadi ‘wakil’ Allah di dunia ini – dilibatkan dalam karya penciptaan. Di dalam Kristus, manusia diciptakan kembali. Ia menjadi manusia baru yang dibebaskan dari dosa. Karena Kristus, manusia boleh hidup kembali bersama dengan Allah. Relasi dengan Kristus ini menumbuhkan iman, harapan, dan kasih yang menjadi kekuatan hidup setiap orang kristiani. Manusia dianugerahkan martabat ilahi berkat penebusan Kristus. Manusia boleh berdialog dengan Allah dan menyapa Allah sebagai ‘Bapa’, gambaran relasi intim Allah dengan manusia. Bagi iman kristiani, manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu menjawab panggilan Allah dengan seluruh jiwa-raga, dengan seluruh tenaga dan kemauan sebagaimana yang dibuat oleh Kristus (2Kor 1:20). ‘Manusia: makhluk religius’ ini sebenarnya mau menunjukkan bahwa manusia mempunyai relasi khusus dengan Allah: manusia berasal dari Allah, diarahkan untuk hidup di dalam Allah melalui dan di dalam Kristus dan kembali kepada Allah karena Kristus. Sebagai mahkluk religius, diharapkan manusia mampu menyadari dirinya sebagai ‘wakil’ Allah yang seharusnya dapat menghadirkan Allah sendiri di dalam karya penciptaan. Manusia seharusnya mampu ambil bagian dalam mewujudkan Kerajaan Allah yang berarti bersahabat dengan Allah, mengangkat mertabat pribadi manusia, serta melestarikan keutuhan ciptaan (GS. 39).

DAFTAR PUSTAKA

Dokumen-dokumen:

Dokumentasi dan Penerangan KWI,

1993 Dokumen Konsili Vatikan II (Terj. R. Hardawiryana, SJ), Obor, Jakarta.

Dewan Karya Pastoral KAS 2006,

2006 Nota Pastoral tentang ARDAS Keuskupan Agung Semarang 2006-2010.

Konferensi Waligereja Indonesia (KWI),

1996 Iman Katolik, Obor, Jakarta.

Buku-buku Pendukung:

Bockle, Franz,

1967 Fundamental Concepts of Moral Theology, Paulist Press, New York USA.

Chang, William, OFM Cap.,

2001 Pengantar Teologi Moral, Kanisius, Yogyakarta.

Curran, Charles E.,

1982 Moral Theology, University of Notre Dame Press, Notre Dame, Indiana.

Driyarkara, N., SJ,

1969 Filsafat Manusia, Kanisius, Yogyakarta.

Garrett, Thomas M., SJ,

1968 Problems and Perspectives in Ethics, Sheed and Ward, New York USA.

Hardono Hadi, P.,

1996 Jatidiri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead, Kanisius, Yogyakarta.

Haring, Bernard,

Free and Faithfull in Christ Vol II, St. Paul Publications.

Hill, Brennan R.,

1998 Christian Faith and the Environment, Orbis Books, Maryknoll, New York USA.

Huijbers , Theo.,

1986 Manusia Merenungkan Makna Hidupnya, Kanisius, Yogyakarta.

Kusmaryanto, CB., SCJ,

2005 Tolak Aborsi, Kanisius, Yogyakarta.

Leahy, Louis,

2001 Siapakah Manusia?, Kanisius, Yogyakarta.

Diktat dan Artikel (Majalah/ Surat Kabar):

Mali, Matheus, CSsR,

2005 Teologi Moral (Diktat Kuliah), Fak. Teologi USD, Yogyakarta.

2007 Teologi Moral Dasar Menuju Milenium Ketiga Kajian atas Manual-manual Moral (Diktat Kuliah), Fak. Teologi USD, Yogyakarta.

Sudiarja, A., SJ,

2003 Filsafat Manusia (Dikta Kuliah), Fak. Teologi USD, Yogyakarta.

Hartiningsih, Maria,

2007 “Perjuangan Kemanusiaan di Dunia yang Terbelah”, dalam KOMPAS (30 November 2007).

Ninok Laksono,

2007 “Pasang, Banjir, dan Pemanasan Global”, dalam KOMPAS (28 November 2007).

---------------------,

2007 “Sembilan Tewas dalam Protes di Myanmar”, dalam KOMPAS (28 September 2007).

---------------------,

2007 “Tinggi, Angka Aborsi di Indonesia”, dalam KOMPAS (28 November 2007).

---------------------,

2007 “Ceriyati Tak Ingin Lagi menjadi Pembantu”, dalam KOMPAS (24 Juni 2007).


[1] -, “Sembilan Tewas dalam Protes di Myanmar”, dalam KOMPAS tanggal 28 September 2007.

[2] -, “Ceriyati Tak Ingin Lagi menjadi Pembantu”, dalam KOMPAS tanggal 24 Juni 2007.

[3] -, “Tinggi, Angka Aborsi di Indonesia”, dalam KOMPAS tanggal 28 November 2007.

[4] Ninok Laksono, “Pasang, Banjir, dan Pemanasan Global”, dalam KOMPAS tanggal 28 November 2007.

[5] Maria Hartiningsih, “Perjuangan Kemanusiaan di Dunia yang Terbelah”, dalam KOMPAS tanggal 30 November 2007.

[6] Brennan R. Hill, Christian Faith and the Environment, Orbis Books, Maryknoll, New York USA 1998, 9-15.

[7] Franz Bockle, Fundamental Concepts of Moral Theology, Paulist Press, New York 1967, 11-12.

[8] Dr. William Chang, OFM Cap., Pengantar Teologi Moral, Kanisius, Yogyakarta 2001, 47-48.

[9] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Obor, Jakarta 1996, 13-14.

[10] Thomas M. Garrett, SJ, Problems and Perspectives in Ethics, Sheed and Ward, New York USA 1968, 29-31.

[11] P. Hardono Hadi, Jatidiri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead, Kanisius, Yogyakarta 1996, 93-96.

[12] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, 9-10.

[13] Dr. Theo Huijbers, Manusia Merenungkan Makna Hidupnya, Kanisius, Yogyakarta 1986, 65.

[14] Dr. Theo Huijbers, 67-68.

[15] Charles E. Curran, Moral Theology, University of Notre Dame Press, Notre Dame, Indiana 1982.

[16] Bernard Haring, Free and Faithfull in Christ Vol II, St. Paul Publications, 401-404.

[17] Dr. Matheus Mali, CSsR, “Manusia: Makhluk Religius” sub bagian dari Teologi Moral (Diktat Kuliah), Fak. Teologi USD, Yogyakarta 2005, 53-55.

[18] Prof. Dr. N. Driyarkara, SJ, Filsafat Manusia, Kanisius, Yogyakarta 1969, 8-43; Dr. A. Sudiarja, SJ, “Manusia Sebagai Makhluk Badani”, bagian dari Filsafat Manusia (Diktat Kuliah), Fak. Teologi USD, Yogyakarta 2003, 15-21

[19] Persona juga berarti “personeita”: kemampuan merefleksikan dirinya sendiri, istilah yang dikemukakan oleh

Zubiri.

[20] Marciano Vidal seorang Redemptoris kelahiran san Pedro de Trones, Spagnol pada tahun 1937. Menghadapi realitas masyarakat di sekitarnya pada waktu itu, Vidal berjuang untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan iman. Vidal terkenal sebagai teolog moral progresif. Pada tahun 2001 mendapat nota “notification” dari Vatikan karena tulisan dan pendapat-pendapatnya yang dianggap kontroversial (misalnya: soal otonomi (kebebasan) manusia, kontrasepsi, homoseksual, dll)

[21] Louis Leahy, Siapakah Manusia?, Kanisius, Yogyakarta 2001, 61-91.

[22] Evangelium Vitae merumuskan ajaran Katolik mengenai martarbat hidup manusia sebagai berikut, “Manusia diberi martabat yang sangat luhur, berdasarkan ikatan mesra yang mempersatukannya dengan Sang Pencipta: dalam diri manusia terpancarlah gambar Allah sendiri (EV. 34). Lebih lanjut Evangelium Vitae mengatakan, “Martabat hidup manusia ini dikaitkan bukan hanya dengan asal-usulnya saja yang berasal dari Allah, tetapi juga dengan tujuan akhir hidupnya, yakni persatuan dengan Allah dalam pengetahuan dan kasih denganNya (EV. 38).

[23] Dr. CB. Kusmaryanto, SCJ, Tolak Aborsi, Kanisius, Yogyakarta 2005, 77-83.

[24] Dr. P. Hardono Hadi, Jatidiri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead, 167-173.

[25] Dr. P. Hardono Hadi, Jatidiri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead, 173-183.

[26] Dr. Theo Huijbers, Manusia Merenungkan Makna Hidupnya, Kanisius, Yogyakarta 1986, 48-59.

[27] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, 462-466.

[28] Pernyataan ini diambil dari istilah orang Jawa yang mengatakan ‘melik nggendhong lali’ (nafsu terhadap milik membuat orang lupa).

[29] Dewan Karya Pastoral KAS 2006, Nota Pastoral tentang Arah Dasar Umat Allah KAS 2006-2010: “Baruilah Seluruh Muka Bumi”, DKP KAS, Muntilan 2006, 20-21; 25-26.



[get this widget]

0 comments: