April 09, 2008

KEHENINGAN DITENGAH KERAMAIAN (Fenonema Praktek Meditasi dalam Masyarakat Modern)

Apa salah satu bentuk budaya yang lagi trend saat ini?

Sudah enam bulan terakhir ini Dian Sastrowardoyo (24) bolak-balik menyatroni Shambala, toko itu. "Enggak nyangka di mal ada tempat seperti itu. Seperti menemukan kotak harta karun," kata Dian. Tjipto, pemilik Shambala, berkata, sejatinya toko itu menjual perlengkapan untuk keperluan ritual umat Buddha. Namun, seiring dengan semakin populernya yoga dan meditasi di antara kaum urban Jakarta, Shambala pun disatroni kalangan dari beragam keyakinan, selebriti, juga politisi. Mereka rupanya kini meminati beragam pernik yang berhubungan dengan meditasi. Shambala, yang menyempil di salah satu lantai di Pondok Indah Mall II itu, memang tampak berbeda dibandingkan dengan sekitarnya. Eksotis, mengundang siapa saja untuk menjenguk. Belakangan, kecenderungan orang terhadap masalah spiritualisme memang merebak. Hal-hal berbau spiritualisme itu kerap diistilahkan sebagai New Age. Di belahan dunia barat, segala sesuatu berbau New Age begitu laris manis dikonsumsi. Meski berakar ajaran Buddha dan Hindu, meditasi boleh dibilang salah satu produk yang diadopsi oleh fenomena New Age. Kaum urban Jakarta pun tak ketinggalan. Tengoklah, program yoga dan meditasi makin diminati[1].

Fenomena diatas mungkin hanya sebagian kecil dari realitas yang ada di kota besar seperti jakarta dan kota-kota lainnya berkaitan dengan munculnya praktek meditasi yang diusung menjadi salah satu komoditi dan konsumsi orang modern. Cerita diatas mungkin dapat mewakili dan dapat menjadi gambaran akan adanya budaya baru yang sudah menggejala dalam kehidupan masyarakat perkotaan.


Jaman Modern dan Trend Meditasi

Meditasi merupakan salah satu trend budaya kaum urban Jakarta akhir-akhir ini dan juga di kota lainnya. Tidaklah mengherankan lagi seumpama di sebuah mall dapat dijumpai salah satu gerai toko yang menjual berbagai macam peralatan dan perlengkapan untuk meditasi ataupun yoga. Sebenarnya perlengkapan ini merupakan perlengkapan ibadat bagi umat Budha namun telah mengalami pergeseran kegunaan dimana sekarang ini bukan lagi menjadi pusat perlengkapan ibadat umat Budha saja namun setiap orang yang menginginkan meditasi menyambangi toko tersebut. Toko semacam ini juga memberikan fasilitas sebuah kamar yang cukup luas untuk meditasi.

Kehidupan kota besar yang sibuk membuat banyak orang tidak memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dengan sesamanya secara mendalam. Akibatnya: sering muncul perasaaan sepi (loneliness) dan kadang berbuntut pada gangguan psikosomatis. Salah satu alternatif terapi yang banyak digandrungi masyarakat modern saat ini adalah meditasi. Meditasi merupakan praktik paling populer dalam berbagai terapi untuk kesehatan holistik. Bagi yang meyakininya, meditasi membantu mencapai keseimbangan energi dalam diri dan semesta. Situasi itu membuat orang berada pada kondisi di mana tak ada lagi persepsi atau judgement namun hanya ketenangan yang dirasakannya.

Hal senada juga dialami oleh seorang artis Oppie andaresta dan mungkin juga masyarakat urban lainnya. Ketika karier keartisannya menanjak, ia merasakan ada sesuatu yang hilang yang harus dicarinya. Batinnya terus mencari apa arti hidup, bagaimana hidup itu mesti dijalani. Kehausan rohani yang selalu muncul dan ingin disejukkan inilah yang membawa Oppie terus mengikuti aktivitas berbau spiritualitas ini. Jiwanya ingin tenteram, pikirannya menyatakan salah satu sarana efektif yaitu dengan meditasi. Meditasi diyakini merupakan salah satu teknik yang bisa membantu memberikan ketenangan jiwa dan pikiran.

Menurut Dr. Herry Priyono seorang pengajar di Pascasarjana STF Diyarkara menjelaskan bahwa kondisi hidup modern tidak bisa tidak telah membuat self atau diri terserak-serak oleh sistem-sistem di dalam kehidupan yang semuanya memiliki logikanya sendiri. Keterserakan dalam diri atau scattered self membuat konsentrasi terpecah. Ruh yang terserak tidak menghasilkan apa-apa. Padahal untuk melakukan sesuatu dengan kualitas, dengan achievement, dibutuhkan konsentrasi penuh. Kehidupan modern telah menggusur life world dalam kategori Habermas, yakni suatu ranah dari hidup yang tanpa transaksi, tanpa birokrasi, tanpa achievement, suatu aspek yang poetic di dalam kehidupan. Kolonisasi hidup oleh sistem ini membuat orang megap-megap, seperti terdampar di padang gurun. Ia mengamati kebutuhan untuk menyatukan self yang terserak ini bertumbuh dan kemudian menjadi gelombang kebutuhan yang melahirkan gelombang suplai yang besar dan kemudian melahirkan kebutuhan yang lebih besar melalui berbagai cara promosi[2].


Analisa kritis terhadap trend meditasi

Pada umumnya, meditasi dikenal dengan sebutan tapa atau samadi. Meditasi merupakan kegiatan renungan dengan sikap tubuh tertentu untuk membantu konsentrasi. Meditasi mencakup latihan, persiapan dan praktik. Dalam ulasan tentang meditasi pun, terdapat aneka pengertian, fungsi, tujuan, teknik, dan bimbingan. Sebagai pemula dalam bermeditasi, meditasi dirasakan sebagai sesuatu yang berat karena dituntut untuk diam dalam waktu yang lama dan dapat mengakibatkan sakit fisik. Akan tetapi, setelah sekian lama berlatih, meditasi telah menjadi suatu kebutuhan. Mengapa orang merasa butuh untuk bermeditasi? Dari pengalaman yang ada, selain menggunakannya sebagai sarana untuk berdoa, di mana kehidupan rohani semakin terbina, meditasi dibutuhkan karena dapat menjadi sumber kekuatan mental. Meditasi menjadi perlu karena di sinilah tercapai ketenangan batin.

Kenyataan bahwa gerakan-gerakan spiritual seperti meditasi menjadi lebih marak di tengah masyarakat urban, khususnya anak muda, tentunya hal ini merupakan gejala yang menggembirakan di satu sisi, tetapi juga menjadi bahan pertanyaan. Apakah ini hanya mode ataukah sebuah pencarian yang membawa kepada spiritual yang sejati? Terlepas dari masalah kegunaan meditasi sebagai sebuah cara olah rohani dimana manusia mengalami hubungan dirinya dengan Yang Transenden, fenomena maraknya meditasi ini telah mengalami pergeseran menjadi lahan komoditi bisnis spiritualitas.

Bahwa akhirnya terjadilah sebuah komodifikasi dari apa yang dinamakan sebagai "spiritualitas". Selama ini muncul kesan yang kontradiktif bahwa sesuatu yang tak ternilai harganya, seperti spiritualitas, akhirnya menjadi obyek pasar. Kontradiksi itu terjadi karena masyarakat kita kadangkala masih sering berpikir dengan teori lama. Perkembangan postmodernisme saat ini menunjukkan bahwa tukar-menukar tidak hanya berlaku dalam bidang barang dan jasa, tetapi juga dalam bidang nilai dan norma. Pengertian ekonomi di era postmodernisme menjadi jauh lebih luas. Ekonomi bukan hanya mengatur barang dan jasa, tetapi juga mengatur pertukaran nilai-nilai kebudayaan, keyakinan agama dan nilai moral, dalam pengertian mempertukarkan modal ekonomi dengan modal spiritual, modal simbolik, modal kebudayaan atau modal sosial[3].

Paling tidak masyarakat harus tahu jenis meditasi dan manfaatnya. Masyarakat Indonesia mungkin mengenal meditasi seperti ketika pertama mengenal makanan siap saji. Antusias sekali untuk icip sana, icip sini. Layaknya sebuah bisnis yang menguntungkan, tingginya kebutuhan akan hal-hal spiritual ini dipandang sebagai peluang. Hukum permintaan dan penawaran dalam ilmu ekonomi berlaku. Tingginya permintaan mendongkrak harga pengetahuan spiritualitas. Salah satu contohnya, bisnis spa yang juga mengedepankan prinsip tubuh, pikiran, dan spirit (body, mind dan spirit).

Akhirnya praktek meditasi lambat laun mengalami pergeseran makna dan fungsi karena menjadi komoditi bisnis orang-orang urban. Kehadiran akan Yang Transenden yangkerapkali dirasakan melalui meditasi direduksi menjadi pemujaan akan diri (self). Tetapi yang perlu diingat bahwa hal-hal spiritual tidak bisa dinilai secara nominal. Spiritualitas itu tidak punya nilai[4].


[1] Febriane, Sarie, “Kotak Harta Karun di Pojokan Mal”, Kompas Cyber Media, www.kompas.com, Selasa, 10 Maret 2007.

[2] -, “Kalau Bisa Melepas Kedua Sandal”, Kompas Cyber Media, www.kompas.com, Minggu, 20 Februari 2005.

[3] -, “Kalau Bisa Melepas Kedua Sandal”, Kompas Cyber Media, www.kompas.com, Minggu, 20 Februari 2005.

[4] Diyah Triarsari, “Tidak Yoga = Tidak Gaul”, Kompas Cyber Media, www.kompas.com, Selasa, 6 Juli 2004.



[get this widget]

0 comments: