April 08, 2008

Agama dalam Pemikiran Barat Modern dan Post- Modern

Pendahuluan

Untuk memahami makna agama dalam pemikiran Barat post-modern, diperlukan elaborasi mengenai pemikiran yang berkembang di Barat era modern. Oleh sebab itu, untuk memahami pemikiran post modern diperlukan kajian tentang pemikiran modernis, sebab pemikiran post modernis itu “menelan” pemikiran modernis. Konsekwensinya, untuk mengkaji konsep dan makna agama dalam pemikiran post modernis perlu menelusuri kembali pandangan pemikir yang post-modern yang dianggap telah menyerang pemikiran keagamaan modern Barat.


Munculnya Post- Modern

Post modernisme merupakan suatu istillah yang hakekatnya masih kontroversial. Tonggak sejarah barat yang dimulai dari aktifitas seni itu tidak jelas kapan bermula dan dalam bentuk apa? Ia merupakan proses perubahan dan reformasi yang panjang yang benih-benihnya telah ada pada zaman modern itu sendiri.

Asumsi yang diterima umum sebagai pertanda bangkitnya post modernisme adalah berakhirnya modernitas. Pertanda yang menarik untuk dicermati adalah dalam pemikiran tentang agama. Perubahan pemikiran keagamaan yang mencolok dari era pra-modern nampak dari beralihnya pendekatan yang bersifat teistik kepada pendekatan sekuler ateistik. Artinya perubahan konsep Tuhan dari era pra-modern kepada era modern dan post modern di Barat sangat drastis.

Diskursus yang meletakkan Tuhan secara sentral hanya terbatas pada para teolog, sedangkan para filosof lebih tertarik pada sains. Hasil dari gerakan ini adalah desakralisasi agama itu sendiri dan peminggiran agama dari fungsinya yang sentral. Dengan dihapusnya nilai-nilai transendental, maka Tuhan telah direduksi menjadi semangat kebangsaan dan kebudayaan.

Perkembangannya selanjutnya ditandai dengan munculnya eksistensialisme dan filsafat analitik, yang merupakan buah ciptaan akal post-modern (post modern mind). Inilah yang menggantikan metafisika. Sistem yang baru ini disebut dengan Post-Modernisme, yaitu suatu sistem yang tanpa pemikiran metafisis, bahkan mengesampingkan dan meremehkan doktrin keagamaan yang berdasarkan pada metafisika.


Konsep Nilai Post- Modern

Konsep tentang nilai digunakan untuk menggugat agama. Penghapusan nilai (dissolution of value) dan penggusuran tendensi yang mengagungkan otoritas dilakukan dengan mereduksi makna nilai yang dijunjung tinggi dan dinilai sebagai absolut oleh agama dan masyarakat. Nietzsche mengungkapkan doktrin nihilisme yaitu situasi dimana "manusia berputar dari pusat ke arah titik X", artinya "nilai tertinggi mengalami devaluasi dengan sendirinya". Heidegger mendefinisikan nihilisme sebagai "suatu proses dimana pada akhirnya tidak ada lagi yang tersisa". Dalam pandangan Nietzsche proses nihilisme adalah devaluasi nilai tertinggi. Dalam pandangan Heidegger nihilisme menunjukkan penghapusan Being dengan sedemikian rupa sehingga menjelma menjadi nilai. Nilai tidak lagi mempunyai makna. Suatu konsep tentang apapun tidak lagi berdasarkan pada sesuatu yang metafisis, religius ataupun mengandung unsur ketuhanan (divine).

Nilai tidak lagi berkaitan dengan agama dan kepercayaan. Perubahan kebenaran menjadi sekadar nilai berbentuk "will to power". Filsafat nihilisme bertujuan untuk mengkaji dan menghapuskan segala klaim yang dilontarkan oleh pemikiran metafisika tradisional. Metafisika dihilangkan atau disingkirkan. Nietzsche mendefinisikan metasifika secara pejoratif sebagai "ilmu yang membahas tentang kesalahan manusia yang fundamental". Agama sebagai asas bagi moralitas diserang dengan doktrin nihilisme. Doktrin ini dinamakan European nihilism. Teori tentang European nihilsm ini dapat dilihat dengan lebih jelas lagi dari apa yang kini disebut sebagai "the philosophy of difference" yang menjadi salah satu penghubung antara nihilisme dan hermeneutika (filsafat interpretasi).

Nihilisme dan filsafat perbedaan (philosophy of difference) merupakan tanda berkembangnya post-modernisme yang pada perkembangan berikutnya menjadi penolakan terhadap kebenaran transenden. Dalam diskursus para pemikir post-modernis dunia ini dianggap sebagai makna dan makna adalah segala sesuatu, dan hermenutika adalah "nabinya". Post-modernisme cenderung memihak kepada relativisme dan bahkan menunjukkan peperangan terhadap ide kebenaran yang eksklusif, obyektif dan transenden. Kebenaran adalah sesuatu yang internal dan subyektif sifatnya, sedangkan dunia ini bukan sebagai totalitas dari sesuatu, tapi sebagai totalitas fakta.

Filsafat post-modern melebur nilai tertinggi, menyingkirkan Tuhan dan rujukan segala bentuk nilai sebagai fondasinya. Nilai baru yang diperkenalkan post-modernisme adalah nilai yang memiliki hubungan dengan nilai-nilai lain atau bahkan saling tukar menukar, karena ia memiliki status yang sama dalam wajah yang universal. Metafisika tradisional mulai melebur dan tenggelam.

Masalahnya adalah tidak ada lagi nilai yang diakui dan memiliki kelebihan dari nilai-nilai lain. Akibatnya setiap orang akan terlibat dalam kerja interpretasi terhadap setiap aspek wujud yang tiada ada habisnya. Agama tidak lagi berhak mengklaim punya kuasa lebih terhadap sumber-sumber nilai yang dimiliki manusia seperti yang telah diformulasikan oleh para filosof. Jadi agama dipahami sebagai sama dengan persepsi manusia sendiri yang tidak mempunyai kebenaran absolut. Oleh sebab itu ia mempunyai status yang kurang lebih sama dengan filsafat. Jika demikian maka agama dalam pemikiran post-modern telah digambarkan dalam bentuk dan sifat yang sangat berbeda dari sebelumnya.


Pandangan Post- Modernis Tentang Agama

Agama telah mengalami perubahan yang menyolok, yaitu: dari sifatnya yang teistik dan kemudian pada era modern dipahami dengan pendekatan sekular dan pada akhirnya pada era post- modern menjadi ateistik. Pemikiran post- modern di Barat tidak hanya diwarnai oleh sikap ateistik, tetapi juga ditandai oleh kecenderungan di kalangan filofofnya untuk mereduksi teologi menjadi antropologi (Tuhan digambarkan sebagai produk dan refleksi dari pikiran manusia yang luar biasa).

Salah seorang tokoh yang cukup memberikan suara terkait dengan pemikiran tentang agama ini adalah Nietzsche. Ia beranggapan bahwa agama adalah ekspresi penderitaan. Manusia menderita karena ia adalah hewan yang sakit, ia menderita karena internalisasi instingnya sendiri oleh sebab kehidupan sosialnya. Yang membuat manusia menderita adalah eksistensinya yang tidak berarti, mengenai problem tentang makna dirinya sendiri. Tuhan dianggap mati, Dia yang adalah realitas, nilai, dan kekuasaan yang absolut telah diremehkan dan diganti dengan nilai-nilai kemanusiaan. Nietzsche tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, riil, dan berada di luar manusia, sebab bagi dia Tuhan hanyalah persepsi manusia tentang sesuatu yang kuat. Agama macam apa yang dimaksud oleh Nietzsche? Agama yang mungkin dimaksud olehnya barangkali agama dalam bentuk pandangan hidup dan bukan sistem kepercayaan dengan konsep-konsep yang diberikan dalam bentuk doktrin. . Agama yang memberitahu manusia bagaimana melakukan sesuatu (di dunia ini) dan bukan apa yang harus dipercayai (di dunia akherat nanti). Beberapa tokoh yang mempunyai pandangan yang hampir sama dengan ini antara lain: Karl Marx, North Whitehead, dan Foucoult.

Singkatnya, kecenderungan pemikiran post-modern adalah penolakkan terhadap agama yang telah mapan. Agama telah diputuskan dari status terdahulunya sebagai sumber nilai dan kebenaran bagi manusia. Konsep akal telah dipisahkan dari konsep kepercayaan atau konsep Tuhan (karena itu menjadi ateistik). Perubahan ini menggoyangkan konsep kepercayaan, keberagamaan, dan kebenaran yang selama ini telah dipegang oleh masyarakat beragama. Agama dianggap sebagai hasil dari suatu keragu-raguan tentang kesatuan seseorang, perubahan kepribadian: ada manusia yang lemah dan manusia yang kuat atau super (disebut Tuhan).

Apa yang menyebabkan ateistik terhadap agama ini? Hal ini disebabkan oleh kegagalan para pemikir post-modern dalam memahami konsep Tuhan. Semuanya seakan-akan lebih merupakan pernyataan filofosis ketimbang teologis. Padahal, berbicara tentang Tuhan mau tidak mau orang akan masuk dalam pemikiran teologis, bukan semata-mata mengandalkan pada persepsi dan pemikiran akal manusia.

Pemikiran dan pandangan yang sama juga disampaikan oleh Heidegger. Ia mengaku bahwa ia memahami konsep Tuhan sejauh hal itu menyangkut kesadaran individu tentang dosa dan kesalahan pribadinya, tapi ia tidak memahami Tuhan sebagai pencipta. Ia berpikir tentang Tuhan secara non-metafisis. Baginya akhir dari pemikiran teologis adalah berhenti berpikir tentang Tuhan sebagai cause sui (Tuhan yang dianggap sebagai kekuatan penyebab yang mencipta dan menjaga alam kosmos) dan sebagai gantinya adalah Tuhan yang manusia dapat menari dan melutut di depan-Nya (inilah Tuhan yang sebenarnya).

Tokoh lain yang juga cukup berpengaruh dalam memerikan pemikiran tentang agama dan Tuhan adalah Wittgenstein. Dalam bukunya bukunya Notebooks (1916) Wittgenstein mengatakan bahwa berbicara tentang dunia adalah bicara tentang maknanya, dan berdoa adalah berfikir tentang arti kehidupan, dan beriman kepada Tuhan sama dengan melihat bahwa hidup ini mempunyai suatu makna. Sebab Tuhan tidak menampakkan diriNya di dunia ini. Dalam Lecture and Conversation, Wittgenstein mengatakan bahwa ketika pemikiran tentang kehidupan manusia ditemui dalam peribadatan dalam bentuk pujian dan pujaan, ia tidak mengarah atau merujuk kepada Tuhan, ia sekedar ibadah (worship) kepada Tuhan. Konsep religiusitas bagi Wittgenstein bukan sifat yang diambil dari kegiatan ritual keagamaan yang biasanya ditandai oleh banyaknya doa tetapi ditandai oleh kegiatan sosial. Wittgenstein memisahkan aktivitas sosial dari agama, ia memprediksi bahwa di masa depan kehidupan keagamaan tidak bergantung kepada gereja dan pendeta lagi. Wittgenstein secara terang-terangan menolak otoritas keagamaan.


Kesimpulan

Post-modernisme membangun suatu “teologi” berdasarkan pada asasnya sendiri, meskipun tidak disebut teologi. Dalam “teologi” ini, Tuhan dimasukkan ke dalam sistem penjelasan rasional yang tertutup (closed system of rational explanation). Akhirnya pikiran post modern merobohkan jalan berpikir metafisis. Akibatnya konsep tentang Tuhan, religiusitas dan kebenaran agama tidak sesuai lagi dengan doktrin-doktrin keagamaan. Filsafat post-modern gagal memahami konsep agama tentang Tuhan, tentang kebenaran dan tentang aktifitas keagamaan.



[get this widget]

0 comments: