April 05, 2008

Kepemimpinan Jemaat yang Dialogal dan Partisipatif Menuntut Porsi Eksperiensial Suatu Sumbangan Pemikiran Bagi Pendidikan Presbiter[1]

Pengantar

Kondisi kehidupan masyarakat semakin beragam berikut penghayatan religiusnya, sistem pendidikan yang begitu ragam, kehidupan sosial ekonomi dan politik yang tidak menentu, kemiskinan, penindasan, menjadikan kehidupan masyarakat menjadi semakin problematis. Masyarakat majemuk juga muncul dengan segala keprihatinannya. Masyarakat yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, golongan; kebhinekaan yang mengundang perselisihan dan pertikaian, kecemasan dan ketegangan karena munculnya kelompok radikal yang mempunyai kepentingan dan motivasi tertentu, yang memaksakan kehendak, ideologinya dalam percaturan politik dengan mengorbankan kepentingan umum akan dijumpai setiap harinya alam kehidupan[2]. Disamping itu, di tengah-tengah kehidupan umat sendiri, muncul begitu banyak keluhan tentang gaya kepemimpinan dan gaya hidup para presbiter sekarang ini. Hal ini menimbulkan dugaan kuat bahwa para presbiter tidak terlatih dan tidak disiapkan untuk hidup secara nyata di tengah masyarakat mejemuk dan dalam kehidupan dunia yang serba tidak pasti. Mereka belum mampu berdialog, belum mampu menjalankan suatu peran yang hanya setara dengan peran-peran lain, belum mampu membentang tenggang perasaannya menghadapi yang menantang, belum mampu menentukan suatu sikap pribadi yang dapat ia pertanggungjawabkan kepada orang lain secara memadai.

Hidup dan penggemblengan yang telah mereka alami di seminari, ternyata belum mampu membina sikap-sikap yang diharapkan kompatibel dengan situasi masyarakat. Bagaimana mungkin menghasilkan presbiter yang mampu menghayati aspirasi umatnya bila sejak semula mereka dipisahkan dari umatnya? Bagaimana mungkin menghasilkan presbiter yang mampu bekerja sama dengan umat bila sejak semula mereka tidak bekerja sama dengan umat? Bagaimana mereka dapat mewujudkan kepemimpinan yang partisipatoris dan dialogal[3]?


Spiritualitas yang Perlu Dikembangkan

Jika calon presbiter hendak menjadi suara dan tanda pengharapan yang nyata demi kebebasan atau keselamatan orang-orang yang terpinggirkan, hidup mereka perlu dibentuk atas dasar spiritualitas Yesus sendiri yang mereka ikuti (bdk Flp 2:6-7, 2 Kor 8:9). Spiritualitas yang dimaksud adalah berciri inkarnatoris, profetis, kenosis, dan hope filled. Keempat spiritualitas ini merupakan pendidikan para calon presbiter yang kontekstual, relevan dan penuh makna demi pelayanan integral saat ini.


1. Inkarnatoris

Inkarnasi merupakan suatu definisi yang sangat sentral dalam kehidupan seorang presbiter. Dikatakan inkarnatoris karena spiritual ini menunjukkan bahwa calon presbiter perlu untuk "memancangkan tenda mereka" di tengah-tengah orang miskin dan tertindas. Inkarnasi berarti "masuk pada atau menjadi daging" (Yoh 1:14). Inkarnasi bermakna: tanda Allah dalam kemanusiaan dalam sejarah, pewahyuan misi keselamatan Allah untuk manusia, dan misi keselamatan itu direalisasikan Allah dalam diri Yesus Kristus yang hidup di tengah-tengah orang miskin dan tersingkir.

Seorang presbiter yang ingin menjadi saksi pada misteri inkarnasi ini seharusnya mengenali pribadi seorang miskin dan tersingkir dengan apa yang diidentifikasikan oleh Allah. Inilah suatu spiritualitas inkarnatoris. Para calon presbiter perlu memahami bahwa kaum miskin dan tertindas bukan hanya orang Kristen saja tetapi juga orang beragama lain. Karena itu, hidup inkarnatoris memberi perspektif pada keterbukaan pada "iman-keadilan-dialog".


2. Kenosis (pengosongan diri)

Salah satu spiritualitas yang perlu dikembangkan oleh calon presbiter dalam pendidikan para calon imam adalah spiritualitas ”kenosis” (pengosongan diri). Seperti halnya Yesus yang telah terlebih dahulu mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia (bdk Flp 2: 6-7), seorang calon presbiter berusaha menghayati dan meneladan karya Allah dalam diri Yesus ini. Spiritualitas ini menjadi penting bagi mereka karena melihat realitas banyak orang (yang nantinya akan mereka layani) masih mengalami kemiskinan, penindasan, penganiayaan, dan ketidakadilan.

Tentu perjuangan dan penderitaan berbela rasa dan bersolider dengan kaum miskin dan tertindas, tidaklah mudah. Para calon presbiter harus berani untuk turun langsung ke tengah-tengah umat. Usaha dan perjuangan mereka ini barangkali tidak akan dengan serta merta menghapuskan atau menghilangkan ketidakadilan, penindasan, penganiayaan, dan kemiskinan. Mereka berbela rasa, bersolider, dan menjadikan diri sebagai saudara bagi sesama bukan semata-mata menyelesaikan permasalahan yang ada di tengah masyarakat. Perjuangan dan pengosongan diri para seminaris dengan menjadikan diri saudara bagi sesama, terutama mereka yang lemah, miskin, dan tersingkir, ingin memberikan semangat dan kekuatan bagi mereka untuk tetap tabah dan setia dalam penganiayaan. Oleh karena itu, para seminaris tidak perlu khawatir akan mengalami kegagalan ataupun tantangan. Yang terutama adalah mereka telah belajar memperjuangkan keluhuran martabat hidup manusia dan sekaligus telah ikut terlibat dalam mentransformasi situasi sosial menjadi lebih baik.


3. Profetis (kenabian)

Panggilan menjadi nabi sebenanrya bukanlah hal yang baru, bukankah menjadi murid juga turut dalam tiga tugas Yesus Kristus yaitu: sebagai imam, nabi dan raja. Panggilan menjadi nabi dalam konteks pendidikan di seminari berarti menyuarakan atau mewartakan kebenaran, kejujuran dan melawan segala macam bentuk dehumanisasi. Seorang nabi harus tinggal berada di tengah-tengah masyarakat (umat) untuk merasakan suka-duka kehidupan umat. Panggilan menjadi nabi adalah pangilan untuk tinggal bersama kaum miskin dan tertindas. Panggilan kenabian ini mendapatkan dasarnya dari tindakan Yesus sendiri yang dalam karyanya mewartakan kedatangan Kerajaan Allah senantiasa mengutamakan mereka yang lemah miskin dan tersingkir sebagai prioritas karya keselamatan.

Dalam Perjanjian Baru juga disebutkan bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong (Yak 2:20). Hal ini berarti iman yang dihayati mendapat bentuknya ketika diwujudkan dalam tindakan moral sebagai pewarta keadilan. Panggilan menjadi pewarta ini menjadi sebuah tuntutan semata-mata karena calon presbiter hidup dalam struktur yang tidak adil, struktur kekuasaan yang diistitusionalisasikan dalam lembaga negara dan struktur tersebut tidak segan untuk mengorbankan masyarakat miskin. Inilah panggilan kenabian, yaitu: berusaha melawan segala bentuk struktur yang membuat menderita kaum miskin.


4. Pemenuhan harapan (hope-filled)

Kiranya penting bahwa seorang calon imam terjun dan tinggal di tengah-tengah umat (basis akar rumput), belajar mengenal dan bekerja sama dengan kelompok-kelompok akar rumput, yang mempunyai kepeduliaan terhadap sesama yang membutuhkan. Kelompok akar rumput ini berasal dari latar belakang yang berbeda dan siap terjun ke lapangan dan menjumpai persoalan lapangan yang tentu bervariasi pula. Di sinilah mereka mulai bergulat dengan suka-duka kehidupan di lapangan dan menjadikannya sebagai pengalaman personal (personal experience). Pengalaman personal ini diikuti dengan refleksi teologis dan spiritualitas yang relevan dengan kebutuhan serta situasi nyata di tengah-tengah umat, di mana mereka berada. Melalui keterlibatan dan kebersamaan dengan mereka yang tertindas, tumbuhlah semangat dalam diri calon presbiter, dan kaum religius bersolider dengan org miskin dan tertindas.

Di sinilah presbyter dan kaum religius bisa hidup bersama masyarakat dan tidak menutup diri dengan suka-duka kehidupan masyarakat. Kaum religius dan presbiter dapat membagi rasa dengan masyarakat umum, menerima keadaan yg tidak aman, bekerja dalam kelompok basis tanpa mentransfer rasa superior religius, memperkuat umat dalam memperjuangkan kehidupan yang lebih baik, membangun spiritualitas toleransi antar agama, memberikan solusi terhadap persoalan yg dirasakan kaum tertindas, miskin, mempertebal rasa prihatin dengan org tertindas dan menderita, serta berusaha untuk menantang-menentang kekuatan yang menindas.


Penutup

Kalau kita telah melihat keempat spiritualitas seperti yang dijelaskan di atas, kiranya spiritualitas yang relevan untuk para calon imam demi pelayanan yang integral saat ini adalah komitmen, yaitu: suatu komitmen pada orang miskin, tersingkir dan tertindas demi kebebasan mereka yang utuh dan total. Kami membayangkan pelayanan dalam Gereja sekarang ini, sosok presbiter dengan segala tantangan dan tuntutan pastoral yang dihadapi perlu mengusahakan cara penggembalaan yang khas dan unik seturut situasi yang dihadapi. Oleh karena itu, kiranya baik bahwa di kemudian hari dalam metode pendidikan para calon presbiter, diberi kesempatan kepada mereka untuk turun langsung ke tengah umat, terlibat dalam pergumulan hidup mereka yang miskin, lemah, dan tersingkir dan tertindas. Maka, kegiatan-kegiatan semacam live in ataupun metode proyek dalam perkuliahan di fakultas filsafat teologi (mis: proyek harapan, sosial) layak untuk terus dikembangkan.

Melalui kehadiran calon presbiter di tengah-tengah masyarakat, secara tidak langsung membawa dampak positif bagi kehidupan masyarakat setempat. Kaum tertindas menjadi sadar dengan kemampuan mereka untuk mentransformasi diri dan masyarakat (buah dari live in). Mereka yakin bahwa ketertindasan dan penderitaan hidup dapat dirubah menjadi lebih baik dan maju. Pembebasan dari ketertindasan bukan hanya soal ekonomi belaka, tetapi tujuan akhir yang mau dicapai adalah pemuliaan hidup, mengangkat harkat dan martabat hidup sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan sendiri.

Kehadiran langsung calon presbiter ini juga menjadi suatu bentuk kesaksian kepada jemaat, terutama karena seorang presbiter mengemban peran sebagai pewarta. Kehadiran seorang presbiter di tengah kehidupan umat diharapkan mampu menggerakkan umat untuk terlibat seturut dengan kemampuan dan kecakapan mereka masing-masing turut serta menghadirkan wajah Kristus, turut menjadi pewarta di dunia yaitu dalam kehidupan keseharian. Bukankah semua orang juga dilibatkan dalam Kerajaan Allah. Semua orang dipanggil untuk bekerja di ladang Tuhan. Disinilah sungguh hadir Gereja, dimana hadir pribadi-pribadi yang mampu menjalankan peran dalam pelayanan yang sama yaitu supaya warta Injil sampai kepada setiap orang. Ada kesatuan peran dalam pelayanan, yang mempersatukan adalah Warta Sabda hanya saja mereka mengambil peran melalui tugas khas kehidupan mereka masing-masing.


[1] Bahan tulisan ini merupakan insight setelah membaca dan membahas bersama tulisan Rm. A. Alangaram, SJ. Arul Kadal Jesuit Regional Theologate, berjudul Toward a relevant spiritual Formation For Integral Ministry. Sekaligus, dengan mengenangkan sekian tahun belajar di seminari dan studi pada fakultas filsafat dan teologi.

[2] Rapat Dewan Imam Pastoran Sanjaya Muntilan, 1-2 Desember 2003

[3] Rm. CB. Putranto, SJ,. ”Pendidikan Seminari: Sekedar Membenahi atau Meninjau Ulang?” di tulis dalam Peringatan Tumbuk Ageng Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta tahun 2001



[get this widget]

0 comments: