April 02, 2008

MEMBACA ULANG TEOLOGI FEMINIS

A. Pengantar

Tidak tahan dengan perlakuan kasar yang diterima dari majikan, Ceriyati binti Dapin (34) nekat melarikan diri melalui jendela. Ia turun meluncur dari Lantai 15 Apartemen Tamarind Sentul, Kuala Lumpur, Minggu (17/6) pukul sebelas siang. Ia hanya berpegangan pada tali yang dia susun dari potongan-potongan pakaian yang dia rangkai kembali menjadi tali peluncur itu. Namun, ketika berada di posisi lantai 12, ia gamang karena jalan ke bawah masih terlalu jauh dan riskan. Ia pun bergeming di posisi yang sama dan berhenti sesaat[1].

Nama aslinya adalah Ceriyati, seorang TKW asal Brebes Jawa Tengah. Ceriyati terpaksa melarikan diri karena tidak tahan disiksa majikan. Sejak mulai bekerja lima bulan lalu Ceriyati sudah memperoleh perlakuan kasar dari majikannya. Majikannya tidak akan memberinya makan apabila ia melakukan kesalahan dalam bekerja. Majikanya sering menyakiti dengan memukuli berulang kali. Setiap kali majikannya pergi, pintu apartemen selalu dikunci dari luar. Ceriyati bercerita dia mulai bekerja setiap hari pukul enam pagi sampai pukul dua keesokan harinya. Ia hanya diberi makan sekali sehari. Ia selalu disuruh bekerja di rumah dan juga membereskan pekerjaan majikan perempuan yang bekerja sebagai broker real estat. Ceriyati juga mengaku dilarang beribadah. Dilarang keluar dari apartemen. Ceriyati juga disuruh tidur di lantai. Karena disakiti dan dipukul terus, maka Ceriyati nekat kabur. Karena sering dipukuli, tubuh Ceriyati penuh luka, seperti bengkak di dahi, leher sebelah kanan, dan luka-luka di tangan. Selama lima bulan bekerja, Ceriyati juga belum menerima gaji. Ini merupakan pengalaman pertama Ceriyati bekerja sebagai pembantu di luar negeri. Dia mempunyai suami bernama Ridwan dan dua anak.

Ceriyati merupakan salah satu korban dari ribuan korban kekerasan terhadap perempuan. Bentuk-bentuk ketidakadilan terhadap kaum perempuan masih saja sering terjadi. Menjadi suatu pertanyaan besar: Apakah setelah terjadi suatu kasus kekerasan dan berbagai maacm bentuk ketidaadilan kepada kaum perempauan, kemudian baru menyadari pentingnya penghormatan terhadap kaum perempuan? Apakah ini bukan kesadaran yang terlambat. Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa di Indonesia telah tertoreh berbagai sejarah penderitaan yang mengorbankan kaum perempuan sejak zaman dahulu. Perempuan menjadi subordinat laki-laki (majikan), hal ini semata-mata karena pembudayaan sistem patriarkat yang menempatkan kaum laki-laki sebagai penguasa kehidupan. Sistem patriarkat ini pula yang menyebabkan posisi kaum perempuan menjadi kaum terpinggir, marginal dan seringkali mengalami perlakuan-perlakuan yangtidak adil dari kaum laki-laki, namun bukan hanya melalui perseorangan saja namun juga lembaga-lembaga tertentu juga bertindak sepihak dengan kaum perempuan melalui kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa Gereja juga menjadi salah satu pihak yang melembagakan sikap ketidakadilan, marginalisasi bagi kaum perempuan juga. Pembebasan perempuan! Ini menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi kita semua.

Tulisan ini hendak membaca ulang pandangan teologi feminis setelah hampir setengah semester belajar bersama tentang teologi feminis. Fokus yang mau ditekankan dalam tulisan ini adalah pandangan teologi feminis dari sisi kehidupan menggereja. Begitu pula pada akhir tulisan ini dipaparkan mengenai salah satu tokoh teologi feminis dan pandangan teologis yaitu Elisabeth Schüssler Fiorenza.


B. Bermula dari Pandangan yang dikotomis

Selama mengikuti kuliah Teologi Feminis yang diampu oleh Ibu A. Nunuk Prasetyo Murniati, saya melihat bahwa akar dari permasalahan feminis adalah masalah pola pikir dikotomis yang semakin hari semakin dilembagakan. Sayangnya pandangan dikotomis ini lebih memihak kaum laki-laki, pola pikir yang sepihak ini terus menerus diwariskan oleh budaya sehingga menyebabkan subordinasi bagi kaum perempuan dalam semua level kehidupan. Kedudukan perempuan dalam sistem patriarkat secara tidak langsung memunculkan pandangan-pandangan yang dikotomis. Pandangan-pandangan dikotomis ini menjadi melembaga dalam sistem budaya kehidupan masyarakat. Pola pandangan bahwa ada yang kuat ada yang lemah, ada yang maju ada yang terbelakang, ada yang pintar dan ada yang bodoh, ada yang miskin ada yang kaya seakan menjadi membudaya dalam kehidupan, karena memang toh semenjak kecil manusia senantiasa dididik dalam dua cara pandang terhadap sesuatu yang dikotomis. Cara pandang ini bukan terjadi dalam relasi komunikasi saja namun telah melekat dalam seluruh sendi kehidupan manusia, baik dalam segi budaya, ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, agama dll. konkretnya bahwa pola pandang dikotomis sudah menjadi melembaga dalam kehidupan manusia.

Pola pandang ini secara langsung juga mempengaruhi pola pandang terhadap kaum perempuan. Perempuan menjadi subordinat bagi laki-laki. Terlebih pandangan ini juga didukung dengan pandangan yang bernuansa feodalistik, kapitalisme dan militerisme. Pandangan patriarki mengajarkan bahwa garis keturunan anak ditentukan oleh garis ayah. Semua pranata sosial tentang kehdiuapan didasarkan pada pandangan patriarkhi. Laki-laki akhirnya menjadi penentu semua keberlangsungan kehidupan dalam masyarakat, menjadi pengambil keputusan, menjadi kelompok penguasa dll. Akhirnya laki-laki diasosiasikan sebagai pihak yang kuat, berkuasa dan dilawankan dengan perempuan yang diasosiasikan sebagai yang lemah. Pembentukan pasangan ini menjadi dikotomi. Kaum laki-laki dicitrakan budaya, atas kanan, tinggi, kuat, sedangkan perempuan dicitrakan alam, bawah, kiri rendah, lemah. Pembentukan pandangan ini bukan lagi terkait dengan pembedaan kaum laki-laki dan perempuan dari segi biologis saja namun sudah merupakan konstruksi sosial yang sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat[2].

Konstruksi Sosial tersebut telah merampas kekuasaan perempuan. Perempuan tidak mempunyai kekuasaan lagi, namun tanggung jawab terhadap hidup masih tetap menempel pada dirinya. Tanggung jawab dan kekuasaan memang sangat tipis perbedaannya. Tanggung jawab yang berlebihan dapat menjadi menguasai. Padahal kekuasaan merupakan potensi untuk menindas. Keadilan tidak mungkin tercapai dalam kondisi penguasaan yang menindas. Keadilan tidak dapat melepaskan hak dan kewajiban dari seseorang atau kelompok masyarakat tertentu. Keadilan hanya dapat terwujud apabila keputusan dibuat bersama dan memasukkan semua pandangan dan pertimbangan dari komunitas. Keadilan dalam masyarakat tidak mungkin terjadi apabila segala bentuk ketidakadilan terhadap perempuan tidak disingkirkan.


C. Gereja: Memandang Perempuan

Bukanlah menjadi sebuah rahasia lagi ketika Gereja juga bersikap dikotomis terhadap kaum perempuan. Gereja Katolik tidak mengikutsertakan seorang perempuan dalam pengambilan keputusan. Tak seorang perempuan pun yang ada dalam Kuria kepausan. Dalam kehidupan menggereja di sebuah paroki ada yang sudah menerima kehadiran Putri Altar, prodiakon perempuan, Ketua Lingkungan atau Ketua Stasi yang perempuan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa masih ada beberapa paroki yang masih “meminggirkan” perempuan dalam gerak kehidupan menggereja. Saya sendiri juga merasakan peminggiran kaum perempuan dalam Gereja. Fenomena ini dapat dilihat dari (mungkin juga dapat melalui metode penelitian) berapa prosentase kaum perempuan yang dipercaya mengemban tugas dalam Dewan Paroki, berapa prosentase kaum perempuan yang dipercaya menjadi pemimpin dalam pelayanan-pelayanan gerejani. Kadang saya menyayangkan apabila dalam sebuah kepanitiaan hari besar Gereja atau yang lain, kaum perempuan selalu dikaitkan atau diberi tugas dalam tugas-tugas “di balik layar” entah itu menjadi sie konsumsi, sie kebersihan dll, bukannya saya menilai jelek tugas tersebut tetapi pola pikir ini lama kelamaan menyebabkan kaum perempuan identik dengan tugas-tugas di balik layar. Bukankah sebenarnya banyak kaum perempuan yang mampu memimpin, mengorganisir sebuah kepanitiaan dalam Gereja bahkan lebih baik dari kaum laki-laki. Saya yakin apabila kaum perempuan diberi kepercayaan maka mereka mampu untuk menjalankan tugas kepercayaan tersebut. Ilustrasi sederhana ini mungkin hanya sebagian kecil dari jaringan pola pemikiran global Gereja yang menyudutkan posisi kaum perempuan dalam kehidupan menggereja.

Sayangnya pandangan-pandangan tersebut ditempatkan dalam konteks agama. Agama merupakan pelembagaan mitos-mitos, kepercayaan dan berbagai pandangan tentang Yang Transenden yang sarat dengan bias gender (kendati tidak semuanya). Hubungan dengan Yang Transenden yang telah menjadi struktur agama menjadi keras dan mati karena berproses menjadi ideologi. Ajaran tentang kehidupan menjadi kaku dan mengikat karena dikunci oleh budaya yang mengideologi dan tidak boleh dipermasalahkan (disakralkan). Sudah bukan menjadi rahasia lagi seumpama agama (katakanlah saja sebagai contoh konkret) Katolik juga bertindak demikian. Ajaran, dogma, pandangan tentang laki-laki dan perempuan dll. begitu disakralkan sehingga tidak dapat dipermasalahkan kembali[3].

Tradisi yang sangat dijunjung tinggi dalam Gereja Katolik juga sarat akan potensi kekerasan berbasis gender. Hal ini terjadi karena tradisi dibangun di atas basis budaya Yahudi yang sangat patriarkhis. Penekanan pada tradisi inilah yang mengakibatkan penghayatan iman pun turut terpengaruh. Kekerasan terhadap perempuan dalam agama Katolik yang paling tampak dan terasa adalah bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Ibaratnya bahwa perempuan adalah setan penunggu gerbang yang siap menggoda. Bahkan Agustinus dalam konsep Tritunggal juga berpandangan bahwa perempuan tidak menggambarkan citra Allah[4].


D. Bagaimana sebaiknya Gereja Bersikap?

Perlu disadari bahwa Gereja Katolik sangat kuat berpegang pada Tradisi, hal ini berarti faktor budaya sangat kuat mengakar didalamnya. Maka perlu disadari pula bahwa budaya patriarki sangat kuat berperanan dalam Gereja. Ideologi gender sebagai produk budaya juga berimbas dalam kehidupan Gereja, maka dapat dikatakan bahwa pandangan Gereja Katolik masih terkesan bias gender. Bagaimana sebaiknya Gereja bersikap? Bagaimana supaya Gereja menjadi sadar gender? Secara teoritis pertanyaan ini mudah dijawab namun secara praksis jawaban-jawaban teoritis tersebut hendaknya menjadi usaha terus-menerus yang perlu dikembangkan oleh Gereja.

Para teolog feminis Katolik mengusulkan visi baru keadilan sosial dalam Gereja Katolik. Dalam Gereja dan juga dalam komunitas lainnya, kaum perempuan dan laki-laki mempunyai tugas dan kewajiban merasul yang setara. Visi baru ini mulai dengan pandangan yang radikal terhadap ciptaan: perempuan, laki-laki, anak-anak dan, bumi. Keadilan bagi perempuan, seperti pula bagi laki-laki dikatakan setara apabila kata-kata dan kenyataan dapat bersatu. Beberapa proses perubahan sosial yang perlu direnungkan dan dilaksanakan oleh Gereja (yaitu segenap orang beriman) antara lain[5]:

1

Pandangan antroplogi feminis ke arah terwujudnya kesetaraan sejati antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat dan Gereja. Perempuan dan laki-laki sama-sama diharapkan menyumbangkan kemampuannya untuk bekerja di bidang pendidikan, budaya, moral, agama, fungsi produksi, fungsi reproduksi untuk memelihara generasi penerus yang bermutu tinggi.

2

Kesetaraan sejati antara perempuan dan laki-laki tidak hanya berhenti pada kata-kata tetapi harus terbukti dalam perbuatan. Keanekaragaman ciptaan, termasuk perbedaan gender, suku, perbedaan kulit, gaya hidup, adalah realitas dalam kehidupan kita. Tugas dan kewajiban merasul adalah tugas laki-laki dan perempuan. Perbedaan tersebut harus ditanggapi secara wajar bukan malah secara diskriminatif. Keanekaragaman yang ada dalam Gereja dapat menjadi usaha untuk saling mengisi dan melengkapi demi terciptanya suatu keadilan.

3

Banyak kaum perempuan yang memiliki kemampuan pribadi. Sumbangan kaum perempuan dalam bidang-bidang kehidupan secara khusus dalam kehidupan menggereja harus diakui dan dihargai. Terlebih peran kaum perempuan dalam reproduksi semata-mata bukan hanya milik kaum perempuan saja namun juga laki-laki. Hal ini perlu disadari karena berbagai macam pandangan diskriminatif juga mengacu dari pola pikir tentang peran reproduksi ini.

4

Keluarga bukan satu-satunya komunitas orang beriman. Kelompok manusia yang hidup bersama dapat menjadi komunitas umat beriman juga. Kelompok-kelompok semacam ini dapat menciptakan kebahagiaan manusia yang menjadi anggota komunitas komunitas tersebut sehingga dapat meingkatkan spiritualitas hidup.

5

Keselamatan merupakan hak setiap orang beriman. Struktur hirarkis dalam Gereja sangat potensial menjadi penyebab tindakan diskriminatif. Oleh karena itu perubahan sikap, perilaku, dan hukum serta ajaran dalam Gereja Katolik perlu dilakukan sehingga dapat memberikan rasa aman bagi semua makhluk di dunia.


E. Akhir Kata

Mempelajari Teologi Feminis tiada pernah ada hentinya, inilah yang saya rasakan ketika menuliskan ulasan singkat teologi feminis ini. Karena apa? Permasalahan seputar kaum permpuan tiada pernah ada hentinya pula. Mungkin benar terhadap apa yang saya tuliskan pada awal sebuah ilustrasi singkat mengenai Ceriyati (kendati mungkin Ceriyati bukan orang Katolik namun ia adalah salah “satu dari kaum perempuan”), setelah membaca kasus Ceriyati tak lama setelah itu muncul lagi kasus kekerasan terhadap kaum perempuan lainnya yang juga berprofesi sebagai pembantu. Entah sampai kapan kasus-kasus semacam itu akan usai? Paling tidak melalui pembelajaran teologi feminis ini, saya disadarkan akan peran saya nanti sebagai imam, dimana umat saya (yang menaruh kepercayaan besar terhadap saya) bukan hanya kaum laki-laki saja namun juga terlebih kaum perempuan. Besar harapan saya dan mungkin Gereja Semesta untuk memberikan peluang bagi kaum perempuan untuk berperan serta dalam kehidupan menggereja secara penuh, tanpa ada yang merasa dinomorduakan, tanpa ada yang merasakan ketidakadilan. Ini adalah sebuah harapan besar bagi Gereja sekarang ini dan mendatang sehingga semakin terciptalah suasana damai, penghormatan antara laki-laki dan perempuan, semua mengalami keadilan. Semoga!!!!


F. Daftar Acuan

Aulia, Luki, “Derita TKI di Malaysia: Ceriyati Memilih Kabur dari Apatemen”, www.kompascybermedia.com, diunduh pada 10 Oktober 2007.

Ditjen HAM, Dep Ham dan Hukum, “Stop! Kekerasan Terhadap Perempuan”, www.ham.go.id, diunduh pada 10 Oktober 2007.

Prasetyo Murniati, Nunuk A., Getar Gender Buku Pertama: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum dan HAM, Indonesiatera, Magelang, 2004.

Prasetyo Murniati, Nunuk A., Gerakan Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan, Yogyakarta, Kanisius, 1998.

Prasetyo Murniati, Nunuk A., “Pengaruh Ideologi Gender dalam Gereja”, Rohani, 1997.


[1] Aulia, Luki, “Derita TKI di Malaysia: Ceriyati Memilih Kabur dari Apatemen”, www.kompascybermedia.com, diunduh pada 10 Oktober 2007.

[2] Murniati, Nunuk P., A., Getar Gender Buku Pertama: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum dan HAM, Indonesiatera, Magelang, 2004, 256-261.

[3] Prasetyo Murniati, Nunuk A., Gerakan Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan, Yogyakarta, Kanisius, 1998, 37.

[4] Ditjen HAM, Dep Ham dan Hukum, “Stop! Kekerasan Terhadap Perempuan”, www.ham.go.id, diunduh pada 10 Oktober 2007.

[5] Prasetyo Murniati, Nunuk A., “Pengaruh Ideologi Gender dalam Gereja”, Rohani, 1997, 388-389.



[get this widget]

0 comments: